Industrialisasi dan ekonomi adalah dua sejoli yang saling melengkapi. Keberadaan Industrialisasi melahirkan pelbagai analisa menyoal perekonomian. Aspek penawaran datang dari ruang Industri untuk ditawarkan ke konsumen, guna mencapai titik keseimbangan pasar, agar sektor mikro dan makro ekonomi dapat berjalan dengan apik.
Kompas (06/06/2023) dalam Indutrialisasi Jadi Jalan Keluar, mewartakan pentingnya menggencarkan sektor Industri agar lebih santer serta menjamur guna menjemput asa Indonesia gemilang di tahun 2045. Tak semata menggencarkan, aspek menyejahterakan juga dijinjing agar masuk irisan penting dalam menyigi keberjalanan Industrialisasi yang tepat sasaran.
Tak dinaya, UUD 1945 memberikan arah kepada kita, bagaimana, “Menyejahterakan kehidupan bangsa,” bukan perkara sembarang. Mulai dari, membaca aspek sosial, ekonomi, budaya sampai politik, perlu sebuah argumentasi dan praksis yang diperhitungkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Menyoal Industrialisasi, berarti menyinggung hak martabat sebagai Warga Negara Indonesia. Masyarakat Indonesia berperan sebagai subjek penuh untuk berkontribusi aktif bagi keberlangsungan proses penguatan ekonomi melalui Industrialisasi.
Dalam UUD 1945 tersirat pada pasal 27 Ayat 2, menjelaskan bahwasannya masyarakat Indonesia memilih hak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Menyoal hak itulah, Ekonom Senior sekaligus pendiri Center of Reform on Economis, Hendri Saparini, menyigi bahwasannya masyarakat adalah bagian terpenting dalam mencapai negera industri.
Perdebatan akan terus berlanjut. Adalah Indutrialisasi secara moderen vis a vis dengan industrialisasi konvensional tak dapat dipungkiri. Kebimbangan nampak, ketika seluruhnya difokuskan pada aspek profit (pendapatan). Naif, bila kita menampik realitas itu. Tak dapat dipungkiri, bahwasannya pergulatan ekonomi global tak menilik belas kasih. Kita juga perlu menyingsingkan lengan dan menguatkan pelbagai sektor dari segala bentuk persaingan ekonomi secara serius di tingkat global.
Bila kita menilik Tiongkok dalam percaturan persaingan ekonomi mulai dari medio 1978. Tanpa gentar, Tiongkok mempersiapkan segala hal termasuk banting setir dalam kebijakan ekonomi, agar tak selalu disebut sebagai negeri “Tirai Bambu.” Konsep Indutrialisasi awalnya yang digawangi oleh Deng Xiaoping itu, berimbas kepada rethinking Tiongkok dari yang culun menjadi kekar dan kuat dari kacamata ekonomi dan industrialisasi. Kita juga perlu memikirkan kembali, pedang tombak ekonomi kita.
Kemanusiaan
Peraih Nobel Ekonomi 1993 Robert Fogel dan Douglas North menyigi bagaimana pentingnya institusi sosial dan menghargai hak asasi manusia, bagi kelangsungan ekonomi. Robert Fogel menyigi bahwasannya reformasi ekonomi akan bermasalah bila dilakukan tanpa menghormati nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia.
Keresahan Fogel dilandasi oleh peristiwa sejarah abad ke-19 menyoal perbudakan yang membuat rabun para pemilik modal untuk memahami hak dan harkat martabat para pekerja yang dihiraukan, sehingga banyak terjadi kepincangan antara pekerjaan dan hak hidup para pekerja.
Fogel yang membidangi sejarah ekonomi, menawarkan pelbagai data untuk menjadi sebuah pembelajaran bagi pemegang kebijakan terkhusus pemilik modal agar tak semena-mena dengan rengkuh kuasanya itu.
Seutas opini gubahan Soedjatmoko dalam Majalah Prisma (06/12/1975) berjudul Beberapa Implikasi Politik dan Sosial dalam Tata Ekonomi Internasional Baru, Soedjatmoko beberapa kali menyinggung kebebasan dalam perekonomian yang melahirkan sebuah industrialisasi disamping keharusan untuk benar-benar merealisasikan sebuah kesejahteraan sosial.
Soedjatmoko menyigi, pergulatan pasar bebas tak dapat dihindarkan. Industrialisasi pasti akan tetap berjalan. Bila kita menolak, maka ketertinggalan membayang-bayangi bangsa ini. Walakin, progres industrialisasi tidak berjalan efektif dan meyakinkan jikalau tujuan pembangunan dalam negeri yang melandasi perjuangan internal itu, tidak secara sungguh-sungguh dilaksanakan di atas kaki sendiri.
Mengetuk palu agar Industrialisasi santer, tak melulu menyoal penanaman modal selanjutnya ngunduh hasil berupa Product Domestic Bruto (PDB). Soedjatmoko, memandang lebih jeli, dimana dalam proses itu tersinggah silang sengkarut ekonomi serta politik. Perlu pembacaan secara jeli, jangan sampai malah negeri ini menjadi ketergantungan dengan negara lain, yang menyangsikan kemandirian.
Industrialisasi dan Negara Mandiri
Industrialisasi nyatanya melahirkan negara-negara kuat. Jerman dan Tiongkok mempunyai perjalanan menarik, membangun bangsanya kuat dimulai dari Industrilaisasi. Buku Gubahan Thomas Pikety berjudul Kapital (Globalindo, 2021) memberi tahu negera-negara Industri itu memiliki semangat etos kerja tinggi dengan dibuktikan membangun ruang-ruang industri.
Industrialisasi menyiratkan sebuah pengorbanan. Pengobanan bagi masyarakat dunia untuk mengorbankan ladang produktif (baca; pertanian dan hutan) agar digantikan oleh tonggak-tonggak sentra Industri. Piketty menyadur celoteh David Ricardo yang menerawang sebab-sebab musabab kelangkaan sehingga muncul kebijakan ekonomi.
Indonesia memiliki semua kekayaan alam yang dibutuhkan oleh bangsa lain. Memfokuskan untuk menyisir pada sektor tertentu sahaja, dirasa begitu eman. Nilai lebih dari hasil kekayaan alam itu, sebenarnya menjadi daya dobrak dalam sektor perekonomian. Kendati demikian, perlu adanya keseriusan untuk mendigdayakannya, antara lain; pengembangan secara serius untuk kemandirian mengelola dari kaki tangan sendiri.
Koentowijoyo dalam buku Demokrasi dan Budaya Birokarsi (IRCiSoD, 2018) mengingatkan kita mengenai perbuahan zaman yang tak terelakan. Industrialisasi sudah berjalan hampir berabad-abad dan melahirkan sebuah struktur baru dalam lingkup kehidupan sosial. Koentowijoyo, menyampaikan bahwasannya untuk menjadi negara yang mandiri, perlu juga memperhatikan etika Industri. Kerja sama antara para ektor industri dengan agamawan intelektua, pekrja sosial dan politis diperlukan untuk sebuah rekayasa industrial yang manusiawi. Sekian.