Minggu, Desember 8, 2024

In Memoriam Muhammad Arkoun: Al-Jahl Al-Muqaddas

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Selain menjadi kontributor tetap di E-Harian Aula Jatim, penulis juga kader PMII Probolinggo. Saat ini menjabat ketua III PC PMII Probolinggo.
- Advertisement -

Dalam 20 tahun terakhir ini, ketika Islamic studies dan religious studies menggunakan pisau analisis hermeneutik, linguistik, semiotik, historis dan ilmu-ilmu humaniora lainnya yang berkembang di Barat, segera kita teringat Muhammad Arkoun. Arkoun lahir pada 1 Februari 1928, di Kabilia, Aljazair. Dan meninggal pada tahun 2010 yang lalu.

Arkoun-lah dari sangat sedikit sarjana Muslim modern, sejak akhir 1980-an hingga akhir hayatnya yang mendorong studi-studi Islam untuk memakai ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial yang berkembang di Eropa. Dia dikenang misalnya karena mengenalkan “Dekonstruksi” dan “Episteme”.

Bagi Arkoun, dalam mengkaji Islam, Islam jangan hanya dipandang sebagai ajaran, tapi juga sebagai sejarah dan peradaban melalui banyak tahapan, dan setiap tahapan atau priode dibentuk oleh “cara berpikir tertentu” atau Episteme, istilah yang dipinjam Arkoun dari Foucalt.

Artinya, setiap tahapan dalam sejarah Islam ditentukan oleh Episteme atau struktur pemikiran masyarakat pada masa itu. Ketika zaman berubah, maka berubah juga episteme itu. Kalau mau paham suatu ajaran, atau praktik keagamaan, atau suatu tahapan sejarah di masa tertentu harus tahu episteme-nya.

Episteme itu mengalami potongan-potongan, atau semacam rapture (potongan). Zaman berubah, terpotong Episteme lama, muncul Episteme baru. Episteme baru berubah, terpotong, muncul Episteme baru dan begitu seterusnya. Jadi, Episteme itu potongan-potongan seperti (dalam bahasa penulis) kue lapis.

Sejarah itu seperti kue lapis yang berlapis-lapis, setiap lapis ada warna-nya, ada Episteme-nya. Praktik, kultur, dan pemahaman agama tidak bisa dipisahkan dari episteme-nya. Episteme zaman kaum Muslim selalu berbeda dari masa ke masa. Muslim abad pertengahan berbeda episteme-nya dengan Muslim masa kini.

Yang jadi masalah, kata Arkoun, kalau ada anggapan bahwa sejarah itu tidak terkait dengan Episteme, atau sejarah itu dianggap sebagai non-historis. Sejarah agama misalnya, dianggap sebagai supra-historis, dalam pengertian agama dipahami dan dipraktikkan tanpa terkait dengan konteks sejarah tertentu.

Agama dipandang sebagai kategori supra-historis. Sejarah itu tidak mempengaruhi apa-apa: praktik, pemikiran, dan peradaban agama itu seolah tidak dibentuk oleh sejarah. Apa yang disebut “peradaban Islam” itu diyakini murni dibentuk dari doktrin atau dogma dan dogma itu berasal dari Tuhan. Tuhan itu mengatasi sejarah, sehingga agama tidak kenal sejarah (konteksnya).

Masih tentang Arkoun. Ia mengkritik cara pandang kaum Muslim yang model beginian, yang anti-sejarah. Arkoun menyebut kaum Muslim model begini sebagai kaum fundamentalis, dalam pengertian “menganut Islam anti-historis”. Islam sejak masa Nabi sampai hari ini seolah-olah sama saja. Kalau pun tidak sama harus diubah supaya sama dengan abad ke-7, yakni masa Nabi.

Masa lalu selalu dipandang “lebih bermakna” dari masa kini. Banyak persoalan agama dan kemanusiaan masa kini yang selalu dicari semua solusinya dari 10 atau 15 abad lalu. Pemikiran dan praktik keagamaan masa lalu selalu ingin dihadir-hadirkan untuk mengatasi problem keagamaan masa kini yang kompleks.

