Jumat, Maret 29, 2024

Ironi Negeri Quasi Demokrasi

Baikuni Alshafa
Baikuni Alshafa
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang. Dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Saat ini Pimpinan Aktif sebagai Ketua DPP IMM, Bidang Hikmah, Politik Dan Kebijakan Publik Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) Priode 2021-2023

Babakan baru tahun 2022 kondisi sosial politik Indonesia dibuka dengan dua peristiwa tragis. Dua peristiwa tersebut – insiden respresif Wadas dan penembakan di Sulawesi Tengah yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan hal yang memilukan. Bagaimana tidak, negara yang sudah keluar dari belenggu otoritarianisme era orde baru kini seolah kembali pada memori kelam masa itu.

Transisi demokrasi 98 seakan tidak membuahkan hasil yang signifikan dalam merubah wajah politik negeri ini. Hal ini tentu sangat disayangkan dan menyayat hati para pejuang demokrasi, negara sekali lagi menambah daftar panjang tindakan represif terhadap rakyatnya.

Pada realitasnya, wajah represi ini memiliki satu frekuensi dengan praktik perampasan tanah dan tidak jarang menelan korban jiwa. Wajah kepolisian lambat laun terus tercoreng saat menghadapi potensi konflik di masyarakat yang selalu mengambil sikap arogan dan represif, seakan-akan lebih membela kepentingan para investor, sehingga humanis sebatas ilusi.

Bahkan, di masa pandemi sekalipun tidak menyurutkan alasan pemerintah untuk memperluas ekspasi bisnis dan pembangunan berbasis sumber-sumber agraria dengan dalih pemulihan ekonomi. Hasilnya, masyarakat di wilayah-wilayah konflik terus menghadapi ancaman berlapis, terancam virus pandemi, lalu terancam digusur negara yang semakin mesra dengan kelompok kepentingan.

Meminjam data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mencatat terjadi kenaikan konflik agraria yang sangat signifikan di sektor pembangunan infrastruktur sebesar 73% dan sektor pertambangan sebesar 167%. Kenaikan signifikan situasi konflik agraria juga terjadi dari sisi korban terdampak dibandingkan tahun 2020 yaitu sebesar 135.337 KK menjadi 198.859 di tahun 2021. Situasi ini menandakan bahwa konflik agraria semakin menyasar area-area masyarakat telah mengausai, mengusahakan (menggarap) dan mengelola tanah.

Negara gagap dalam merespon konflik sosial

Pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan konflik sosial yang terjadi pada era sekarang identik jika tidak bisa dikatakan sama dengan otoritariansime orde baru. Tentu insiden Wadas membuka memori kelam pada tahun 90-an di Kedung Ombo Jawa Tengah – dimana saat itu proyek pembangunan PLTA yang disponsori oleh World Bank berujung pada tindakan represif oleh negara.

Diskriminasi negara – dalam hal ini aparat identik dengan kasus kedung ombo puluhan tahun silam. Negara – aparat mengawal secara baik-baik warga yang pro terhadap penambangan dan perlakuan sebaliknya diterima oleh warga yang kontra terhadap penambangan. Tindakan represif bahkan persekusi kepada warga yang kontra terhadap penambangan seperti tersiar di berbagai pemberitaan merupakan bentuk diskriminasi negara kepada warga negaranya.

Sejurus kemudian negara kembali mengingatkan publik dengan peristiwa penembakan di Sulawesi Tengah dengan insiden pada 2019 dimana dua aktivis IMM meregang nyawa setelah menerima peluru tajam dari aparat. Bahkan pada kedua peristiwa tersebut (penembakan di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah) negara – aparat terkesan cuci tangan dan lalai dalam pengamanan peserta unjuk rasa.

Bagi negara demokrasi seperti Indonesia, pendekatan kekerasan oleh negara dengan Represive State Apparatus merupakan hal yang tidak beradab jika tidak mau dikatakan bar-bar. Di era modern dan kecanggihan teknologi pada masa sekarang, sudah selayaknya negara hadir ditengah-tengah masyarakat dengan pendekatan humanis. Pemanfaatan ruang publik sebagai arena diskursus sudah sewajarnya lebih layak dipilih oleh negara – terutama dalam penyelesaian konflik sosial di masyarakat. Negara dapat menggunakan – meminjam istilah Louis Althusser Ideologi State Apparatus dalam menyelesaikan berbagai konflik tersebut.

Belum reda persolan represifitas pada dua insiden di atas, selang beberapa hari akun twitter @wadas_melawan dan beberapa akun warga yang aktif dalam menyuarakan kondisi warga desa Wadas turut pula diblokir oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas penyebaran di beberapa akun media sosial tersebut. Tindakan demikian (Pemblokiran akun-akun media sosial) merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda seperti yang pernah dilakukan oleh negara pada masa orde baru. Negara seolah memiliki ketakutan tersendiri atas aktivitas pemberitaan akun media-media sosial tersebut. Sebut saja Tempo, Detik, Kompas yang pada masa orde baru dibredel oleh negara.

Quasi demokrasi

Kegagapan negara dalam merespon konflik sosial di masyarakat merupakan bentuk kegagalan negara dalam merawat demokrasi. Penegakkan hak asasi manusia seminimalnya dapat dilihat dari adanya ruang terbuka untuk menyampaikan aspirasi tentu dengan jaminan tanpa adanya rasa takut. Sudah seharusnya negara demokrasi dalam scoupe terkecil berdiri pada aras segala sesuatu diperbolehkan kecuali yang dilarang bukan sebaliknya, segala sesuatu dilarang kecuali yang diperbolehkan. Jika negara tidak mampu memahami dan berdiri pada posisi demikian, maka tidak mengherankan apabila muncul skeptisisme publik terhadap negara.

Mengutip laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga yang bergerak di observer dan analisis politik-ekonomi global berbasis di Inggris. Melaporkan bahwa indeks demokrasi Indonesia  mengalami kenaikan pada tahun 2021. The Economist Intelligence Unit (EIU) membagi 4 kategori negara demokrasi; Full Democacy, flawed democracies, hybrid regimes dan authoritation regimes – dan memasukkan Indonesia pada kategori ke dua dengan Prancis, Amerika dan beberapa negara lainnya. Pengkategorian ini berdasarkan 5 parameter yaitu; proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, pemerintahan dan partisipasi politik, budaya politik.

Dari indikator tersebut, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) Indonesia memiliki kerentanan pada aspek budaya politik dan kebebasan sipil. Maka bukan sebuah isapan jempol jika negara salah mengambil langkah dalam penyelesain konflik sosial di masyarakat, maka tinggal menunggu waktu saja kapan Indonesia akan kembali terjerembab dalam kubangan otoritarianisme.

Baikuni Alshafa
Baikuni Alshafa
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang. Dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Saat ini Pimpinan Aktif sebagai Ketua DPP IMM, Bidang Hikmah, Politik Dan Kebijakan Publik Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) Priode 2021-2023
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.