Jari kita memiliki pelbagai andil dalam proses politik bangsa. Kadang, jari kita bisa memiliki dampak konstruktif. Sebaliknya, jari kita juga bisa memiliki dampak yang destruktif.
Dengan semakin dekatnya hari pencoblosan Pemilu 2024, jari telah terlibat banyak hal. Utamanya, jari orang-orang yang biasa digunakan sebagai alat untuk meracik propaganda, hoaks atau model tulisan lain guna mendukung atau memfitnah calon presiden dan wakil presiden juga calon anggota DPR, DPRD atau DPD.
Meski jadwal kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023, tapi tulisan-tulisan hasil racikan jari para pendengung telah begitu rajin menembakkan peluru di sosial media. Entah tulisan itu memiliki muatan positif atau negatif, harus diinsyafi bahwa jari memiliki peran yang sangat signifikan.
Peribahasa “Jarimu Harimaumu” jadi populer untuk menggantikan “Mulutmu Harimaumu.” Ini sebagai pengingat atau pencegah, agar seseorang tidak sembarangan mengetik atau menyebarkan tulisan yang dianggap tidak benar. Terkhusus, di dunia maya yang seakan-akan nirbatas.
Jari dan Arah Bangsa
Pemilu, secara sederhana bisa dimaknai sebagai jalan yang demokratis untuk meraih kekuasan secara konstitusional. Tapi apakah yang konstitusional itu bisa dipastikan selalu adil? Jawabannya, bisa “iya”, bisa juga “tidak.”
Konstitusi, khususnya yang mengatur pemilu itu sendiri, terus berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan dimaksudkan untuk mencapai penyempurnaan, supaya proses pemilu tersebut benar-benar dapat berjalan secara adil.
Selain itu, pengembangan atau penyempurnaan konstitusi, diupayakan bisa menutupi celah sistem yang sebelumnya bisa digunakan untuk berbuat curang.
Salah satu perkembangan aturan konstitusi itu, yakni memberi tanda pada jari konstituen sejak tahun 2018. Mereka yang telah menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS), salah satu jarinya dicelupkan ke tinta yang sulit luntur.
Ini untuk mencegah pemilih melakukan pencoblosan ulang di TPS yang sama atau berbeda.
Kita tidak tahu seefektif apa aturan tersebut. Namun, aturan mencelupkan jari ke dalam tinta usai menggunakan hak pilih, telah digunakan di India sejak 1960-an lalu. Di Indonesia, aturan itu mungkin juga akan tetap bertahan di Pemilu 2024 nanti.
Di tahun-tahun yang lalu, kita sudah kerap melihat potret jari seseorang yang telah bertinta usai memberi hak pilih dipamerkan di media sosial. Kita juga bisa menerka, bahwa dalam pemilu yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024, hal seperti itu akan tetap ada.
Jari yang bertinta, awalnya untuk mencegah kecurangan. Tapi perkembangan internet, membuat orang yang memamerkannya bisa dipahami bahwa ia telah ikut terlibat dalam menentukan arah bangsa. Meski sebenarnya banyak yang tidak tahu, arah pastinya itu nanti akan kemana.
Jari dan Keberpihakan
Jari juga sering menjadi simbol keberpihakan dalam proses pemilu. Partai politik, calon presiden dan wakil presiden, serta calon anggota legislatif, kerap menggunakan jari sebagai simbol identitas.
Biasanya, simbol jari kerap merujuk pada nomor urut peserta pemilu, baik itu nomor urut partai atau nomor urut daftar calon. Misalnya jempol untuk nomor satu, jari telunjuk-jari tengah untuk nomor dua, atau jempol-jari telunjuk-kelingking untuk nomor tiga.
Sialnya, untuk partai politik yang mendapat nomor urut di atas sepuluh, mereka pasti agak kerepotan dalam menggunakan simbol jari.
Urusan simbol jari yang menunjukkan keberpihakan terhadap partai tertentu, juga merembet ke hal lain. Utamanya, pemilih yang telah diatur konstitusi untuk menjaga netralitasnya, yakni para penyelenggara pemilu (Bawaslu, KPU, DKPP), ASN, PNS, dan perangkat desa.
Orang-orang di kalangan ini, tidak diperkenankan menunjukkan dukungan terhadap partai, capres dan cawapres atau caleg tertentu meski menggunakan simbol jari. Simbol jari, dapat dipersepsikan sebagai dukungan.
Simbol pada dasarnya memiliki makna yang dalam. Sebagai homo symbolicum, manusia menghidupi dan dihidupi oleh simbol, khususnya dalam berkomunikasi. Politik simbol jari, adalah bentuk komunikasi fisik, yang bahkan dalam sejarahnya, bisa memicu bentrokan yang mencekam.
Ini pernah terjadi pada kampanye Pemilu 1997 di Yogyakarta.
Konvoi massa partai Golkar yang berkampanye, saat itu lewat di depan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Mereka mengacungkan simbol dua jari kepada para mahasiswa. Harapannya, mereka akan mendapatkan balasan acungan simbol dua jari juga, sebagai tindakan keberpihakan.
Tapi mahasiswa tidak ada yang membalas acungan simbol jari tersebut. Massa Golkar kemudian marah, lalu menyerbu mahasiswa yang akhirnya terjadi bentrokan fisik. Bahkan menurut Nugroho Trisnu Brata (2000:68) yang merekam peristiwa itu, massa Golkar ada yang membawa pedang.
Mahasiswa yang marah atas penyerbuan itu, menggelar mimbar bebas di jalan raya. Aparat keamanan kemudian datang untuk menghalau peserta mimbar bebas. Bentrokan terjadi dan mahasiswa lari ke dalam kampus saat pasukan melontarkan tongkat-tongkat mereka.
Ingat, rangkaian insiden kekerasan itu, “hanya” bermula dari jari. Bukankah itu unik?
Memang, perkembangan simbol dalam kebudayaan politik Indonesia itu unik. Bahkan sebagai negara, Indonesia juga pernah disimbolkan sebagai sebuah keluarga besar. Soeharto Sang Penguasa Orde Baru, disimbolkan sebagai Bapak tertinggi yang merupakan kepala keluarga besar tersebut.
Dalam salah satu puisi berjudul Negeri Kekeluargaan karya KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, beliau menulis: “..tapi karena kalian telah membuatnya/menjadi negeri paling unik di dunia/kalian buat norma-norma sendiri yang unik/aturan-aturan sendiri yang unik/perilaku-perilaku sosial sendiri yang unik…”
“…kepala keluarga berhak menentukan/siapa-siapa termasuk keluarga/berhak memutuskan dan membatalkan keputusan/berhak mengatasnamakan siapa saja/berhak mengumumkan dan menyembunyikan apa saja…”
Soeharto saat itu disimbolkan sebagai kepala keluarga, yang kerap digambarkan melancarkan jalan anggota keluarga lain, entah itu dalam urusan bisnis atau percaturan politik.
Eh! Apakah saat ini Indonesia masih dipimpin Soeharto? Sepertinya saya agak amnesia.
Rujukan:
Laksana, PM dkk. (2000). Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: INSIST PRESS, Jerat BUDAYA.