Rabu, Oktober 9, 2024

Islam Wasathiyah Sebagai Solusi

Bahry Al Farizi
Bahry Al Farizi
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Aktif sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM FAI UAD.

Kalau boleh, terorisme dikategorikan sebagai salah satu indikator rusaknya kemanusiaan kita hari ini. Kita tidak perlu melanjutkan perdebatan mengenai beragama atau tidak kah teroris itu? Toh, yang jelas agama jika ditafsirkan sesuai dengan hawa nafsu belaka akan membawa kehancuran yang fatal.

Juga jika melulu menuduh agama sebagai biang kerok terorisme maka bisa saja memancing kaum ekstrimis untuk segera bertindak. Yang perlu saat ini adalah betapa pentingnya mendakwahkan moderasi beragama dalam kehidupan multikulturalisme saat ini.

Kemiskinan, perampasan ruang hidup, kerusakan lingkungan, intoleransi, kejahatan HAM, adalah sederet persoalan yang ada di hadapan para umat beragama di Indonesia. Memantik pertanyaan yang cukup filosofis, mampukah agama menyelesaikan itu semua?

Krirsis kemanusiaan hari ini memaksa kita untuk memikirkan kembali bagaimana peran agama dalam menyediakan solusi nyataKaren Amstrong, peneliti agama-agama tersohor itu berpendapat agama akan kesulitan menempatkan posisinya pada kehidupan modern.

Dengan nada satir, ia memberi judul eseinya itu  “Masa Depan Tuhan”.

Besar kemungkinan peradaban akan menuju arah sekularisme, di mana agama tidak lagi menjadi harapan dari pelbagai masalah nyata kehidupan umat manusia. Hal ini tentu saja patut dibantah, bahwa agama tidak bisa dipisahkan begitu saja dari kehidupan sosial manusia. Sekalipun sekularisme yang dimaksud adalah terpisahnya hubungan agama dan negara. karena sejatinya manusia membutuhkan kebutuhan spiritual, di samping kebutuhan material.

Di satu sisi, era ini menjadi peluang bagi negara-negara untuk bersaing secara kompetitif, memperebutkan kedududukan tinggi di mata negara lain, mampu menjadi pelopor peradaban bagi negara yang lain, dan tentunya menjadi raja ekonomi bagi bangsa-bangsa lain.

Ini semua tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mensyaratkan persaingan ketat demi kemajuan bangsanya sendiri.

Revolusi pengetahuan telah berubah wajah dunia, yang dulunya terkungkung dalam semangat nasionalisme buta menuju wajah yang kosmopolitan.

Di sinilah Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan krusial. Mampukah Islam menunjukkan wajah rahmatnya di hadapan seluruh umat manusia?

Ataukah justru gugup dan gagap membaca perubahan zaman sehingga yang terlihat kuantitasnya saja, bukan pada kualitasnya yang mumpuni?

Hadirlah Islam Berkemajuan sebagai paradigma Muhammadiyah pada perjalanan abad keduanya. Berangkat dari realitas yang ada serta pembacaan yang matang terhadap nash atau sumber ajaran Islam, Muhammadiyah mengembangkan paham moderasi Islam atau Islam wasathiyyah sebagai salah satu karakteristik Islam yang Berkemajuan.

Moderasi Islam adalah sintesis antara “radikalisasi vs deradikalisasi”. Artinya, sikap tengahan menunjukkan sikap yang tegas, toleran, terbuka, dan bijaksana yang bergerak dari teks menuju konteks, atau meminjam istilah Prof. Kuntowijoyo, “Interpretasi untuk aksi”.

Namun, Islam “tengahan” atau moderasi Islam yang dikembangkan bukan oleh Muhammadiyah saja, tetapi seluruh umat Islam di dunia, kerap dituduh sebagai produk pemikiran liberal yang tidak mempunyai dasar dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.

Anggapan itu bersandarkan pada beberapa hal:

Pertama, dalam sejarah keilmuan Islam, tidak dikenal istilah Islam moderat, Islam Arab, Islam Liberal, Islam Nusantara, dan seterusnya. Istilah-istilah parsial tersebut hanya mereduksi makna Islam rahmatan lil alamin.

Kedua, Islam moderat hanya akan memecah belah umat Islam, bahkan mendiskreditkan beberapa kelompok tertentu karena hanya mempertajam perbedaan yang ada.

