“When you try your best but you don’t succeed” lirik yang iconic dari band Coldplay ini sarat akan makna saat memperjuangkan sesuatu namun situasi tidak berpihak pada kita. Lirik dari band asal britania raya ini rasanya tidak hanya dilantunkan Chris Martin untuk
membangkitkan emosi orang yang gagal, lirik ini juga layak untuk dilantunkan oleh para calo tiket yang memonopoli tiket konser dan mengecewakan para penggemar band asal Britania Raya tersebut yang gagal mendapatkan tiket. Kekecewaan para penggemar tersebut lantaran gagalnya sebagian besar para penanti kehadiran Coldplay mendapatkan tiket konser yang menggunakan sistem penjualan war ticket atau “siapa cepat dia dapat”, ditambah hadirnya para calo yang memonopoli tiket dengan menjualnya kembali dengan harga yang jauh diatas harga ketentuan.
Calo dan Kehadirannya yang Merugikan
Penjualan tiket konser sebagai secondary ticket memanglah belum ada regulasi penuh yang mengikatnya, ditambah para calo ini dapat disebut sebagai konsumen pada awalnya. Calo tiket, atau penjual tangan kedua, sudah seperti parasit yang selalu menempel dalam acara-acara seperti konser dan semacamnya.
Sudah seperti sebuah kultur, para calo ini akan selalu menempel dalam setiap perhelatan besar; seperti konser, seperti sebuah mekanisme otomatis, para calo yang mendapatkan tiket lebih akan mark-up atau menaruh harga yang lebih tinggi untuk dijual kembali. Calo yang semakin relevan dengan dunia maya, memanfaatkan juga penjualan tiket via online, adanya “bot” atau alat bantu otomatis juga sering digunakan oleh para calo untuk mendapatkan tiket dengan jumlah yang melebihi ketentuan.
Para calo ini juga menyesuaikan permintaan pasar, seperti saat ada hajatan besar datang ke Indonesia; selayaknya Coldplay yang memantaskan diri untuk tampil di Indonesia November tahun ini. Saat peminat dari konser tersebut memberi tanda-tanda penonton yang membludak, calo yang semakin gencar untuk mendapatkan tiket berlebih akan menjualnya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga normal. Dengan kata-kata andalan “want to sale”, seperti sudah menjadi penanda bahwa key-word tersebut adalah penanda eksistensi calo tiket di dunia maya.
Fomo (Fear of missing out) atau istilah ketakutan akan kehilangan momen adalah satu dari sekian pendukung pokok permasalahan di dunia konser saat ini. Pasca pandemi Covid 19, banyak konser-konser yang serentak diadakan setelah kurang lebih hiatus selama hampir tiga tahun. Akibatnya, banyak orang berbondong-bondong untuk menghadiri konser dari para idola mereka. Terlebih, mandeknya dunia industri selama pandemi, membuat momentum ini dimanfaatkan oleh para kreator industri hiburan untuk menghidupkan mandeknya ekonomi mereka selama absennya konser di masa pandemi.
Banyaknya kerugian dari sisi penggemar ini juga tak lepas dari sistem war ticket “siapa cepat dia dapat” yang dinilai memiliki kecacatan atau tingkat keadilan yang rendah. Kecacatan sistem war ticket ini hanya akan memberi suaka bagi menjamurnya para calo di rantai dunia konser. Selain itu, tidak adanya ketegasan atau regulasi yang mengekang tindakan sewenang-wenang dari calo juga menjadi pekerjaan tambahan bagi penyedia layanan dan pemangku kebijakan.
Kecacatan Sistem Penjualan Tiket dan Adopsi Sistem Penjualan Tiket dari Jepang
Ramainya atensi pada penjualan tiket Coldplay, memunculkan diskursus baru mengenai adaptasi sistem penjualan yang ada di Jepang. Sistem penjualan tiket konser di Indonesia terbilang memiliki kecacatan, bahkan tingkat keadilan yang dapat dikatakan rendah. Sistem war ticket yang ditetapkan berbagai penyedia layanan atau promotor konser ini menjadi satu tambahan pokok permasalahan.
