Rabu, Mei 1, 2024

Climate Anxiety: Dampak Psikologis dari Perubahan Iklim

Siti Jaro'ah
Siti Jaro'ah
Seorang dosen psikologi yang tengah menggeluti kesehatan mental dalam bidang lingkungan.

Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, angin topan, kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang panas umum terjadi di Indonesia. Bahkan terasa seperti langganan setia yang silih berganti sesuai musim.

Ketika musim penghujan datang akan penuh berita mengenai pemukiman di Kota J terendam banjir, bukit di Kabupaten X longsor, atau angin topan memporak porandakan perkampungan di Desa S. Sementara berita mengenai kekeringan panjang di tempat ini atau kebakaran hutan berkepanjangan di daerah itu menjadi highlight berita ketika musim kemarau.

Masyarakat sudah tidak lagi kaget ketika bencana tersebut datang, bahkan sudah bisa mengantisipasi kapan akan terjadi apa. Seolah semua orang di negara ini sudah terbiasa dan mulai menerima bencana lingkungan tersebut. Meskipun pasti keluh kesah tetap dirasakan.

Saya yakin, semua pembaca sudah mengetahui bahwa bencana yang terjadi merupakan akibat perubahan dan krisis iklim berkepanjangan. Kenaikan suhu bumi yang terus terjadi meningkatkan probabilitas bencana alam yang dampaknya mengakibatkan kerusakan lingkungan, hancurnya pemukiman warga, terjadinya migrasi tak diinginkan, luka fisik hingga kematian. Namun tahukah, bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya mengakibatkan kerusakan pada kondisi fisik namun juga kondisi psikologis manusia?

Iya, perubahan iklim berdampak pada munculnya berbagai permasalahan kesehatan mental yang dikenal dengan istilah eco-anxiety atau climate anxiety, dan telah secara konsisten dibuktikan oleh berbagai penelitian. Tulisan ini akan mengulik sedikit mengenai apa itu climate anxiety, bagaimana terjadinya, dampaknya terhadap kehidupan, serta apa yang perlu dilakukan.

Climate Anxiety: Apa dan bagaimana terjadinya?

Climate anxiety merupakan kecemasan atau kekhawatiran yang dirasakan berkaitan dengan kerusakan atau krisis lingkungan (Clayton, 2020). Berbagai emosi negatif seperti kesedihan, kekhawatiran, ketakutan, kemarahan, dan rasa frustrasi muncul sebagai wujud respons psikologis atas terjadinya berbagai bencana lingkungan.

Pada taraf ringan, kecemasan ini bisa berdampak positif karena menggerakkan seseorang untuk melakukan aksi pro-lingkungan, namun pada taraf yang lebih berat kecemasan ini akan menimbulkan dampak negatif seperti mengakibatkan sulit konsentrasi, insomnia, hingga mengganggu keseharian individu.

Istilah climate anxiety di Indonesia masih terasa asing, karena belum banyak kajian yang mengupas mengenai topik ini. Selain karena masih merupakan kajian yang cukup baru, perhatian masyarakat mengenai dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental memang masih kurang. Framing berita dan informasi di media masih seputar dampak perubahan iklim terhadap kerusakan yang bersifat fisik, dan belum menyinggung kerusakan yang bersifat psikologis.

Dampak bencana alam akibat perubahan iklim terhadap kerusakan fisik sudah dapat dilihat secara jelas. Akan tetapi bagaimana bencana alam berdampak terhadap kesehatan mental, terkhusus kecemasan iklim, perlu untuk ditelisik lebih dalam. Efek bencana alam terhadap kesehatan mental dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.

Bencana alam seperti banjir atau tanah longsor dapat secara langsung menimbulkan dampak psikologis yaitu terjadinya gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder) pada korban. Di samping itu, bencana alam juga dapat secara tidak langsung menimbulkan permasalahan psikologis di mana kerugian fisik, kehilangan tempat tinggal, migrasi yang tidak diinginkan, dan ketidakpastian masa depan akan menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu. Dalam jangka panjang, apabila kekhawatiran ini tidak teratasi akan menimbulkan gangguan psikologis yang lebih berat seperti depresi.

