Rabu, April 24, 2024

Ingin Tumpas Hoax? Rawat Tradisi Intelektualisme

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Pada sebuah kesempatan, tokoh senior pers Dahlan Iskan pernah memberi wejangan, media cetak tidak akan pernah mati hanya karena kehadiran media daring (online). Syaratnya, media cetak harus terus berinovasi, mencari celah yang tidak terjangkau oleh media daring.

Media cetak memang punya pesaing dalam diri media daring. Akan tetapi, media daring memiliki ”musuh” yang jauh lebih sengit: media sosial. Prediksi Dahlan Iskan itu menjadi alarm, terutama bagi media daring. Sebab, dari media sosial itulah segala rupa narasi hoax mencuat, lantas merajalela.

Semenjak tahun politik 2014, dan dimungkinkan mencongol lagi di 2018-2019, arus informasi berkembang liar di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Hal itu disebabkan polarisasi antara pendukung antara kubu satu dan kubu lainnya. Juga karena racun oposisi biner yang membuat massa terjebak pada pilihan, kalau tidak ”hitam” ya ”putih”.

Celah itulah yang dimanfaatkan peternak narasi hoax. Asalkan berita atau informasi yang diterima sesuai dengan kehendak hati, bisa juga diimbuhi dengan preferensi politik tertentu, kabar yang belum jelas kesahihannya itu dengan gampang dikirim ulang (share).

Menurut KBBI, hoax (hoaks) dimaknai sebagai berita bohong, yaitu kabar yang belum terang kebenarannya. Hoax sejatinya bukan barang baru. Alquran jauh sebelumnya sudah memperingatkan kaum muslim untuk berhati-hati terhadap kabar palsu itu.

Peringatan tersebut tertuang dalam Alquran surah Al Hujurat (49) ayat 6 yang artinya sebagai berikut: ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah secara teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dewan Pers memang memberikan rambu-rambu perihal ciri-ciri kabar palsu ini. Pertama, begitu disebar hoax bisa mengakibatkan kecemasan, permusuhan, dan kebencian dalam diri masyarakat. Kedua, ketidakjelasan sumber berita. Ketiga, isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu. Keempat, sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi. Meski demikian, ada ikhtiar lain yang bisa dilakukan untuk membendung arus penyebaran hoax. Merawat nalar kritis intelektualisme, salah satunya.

Di Indonesia terdapat sedikitnya lima pemikiran Islam kontemporer. Fundamentalis, yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Tradisionalis (salaf), yaitu model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan.

Reformis, yakni model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Postradisionalis, yakni model pemikiran yang merusaha mendekonstruksi warisan Islam berdasarkan standar modern. Modernis, yakni model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik.

Selanjutnya, Islam mengenal dua dalil, yakni dalil naqli dan aqli. Dalil naqli bersumber dari Alquran, As Sunnah, dan ijma para ulama yang diambil dari intisari Alquran dan As Sunnah. Dalil aqli bersumber dari akal manusia. Dalil ini dijadikan penguat dalil naqli. Merawat nalar intelektulisme tentu sangat memerlukan dalil aqli. Manusia diberi akal sehat, salah satunya tujuannya, untuk membedakan yang haq dan batil, sesuatu yang baik dan buruk.

Dalam upaya menangkal narasi hoax, misalnya, juga dibutuhkan sandaran aqli untuk memperkuat naqli. Gaya pemikiran reformis, postradisionalis, atau modernis sekalipun bisa diterapkan karena akal dipergunakan dengan baik. Sebab, salah satu hal yang menjadi penyebab orang mudah percaya hoax adalah kurangnya merawat intelektualisme. Demi merawat nalar intelektual itu, diperlukan upaya membaca, apa pun, dengan tekun dan baik.

Sebenarnya, upaya merawat intelektualisme di Indonesia sudah berjalan cukup baik. Apalagi dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru di Indonesia, utamanya di kalangan umat Islam, beserta tokoh-tokohnya. Beberapa komunitas, forum, lembaga, dan sebagainya juga dilahirkan untuk mewadahi itu.

Agus Salim (1884-1954) dapat disebut sebagai bapak kaum intelektual muslim modern Indonesia. Menurut indonesianis asal Australia Greg Barton, ungkapan itu memang sesuai dengan tempatnya.

Tokoh-tokoh intelektual muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Prawoto, Jusuf Wibisino, dan masih banyak yang lain adalah hasil bentukan yang sangat gemilang dari Salim, terutama lewat Jong Islamieten Bond yang didirikan pada 1925. Barulah kemudian muncul tokoh-tokoh intelektual Islam lainnya seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo, M. Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, Djohan Effendy, Syafi’i Maarif, Moeslim Abdurrahman, hingga generasi Amin Abdullah.

Tokoh-tokoh cendekiawan muslim di atas kemudian mendirikan lembaga untuk mewadahi pemikirannya dan menelurkan kader penerus. Atau generasi peneruslah yang mendirikan lembaga menggunakan nama tokoh itu. Misalnya, Nurcholish Madjid Society, Syafi’i Maarif Institute, Amien Rais Scholarship (Budi Mulia Dua Foundation), dan Wahid Foundation. Lembaga-lembaga tersebut didirikan untuk menyiapkan generasi penerus dalam merawat tradisi intelektualisme sang tokoh.

Apakah tradisi cendekia bisa memerangi hoax? Merawat nalar intelektual berarti senantiasa berpikir kritis terhadap suatu hal. Para pemikir ini harus diajari untuk ”adil sejak dalam pikiran”. Artinya, ada proses yang oleh George Herbert Mead disebut sebagai ”interaksi simbolik”. Teori ini dimunculkan sebagai respons atas teori behaviorisme. Teori behaviorisme menjelaskan bahwa respons lahir atas rangsangan yang diterima.

Sementara itu, pada teori interaksi simbolik, stimulus tidak selalu sejalan dengan respons. Ada proses interaksi terlebih dahulu di dalam otak untuk kemudian memunculkan respons. Dalam interaksi simbolik, respons bisa muncul dan bisa tidak. Bergantung hasil interaksi di dalam otak manusia.

Dengan adanya interaksi di dalam otak manusia, informasi yang diterima tidak bisa langsung dipercaya begitu saja. Seperti itulah seyogianya otak manusia bekerja. Seperti itulah jika nalar intelektual didayagunakan dengan baik. Jika tidak digunakan dengan baik, akan percaya begitu saja dengan informasi yang diperoleh.

Atau, bisa jadi sudah mencari referensi, tetapi kurang memadai, sehingga tetap saja memercayai hoax. Dengan demikian, berpikir kritis harus menjadi senjata umat manusia dalam rangka merawat tradisi literasi. Hoax adalah penyakit yang mesti dibumihanguskan. Sebab, di negara-negara Timur Tengah (ada yang menyebut Barat Tengah) sana, salah satu pemicu terjadinya perang besar-besaran adalah hoax.

Media-media mainstream juga sudah menerbitkan rubrik untuk clearing house of information. Jawa Pos, misalnya, melahirkan rubrik berjudul Hoax atau Bukan. Detik.com punya rubrik Hoax or Not. Tentu banyak lagi media lain, baik daring maupun cetak, yang melahirkan rubrik-rubrik penangkal narasihoax. Berjibun ikhtiar yang bisa dilakukan untuk menelusuri berita-berita apakah sungguh-sungguh terjadi atau tidak. Turut serta menyebarkan hoax berarti ikut menebar fitnah. Dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Anda pilih mana?

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.