Sabtu, April 20, 2024

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

Rizqi Bachtiar
Rizqi Bachtiar
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya Malang

Rilis terbaru Transparency Internationaltentang tingkat Corruption Perception Index / Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menempatkan Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara-negara yang diteliti. Walaupun peringkat tersebut menurun dari IPK tahun lalu yaitu peringkat 90, sejatinya Indonesia memperoleh skor IPK yang sama dari tahun lalu, yaitu 37.

Stagnasi persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut juga dapat dilihat dari kurang signifikannya kenaikan skor IPK dalam lima tahun terakhir. Rilis IPK tahun 2013, Indonesia mendapatkan skor 32 dan secara perlahan naik di angka 37 di tahun 2018. Tentunya skor tersebut masih sangat jauh dengan peringkat pertama IPK yaitu Selandia Baru yang selalu mendapatkan skor di atas 88 dalam lima tahun terakhir.

Kurang progresifnya kenaikan skor IPK di Indonesia sejatinya merupakan cerminan kondisi Indonesia secara umum. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi dan skor IPK, antara lain kepastian hukum, pelayanan publik, kemudahan berbisnis serta sepak terjang elit politik dalam sebuah negara.

Dilihat dari beberapa faktor tersebut, tentunya Indonesia harus banyak berbenah dalam banyak sektor. Yang terbaru misalnya, disebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam salah satu negara dengan ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin tertinggi di dunia (Gibson, 2017).

Salah satu penyebab tingginya gap tersebut adalah political capture, dimana disinyalir ada oknum pemangku kebijakan yang menggunakan kewenangannya hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Bisa dibayangkan besarnya kebermanfaatan uang kerugian negara dari skandal E-KTP sekitar Rp 2,3 triliun jika digunakan untuk mempersempit gap tersebut di atas daripada sekedar kepentingan-kepentingan dan intrik politik. Hal tersebut itulah yang menjadi salah satu alasan lesunya persepsi korupsi di Indonesia.

Menariknya, disadari atau tidak, negara dengan tingkat persepsi korupsi yang tinggi justru didominasi oleh negara yang ‘beragama’. Padahal seharusnya, ajaran suci yang terkandung dalam agama seharusnya menjadi sebuah peluang untuk menekan ‘agresivitas’ munculnya para koruptor. Akan tetapi, Heather Marquette (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sebenarnya agama mempunyai dampak yang minim dalam menekan perilaku koruptif.

Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa korupsi merupakan problem collective action daripada persoalan nilai. Dalam hal ini, memang collective action rentan terhadap infiltrasi penumpang gelap (free-riders) yang mempunyai kepentingan di luar kepentingan bersama (self-interests). Apalagi jika wadah collective action itu adalah lembaga politik yang rentan dengan free-riders dan self-interests misalnya DPR. Oleh sebab itu, maka korupsi tidak beririsan dengan agama apapun, melainkan memang ada perilaku-perilaku individu yang menyimpang dari norma.

Pemerintahan yang Terbuka

Dalam risetnya mengenai pemberantasan korupsi, Transparency International juga memberikan lima rekomendasi penting untuk mengatasi korupsi di berbagai negara. Uniknya, lima rekomendasi tersebut sangat erat kaitannya dan berhubungan dengan sistem open government.

Pada prinsipnya, semakin terbuka birokrasi pemerintahan, akan semakin mudah masyarakat untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan. Dalam principal-agent relations, rakyat di dalam sebuah negara demokrasi merupakan principal, yang mana kekuasaan negara ada di tangan rakyat, sedangkan agent adalah pemerintah yang diberikan mandat oleh rakyat untuk menjalankan apa yang rakyat inginkan.

Oleh karena itu, sangat aneh jika sampai saat ini, rakyat masih merasa kesulitan dalam menyampaikan aspirasi, dan pemerintah yang seakan menutup telinga atas kritik dari masyarakat.

Secara umum, open government merupakan sebuah inisiatif yang membuat pemerintahan lebih terbuka. Secara rinci, Meijer, et al. (2012) menjelaskan bahwa open government merupakan inisiatif yang menghubungkan antara vision (keterbukaan pemerintah) dan voice (partisipasi masyarakat).

Artinya bahwa dalam open government, tugas pemerintah bukan hanya meningkatkan keterbukaan publik dengan misalnya memuat informasi kegiatan dalam portal resmi lembaga saja, namun juga membuka saluran aspirasi dan komunikasi masyarakat, sehingga masyarakat dengan mudah bisa menyampaikan saran dan kritiknya kepada pemerintah.

Sebagai negara yang tergabung dan berpartisipasi aktif dalam Open Government Partnership, Indonesia sebenarnya merintis berbagai macam kebijakan turunan dari open government yang bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, yaitu portal Lapor!

Portal itu menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mengawasi bahkan melaporkan segala tindakan yang kontraproduktif, misalnya korupsi untuk segera ditindak. Namun fakta bahwa tidak semua lembaga dan pemerintah daerah tergabung dalam inisiatif ini serta dibutuhkannya kemampuan mengoperasikan perangkat teknologi dengan baik menjadikan pemerintah harus bekerja lebih keras lagi dalam implementasi open government, khususnya portal Lapor!

Memperkuat Lembaga Penegak Hukum

Selama ini KPK memang menjadi salah satu benteng penanggulangan korupsi di Indonesia. Namun dalam perjalanannya, isu pelemahan maupun superpower-nya kewenangan KPK sering terdengar beberapa tahun terakhir. Perdebatan tersebut pada akhirnya berujung kepada kewenangan pemerintah maupun DPR sebagai pemangku kebijakan dan pembuat regulasi.

Pemerintah dan DPR seharusnya bisa bekerja sama untuk merumuskan dan menciptakan aturan-aturan yang tepat, dalam hal ini adalah memberikan kewenangan yang tepat dan sah kepada KPK, dimana ujungnya adalah menurunnya kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Namun adanya sinyal keterlibatan pejabat-pejabat negara seperti menteri, kepala daerah dan anggota DPR dalam dalam kasus megaproyek E-KTP, bahkan penyerangan terhadap salah satu penyidik KPK, menjadikan publik semakin resah. Mau dibawa kemana arah penegakan hukum kasus-kasus korupsi di Indonesia? Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan justru melemahkan semangat dan menumpulkan gerakan anti korupsi.

Maka seharusnya pemerintah maupun DPR mempunyai kewajiban mengembalikan trust masyarakat dalam semangat pemberantasan korupsi. Salah satu caranya adalah memastikan KPK mempunyai kewenangan yang tepat untuk memberantas korupsi, bukan malah menumpulkannya.

Penelitian dari Transparency International juga menyebutkan bahwa gerakan oposisi yang kuat dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK turut andil dalam stagnansi peringkat IPK Indonesia. Oleh karenanya, memperkuat lembaga penegak hukum terlebih yang berkaitan dengan kasus korupsi adalah sebuah keharusan.

Rizqi Bachtiar
Rizqi Bachtiar
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.