- Advertisement -

Menurut Arkoun, ini pandangan yang sangat berbahaya. Kaum Muslim jadi jumud, tertutup, tidak mau memaksimalkan nalarnya. Pasrah kepada teks. Bahkan di banyak tempat menjadi “para penyembah teks”. Kata Arkoun, inilah yang menyebabkan kaum Muslim terbelakang dalam banyak hal dibanding negeri-negeri lain yang maju.

Tentang Al-Jahl Al-Muqaddas

Konsep lain dari Arkoun yang cukup menohok adalah Al-Jahl Al-Muqaddas (kebodohan yang disakralkan). Menurut Arkoun, Al-Jahl Al-Muqaddas adalah dogma, doktrin dan akidah yang terus diyakini dan diulang-ulang oleh masyarakat besar Muslim dari generasi ke generasi, melalui panutannya. Padahal, apa yang disebut akidah dan doktrin agama adalah konstruksi masyarakat Muslim berdasarkan teks-teks suci dari Tuhan yang “dipahami dan ditafsirkan” dalam pergulatannya dengan konteks-konteks sejarah tertentu.

Akidah, dogma dan doktrin, kata Arkoun, tidak turun dari langit. Yang turun dari langit adalah teks. Teks itu dipahami, ditafsirkan, dan disucikan oleh elit-elit ulama Muslim, lalu menjadi ortodoksi mati (tertutup) yang dianut oleh masyarakat Muslim. Dengan kata lain, apa yang diyakini sebagai akidah atau doktrin agama adalah, sebenarnya perjumpaan atau pergumulan orang (elit ulama) dengan teks.

Proses transmisi akidah, doktrin dan ortodoksi ini yang diajarkan dari masa ke masa oleh Arkoun disebut sebagai “Jahlun Muassas” (kebodohan yang dikokohkan atau difondasikan).  Oleh siapa? Kata Arkoun, oleh panutan mereka! Padahal, mestinya kaum Muslim harus mau berpikir dan mau mendalami doktrin, akidah dan ortodoksi itu, dalam konteks apa muncul? Siapa yang merumuskannya? Kapan dan dimana muncul? Apakah masih relevan dengan masa kita hidup sekarang? Karena bagi Arkoun jelas, bahwa paham, dogma, doktrin dan ortodoksi keagamaan selalu muncul atau dikonstruksi oleh Episteme, oleh sejarah pada masanya.

Selain membaca teks-teks Islam awal dan abad pertengahan, sebagian besar alam pikir para filusuf dan pemikir Humanitarian Eropa, terutama Perancis, dipakai oleh Arkoun untuk proyek besarnya: nalar Islami, dekonstruksi dan Episteme.

Tentu saja, Arkoun dikritik dan dihajar dimana-mana, terutama oleh para penjaga tradisi keagamaan yang mapan. Massa muslim yang jumlahnya lebih besar dari para pembaharu dan pengikutnya, tetap merasa nyaman (atau dibuat selalu nyaman oleh elit-elit agama) dengan model keagamaan yang sudah dipraktikkan dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.

Akan tetapi, Arkoun, dan para pembaharu lainnya, akhirnya tetap dalam kesepian, menjadi manusia soliter, meskipun saya yakin ia, dan teman-teman pembaharu, selalu memiliki kebahagiaan berlimpah, terutama dalam proses-proses kontemplatif mereka.

Gagasan-gagasan para pembaharu hanya didiskusikan di kelas-kelas terbatas dengan para pengkaji yang memang benar-benar meminatinya. Mungkin ada banyak Muslim yang tertarik dengan ide-ide pembaharuan. Namun, akhirnya harus kompromi dengan realitas sosiologis dan psikologi mayoritas massa serta kehendak pasar. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Selain menjadi kontributor tetap di E-Harian Aula Jatim, penulis juga kader PMII Probolinggo. Saat ini menjabat ketua III PC PMII Probolinggo.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.