Sistem ini mengelola para pembeli yang akan berebutan di waktu yang sama, ditambah apabila penjualan via online ketika jumlah masa sulit dikontrol. Sistem ini juga cenderung memiliki tingkat keadilan yang rendah, ketika penjualan digelar secara online, para pembeli bisa mengakali pembelian tiket melebihi kapasitas yang ditentukan, dengan menggunakan perangkat tambahan dan akun pembelian lebih dari satu. Apalagi di era yang semakin modern ini, calo dapat memanfaatkan pihak eksternal atau bot, alat bantu otomatis ini di waktu yang singkat dapat mengamankan tiket tanpa kontrol manual.
Jepang, sebagai salah satu negara yang memiliki industri hiburan yang besar dan atensi masif dari penggemar memiliki sistem penjualan tiket yang cukup unik. Sistem lotre, sistem penjualan tiket ini cukup dikenal dan diterapkan di sebagian besar konser-konser di Jepang. Sistem ini mengadaptasi cara kerja lotre pada dasarnya.
Dalam sistem lotre di Jepang ini, pembeli tidak dapat memilih tempat duduk secara spesifik, akan tetapi hanya memilih kategori tempat duduk dengan harga yang berbeda-beda. Tiket tersebut dijual dalam sejumlah putaran aplikasi, dengan skala waktu sekitar beberapa bulan sebelum konser.
Kemudian, penyedia tiket akan mengadakan undian lotre secara online, dimana apabila kita mendapatkan tiket tersebut kita mereka akan menagih kartu kredit pembeli dan mengirimkan tanda terima kepada pembeli, dan apabila pembeli tidak mendapatkan undian, mereka tidak akan mendapatkan tagihan ke kartu kredit. Lalu, dari putaran pertama akan tersisa beberapa slot tiket yang kemudian akan dilakukan putaran lotre pada gelombang berikutnya sampai selesai.
Prosedur ini jelas bagus bagi penyelenggara, apabila permintaan tiket lebih besar, pembeli dapat memilih bagian atau kategori lebih banyak untuk memperbesar peluang mendapatkan tiket, dan jika permintaan lebih kecil dari ekspektasi, pembeli dapat dengan mudah menyesuaikan dengan memilih kategori lebih sedikit dengan kemungkinan besar mendapatkannya.
Prosedur dari sistem lotre ini juga efektif untuk mengurangi calo. Dalam sistem biasa, pembeli hanya mendapatkan tanda terima, bukan tiket langsung. Konser SNSD (girlband korea) yang pernah tampil di Jepang, menerapkan prosedur tiket yang dikirimkan secara digital, dan biasanya dikirimkan ke pembeli setidaknya dua hari sebelum konser. Dengan hal ini, calo tidak memiliki cukup waktu untuk menjual tiket karena keterbatasan waktu.
Agama dan Sistem Penjualan Judi?
Di sisi lain, kata lotre yang berasosiasi dengan perjudian diragukan potensi penerimaannya di Indonesia, dengan basis agama dari masyarakat yang kuat, tidak akan lepas dari batasan-batasannya untuk memandu jalannya hidup pengikutnya. Sensitivitas warga beragama bisa cenderung tinggi dengan hal-hal yang dilarang agama berkaitan langsung dengan kehidupan mereka.
Seperti halnya dengan pengadopsian sistem penjualan tiket “lotre”, sistem ini sebenarnya hanya mengadopsi garis besar cara kerja dari sistem lotre. Apabila “lotre” dalam konteks judi, mereka meminta materi kepada pelanggan dan akan mendapatkan materi yang berlipat ganda ketika memenangkannya, dan sebaliknya bagi yang tidak memenangkannya, mereka tidak akan mendapatkan materi yang telah diserahkan. Namun, “lotre” dalam konteks penjualan tiket hanya meminta kartu kredit untuk jaminan bagi para pembeli yang mendapatkannya, dan kartu kredit tidak akan berkurang bagi pembeli yang tidak mendapatkan tiket.