Ketiga, Islam moderat adalah paham kompromistis terhadap seluruh produk pemikiran Barat yang kita kenal dengan istilah penyakit “sipilis” (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).

Keempat, istilah Islam moderat berasal dari penafsiran keliru intelektual Barat yang mengakibatkan “perang istilah” sesama umat Islam.

Apakah benar demikian? 

Kita perlu menyelisik terlebih dahulu, dari mana istilah wasatiyyah ini berasal. Dalam Al-qur’an, surat Al-Baqarah ayat 143 menegaskan bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan. “wasath” di sini, menurut Prof. Dr. Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir menafsirkannya “berada di tempat tinggi”.

Seumpama seorang berdiri di puncak gunung. Ia bisa melihat lembah di bawah dan di baliknya. Jika jarak antara dia dengan lembah di bawahnya sama dengan lembah yang ada di balik gunung, maka posisi seorang itu dapat dinamakan “wasath”, yakni berada di ketinggian sekaligus tengah gunung.

Penggunaan kata “wasath” dalam bahasa Arab memang terkadang bermakna “tinggi atau baik”. Dalam hadis riwayat at-Tirmidzi dan Imam Ahmad, surga firdaus adalah awsathu l-jannah (surga terbaik) dan a’la l-jannah (surga tertinggi).

Washatiyyah juga bermakna adil, yaitu menempatkan sesuatu secara tepat. Grand Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Thayyib menegaskan “Islam wasathiyyah adalah Islam yang adil, tidak ke kutub ekstrem kanan maupun kiri”.

Kutub kanan adalah Islam tekstualis atau Islam konservatif. Cenderung anti dengan produk pemikiran yang lahir dari Barat karena menganggapnya jauh dari nilai-nilai keagamaan, dan anti terhadap perubahan. Sedangkan kutub kiri adalah Islam liberal, terlalu permisif terhadap nilai-nilai yang diperkenalkan Barat sehingga terlampau bebas menafsirkan nash.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Islam wasathiyyah bukanlah produk pemikiran liberal yang berasal dari barat, dikarenakan mempunyai sumber autentik yang berasal dari Al-qur’an maupun As-sunnah.

Islam wasathiyyah tidak hadir sebagai dalih untuk menyalahkan kelompok lain. Justru kehadirannya membuat pluralitas gagasan maupun pemikiran dalam tubuh umat Islam bisa diakomodir. Sehingga, radikalisme maupun fundamentalisme tidak mendapatkan tempat sama sekali.

“Tengahan” dinilai tak ideologis?

Islam wasathiyyah berusaha memadukan Naql dan Aql secara proporsional.

Dalam konteks tertentu, Muhammadiyah amat tekstual, dan pada konteks lain sangat terbuka. Pendekatan Muhammadiyah sering bergantung konteks, karena Muhammadiyah menganut prinsip at-tajrid fil aqidah wal ibadatil mahdhah wat tajdid fil mu’amalat wal umurid dunyawiyah.

Bersifat puritan dalam hal akidah dan ibadah mahdhah, sedangkan bidang muamalah dan urusan duniawi senantiasa diperbaharui, diinovasi dan dikembangkan dalam rangka memajukan peradaban umat manusia seluruhnya.

Prinsip ini mempunyai akar historis kuat di Nusantara, yaitu bagaimana K.H. Ahmad Dahlan menggunakan infrastruktur Barat untuk sekolah keagamaan sebagai pembaharuan, yang mana saat itu banyak ulama yang menentangnya karena dianggap telah berafiliasi dengan londo (Belanda) kafir.

Sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 110, ada tiga karakter umat terbaik yang harus dimiliki umat Islam, yaitu senantiasa menyeru kepada yang makruf (humanisasi), mencegah kepada yang mungkar (liberasi), dan beriman kepada Allah (transendensi).

Humanisasi condong dimiliki kaum liberal, komunisme cenderung mengadakan liberasi, sedangkan transendensi hanya dimiliki oleh kaum konservatif. Ketiganya harus menjadi tiang penyanggah yang kokoh. Tidak cenderung ke salah satunya saja. Inilah sikap moderat.

Bahry Al Farizi
Bahry Al Farizi
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Aktif sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM FAI UAD.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.