Semua orang dapat mengalami kecemasan lingkungan, tidak terbatas mereka yang terdampak langsung bencana alam. Pemberitaan media dan informasi krisis lingkungan di jejaring sosial dapat menjadi sumber kecemasan iklim. Utamanya bagi generasi muda yang lekat dengan media sosial.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Hickman dkk., (2021) mengungkapkan bahwa generasi muda lebih rentan terhadap kecemasan iklim. Mereka memiliki ketakutan akan masa depan yang suram akibat krisis lingkungan berkelanjutan. Terlebih generasi saat ini adalah mereka yang akan hidup di masa yang akan datang, dan harus menanggung dampak kerusakan yang terjadi.

Selain generasi muda, masyarakat yang mata pencahariannya bergantung kepada alam juga merupakan kelompok rentan. Nelayan dan petani dapat kehilangan mata penceharian akibat krisis lingkungan. Kehilangan sumber penghidupan sementara tidak memiliki keahlian lain untuk mencari nafkah akan menimbulkan rasa putus asa dan ketidak berdayaan yang dapat berujung pada permasalahan kesehatan mental. Semakin diperparah dengan sulitnya akses fasilitas kesehatan mental yang masih terbatas di Indonesia.

Aksi Pro-lingkungan Saja Tidak Cukup

Kecemasan iklim akan menjadi permasalahan psikologis yang umum terjadi di tengah perubahan iklim berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu negara berisiko tinggi atas dampak perubahan iklim memiliki risiko yang lebih tinggi pula untuk masyarakatnya mengalami climate anxiety. Sayangnya, belum ada kebijakan publik sebagai mitigasi preventif. Jangankan aksi preventif, perhatian terhadap permasalahan ini saja masih sangat kurang.

Menilik masih masifnya penggundulan hutan dan pemanfaatan energi fosil mengindikasikan pemerintah belum menaruh perhatian serius untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan mengakibatkan bencana alam yang semakin sering terjadi, yang mana hal tersebut sudah dapat disaksikan dan dirasakan akhir-akhir ini. Tentu saja, bencana lingkungan tersebut akan menimbulkan kerusakan fisik dan psikologis yang tidak sedikit.

Aksi pro-lingkungan saja tidak cukup, apabila akar permasalahan tidak diatasi. Selama ini, banyak aktivis yang menggaungkan pola hidup cinta lingkungan dengan mengurangi sampah plastik dan menghemat penggunaan listrik. Tetapi aksi itu hanyalah riak di tengah lautan jika tidak didukung dengan kebijakan publik yang menyeluruh dan terstruktur dari pemerintah.

Kebijakan tersebut tidak hanya menyasar penanggulangan dampak fisik akibat perubahan iklim, namun perlu disusun juga penanggulangan terhadap dampak psikologis.

Pemerintah perlu bekerja sama dengan profesional medis kesehatan mental untuk menyusun panduan preventif ketika seseorang terdampak secara psikologis akibat perubahan iklim atau bencana lingkungan. Kebijakan ini juga perlu mendengarkan suara berbagai pihak yang rentan terhadap kecemasan iklim, seperti generasi muda atau masyarakat adat yang tinggal dekat dan bergantung terhadap alam. Langkah preventif perlu dilakukan sedini mungkin agar dampak perubahan iklim, baik secara fisik maupun psikologis, tidak semakin parah.

Referensi

Clayton, S. (2020). Climate anxiety: Psychological responses to climate change. Journal of Anxiety Disorders, 74(102263), 1–7.

Hickman, C., Marks, E., Pihkala, P., Clayton, S., Lewandowski, R. E., Mayall, E. E., Wray, B., Mellor, C., & van Susteren, L. (2021). Climate anxiety in children and young people and their beliefs about government responses to climate change: a global survey. The Lancet Planetary Health, 5(12), e863–e873.

Siti Jaro'ah
Siti Jaro'ah
Seorang dosen psikologi yang tengah menggeluti kesehatan mental dalam bidang lingkungan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.