Sabtu, April 20, 2024

Idealisme Guru Muda: Mengajar di Sekolah Negeri atau Swasta

Rizki Feby Wulandari
Rizki Feby Wulandari
Mahasiswi konsentrasi pendidikan

“Jiwa idealisme pemuda yang perlu selalu dijaga, karena hanya ini satu-satunya yang paling berharga melebihi Mutiara”. Petuah sang legenda Tan Malaka yang saya rasa masih relevan untuk masa sekarang. Meskipun, dalam keseharian realita terkadang menggerus paksa idealisme yang kita tanam karena takut pada hari esok mau bergaya seperti apa? (karena enggak ada uang).

Pilihan dilematik dihadapkan kepada para fresh-graduate jurusan Pendidikan. Terlepas mereka merasa salah jurusan atau tidak, jika dia yang mencintai dunia Pendidikan. Profesi sebagai guru tentu sudah menjadi pilihan pertama, memanfaatkan segala hal yang didapat selama perkuliahan, dan tidak ingin menganggur selepas S1 atau mengisi kekosongan sebelum lanjut S2.

Mengajar di sekolah Negeri atau Swasta juga menjadi pertimbangan berikutnya. Apa saja pertimbangannya? tidak akan saya jelaskan secara gamblang di sini. Saya hanya menjabarkan hal dilematik versi saya yang agak menggelitik.

Perbedaan yang jomplang, sekolah swasta pengembangan gurunya saya akui lebih bagus, dan bicara gaji yaa lumayan menggiurkan.

Pertama, jika dilihat secara mata terbuka terpampang jelas bagaimana beban yang ditanggung guru negeri dalam adminitrasi sungguh berat jika dibanding guru swasta yang bisa lebih berfokus pada pembelajaran dan muridnya.

Persoalan ini tidak berhenti di sini, melainkan waktu yang tersita ini bisa digunakan guru-guru untuk mengembangkan performa guru. Soal pengembangan diri dan adminitrasi jika dipandang hanya masalah konsistensi dan kedisiplinan diri. Jika begitu adanya, baiklah mari coba lebih mendisiplinkan.

Akan tetapi, bagaimana dengan ibu guru yang sudah berkeluarga, di samping memikirkan perkembangan karirnya, ada anak di rumah yang menantikan waktunya juga. Terkesan gak professional mungkin, namun ini adanya.

Meskipun begitu, tidak akan ada guru yang dalam hati kecilnya tidak ingim memberikan pembelajaran terbaik bagi muridnya. Hal ini mengajarkan guru negeri untuk berjuang lebih keras lagi memberikan yang terbaik di tengah keterbatasan yang ada.

Kedua, menyoal gaji guru yang tak seberapa. Memang di negara kita Pendidikan layaknya masih jauh dari perhatian pemerintah. Baik itu sekolah negeri maupun swasta. Akan tetapi kesejahteraan guru honorer sekolah negeri lebih miris.

Meskipun ada harapan P3K (karena PNS yang digadang saat ini tidak ada) namun ini bukan jaminan seutuhnya mengenai kesejahteraan guru kontrak masa kini. Namun bolehlah setidaknya itu bisa kita perjuangkan terlebih dahulu.

Menyoal gaji, saya pernah mendengar pendapat yang terdengar mudah. Tapi untuk kenyataannya, mari kita buktikan bersama. Jadi seperti ini bunyinya, “Jangan jadikan mengajar itu untuk mencari uang, nanti jatuhnya tidak ikhlas.” Hal ini secara tidak langsung mengajak kita sebagai guru untuk “nyambi” kerjaan lainnya.

Untuk guru muda mungkin ini masih bisa ya, karena tanggungannya belum sebesar yang berkeluarga, kecuali, jika dapat suami atau istri orang kaya -udah beda cerita-. Realitanya? bapak/ibu guru yang tanggungannya enggak cuma menyoal uang, tapi pembagian waktu juga.

Jika nyambi kerjaan lain, tanggung jawab mengajar menjadi lebih berat karena kefokusan terbagi. Sebenarnya, saya yakin jika bapak ibu guru diberi opsi pilihan menyambi kerjaan lain, pasti mau. Akan tetapi, jika dipertimbangkan konsekuensinya ini yang perlu dipikirkan.

Hal sepele saja, pengen tidur agak larut untuk lembur pun mikir, anak-anak besok perlu guru yang memiliki performanya fresh, enggak loyo, dan ngantukan. (Saya sebut siswa menjadi anak, karena mereka anak kita di sekolah.)

Merasa bersalah juga kalau capek, mood kacau. Pasti langsung terbesit di pikiran meskipun tidak saat kejadian berlangsung, anak-anak perlu guru yang goodmood, yang sabar, bijak enggak gampang marah atas kesalahan kecil.

Begitulah kegelisahan yang saya rasakan. Kita ditenangkan oleh ungkapan rejeki itu “sangkang paran” jika terlalu sufistik menurutmu yang terlalu menggunakan logika tematik, lalu apa yang engkau percayai?

Sujiwo Sutejo juga menampar, perihal menghina Tuhan tak perlu menginjak kitab sucinya, cukup khawatirkan besok mau makan apa. Sungguh, Tuhan akan beri jalan pada hamba-Nya.

Di samping menyoal kegelisahan di atas. Ada nasib anak-anak negeri sangat membutuhkan Pendidikan. Dan ini jauh lebih penting daripada kepentingan diri kita pribadi. Kenapa saya katakan demikian?

Saya ambil contoh kondisi di ranah Pendidikan dasar saat ini, masih banyak anak yang perlu dibantu di masa emasnya yaitu rentang usia sekolah dasar. Beruntunglah anak yang memiliki orang tua yang mengutamakan pada pendidikan anaknya lalu mencarikan sekolah atau Yayasan bergengsi yang dalam ranah ini Swasta yang saya maksud.

Lalu, bagaimana anak yang kurang beruntung? Ia yang memiliki orang tua yang fokusnya terpecah sehingga pendidikan anak bukan menjadi hal yang utama. Jika tanpa ada sekolah dasar negeri, bagaimana pertolongan melalui Pendidikan mereka sentuh?

Hal menggelitik yang menggelayuti pikiran saya akhir-akhir ini. Mengenai keegoisan diri yang terlalu memikirkan masa depan diri sendiri, atau masa depan anak di negeri. Jika semua guru negeri tidak sabar dan memilih pindah mengajar di sekolah Swasta, siapa yang memikirkan anak-anak di sekolah negeri?

Tapi yang saya percaya, Tuhan tidak akan membiarkan hambanya sengsara. Tidak akan ada ketulusan yang Tuhan sia-siakan. Jika ada sisi rumit saat ini, kejutan besar akan kita temui jika mampu mensyukuri nikmat yang ada di tangan sekarang.

Rizki Feby Wulandari
Rizki Feby Wulandari
Mahasiswi konsentrasi pendidikan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.