Saat ini kita sedang memasuki musim hujan. Ingatan kita akan hujan tidak terlepas dari bahaya alam yang akan terjadi. Seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Sebagai manusia yang penuh dengan keterbatasan, kita seringkali memahami hujan hanya sebatas pada kenikmatan dan kerumitan. Mengapa?
Di satu sisi, hujan dimaknai sebagai karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyuburkan tanaman dan tumbuh-tumbuhan lain yang saat ini kehabisan cadangan air. Tetapi pikiran akan hujan juga mengalami kontraproduktif dalam pikiran manusia itu sendiri.
Di sini hujan dimaknai sebaga kerumitan yang akan mengganggu aktifitas manusia dalam melancarkan kegiatan baik ekonomi, pendidikan dan berbagai macam kegiatan lain. Hal ini tentu diyakini bahwa hujan hanya akan menghalangi serta menambah kerumitan bagi kita.
Dua perspektif seperti ini tentu didasarkan atas sudut pandang manusia dalam memahami keberadaan hujan. Artinya, manusia sebagai subjek dari alam memahami hujan hanya mendaraskan pikiran mereka kedalam dua sudut pandang tersebut. Sehingga ini tentu akan bertolak belakang dengan kemanfaatan hujan.
Hujan hanya dimaknai seturut dengan kesenangan pribadi manusia. Di saat kekurangan air, kita mengharapkan adanya hujan. Di saat kita sedang melaksanakan kegiatan, hujan sama sekali dipahami sebagai musibah yang tidak diharapkan oleh manusia. Di situ hujan dimaknai seturut keinginan dan kehendak.
Baru-baru ini masyarakat Jakarta dan sekitarnya menghadapi bencana alama berupa banjir. Banjir yang menimpa kota Jakarta tentu sangat ditolak oleh semua pihak. Karena dengan banjir segala aktifitas publik pasti akan terhambat dan terganggu. Lalu-lintas kendaraan dan pejalan kaki juga terhambat. Orang mulai gusar dengan keadaan seperti ini.
Di tengah kondisi banjir yang menimpa Jakarta dan sekitarnya, publik justeru menyoroti pemerintah kota sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam menangani masalah banjir. Masalah banjir seolah menjadi perhatian dan urusan pemerintah. Masyarakat seolah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut untuk diselesaikan oleh pemerintah.
Seolah ini merupakan tanggung jawab pemerintah semata yang harus segera menyelesaikannya. Belum sampai di situ, media sosial mulai nyaring dan ikut serta menyuarakan tuntutannya agar pemerintah segera menyelesaikan masalah banjir. Dengan meme yang bertebaran di media sosial, bukan hanya warga yang terkena dampak banjir, pun juga warga diluar Jakarta juga turut menyuarakan tuntutan tersebut.
Dua kekuatan masa yang sedang menuntut pemerintah untuk menyelesaikan masalah banjir, yang terkena dampak dan diluar wilayah banjir. Ini merupakan hal wajar yang memang terjadi dalam sebuah negara. Peran warga negara menjadi penting dalam usaha menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah, seperti banjir misalkan.
Namun terlepas dari masalah banjir yang terjadi di Jakarta, masyarakat sebetulnya menjadi pihak yang turut bertanggung jawab dalam mencegah adanya banjir. Artinya, melalui usaha bersama membuang sampah pada tempatnya merupakan bagian penting yang juga turut mencegah bencana banjir terulang kembali. Di sini sebetulnya masyarakat bisa dituntut untuk kembali merefleksikan diri. Apakah sudah menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam usaha mencegah banjir atau malah ikut-ikutan mendatangkan banjir?
Pertanyaan reflektif ini perlu digaungkan ditengah merebaknya kesadaran masyarakat dalam upaya mengatasi banjir. Di mana-mana di Indonesia, masalah seperti ini menjadi tanggung jawab pemerintah, sementara peran sentral masyarakat sangat penting dalam usaha mengatasi timbulnya masalah. Memang kita berada dalam sebuah negara yang dipimpin oleh pemimpin, tetapi bukan berarti segala tugas dan tanggung jawab publik semuanya diserahkan kepada pemimpin.
Bagi saya yang tinggal diluar Jakarta yang hanya mengetahui isi berita dan kondisi banjir lewat media sosial, semestinya bijak memahami kondisi riil. Maksudnya, meme yang muncul ditengah masalah banjir harus bisa digunakan dengan bijak. Sehingga sebagai netizen yang bijak, kita mampu memahami secara lebih kompleks masalah banjir.
Di sini saya tidak berurusan untuk membela pemerintah atau siapapun. Tetapi saya memahami, masalah banjir merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama. Hanya dengan itu kita bisa mengatasi adanya banjir dikemudian hari.
Banjir Jakarta di satu sisi merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya. Pemerintah menjadi subjek utama dalam masalah banjir. Tetapi di sisi lain, masalah banjir merupakan sebuah kehendak alam yang terjadi. Artinya, meskipun kehendak alam ini tidak bisa diterima secara logis dengan akal sehat, tetapi kita pasti meyakini bahwa banjir merupakan bagian dari kehendak alam karena keteledoran kita menjaga dan membuang sampah tidak pada tempatnya.
Rawat Alam Kita
Masalah banjir di Jakarta merupakan sebuah masalah bersama. Masalah tersebut menjadi palajar penting bagi kota-kota lain dalam merawat dan mengurus alam dengan baik. Usaha bersama untuk merawat alam harus dimulai dari kesadaran kita untuk melestarikan alam.
Di tempat-tempat lain, mungkin tidak akan terjadi banjir, tetapi bencana alam lain seperti longsor pasti akan terjadi manakala kita tidak merawat alam. Saat ini banyak sekali penebangan pohon secara liar hanya demi mengambil keuntungan dari pohon untuk dijual. Sementara kerusakan alam yang kita tanggung kemudian hari jauh lebih parah. Di mana-mana hutan mulai dirambah guna mencari keuntungan ekonomis.
Kita kehilangan sumber daya terpenting dimasa depan, yaitu kesegaran alam bagi kelangsungan manusia. Belum lagi dengan huta yang terbakar, menambah rumit persoalan ekologis yang nanti akan terjadi.
Tentu kita semua sepakat bahwa bencana alam tidak boleh terjadi. Tetapi kita tidak bisa membatasi alam untuk bersikap seturut kehendak kita karena atas kesalahan kita sendiri. Langkahnya hanya satu, kita dituntut untuk merawat alam sebagai sumber hidup bagi generasi manusia yang akan datang. Saya percaya, usaha bersama untuk merawat alam bukan karena kita ingin agar kita dijauhkan dari bencana alam. Tetapi karena memang kita diharuskam untuk merawatnya karena alam merupakan sumber penghidupan bagi manusia. Nilai dasar yang terserap dalam diri manusia seperti ini akan terus berusaha merawat dan menjaga alam.
Bijak Memahami
Seperti diawal saya sudah tegaskan, kita manusia hanya memaknai sesuatu dari suturut kehendak kita sendiri. Hujan sebagai sebuah karunia justeru tersalahpahami karena ketidaksesuaian dengan kehendak kita. Tentu sikap seperti ini merupakan sebuah bentuk perilaku yang muncul ditengah kurangnya sikap bijak manusia menerima karunia.
Dengan hujan dan kemungkinan, justeru kita harus lebih berpikir maju tentang kemanfaatan hujan dan dampak dari hujan. Banjir Jakarta merupakan kemungkinan yang terjadi karena hujan. Begitu juga dengan tanah longsor, terjadi karena hujan. Hanya semua itu merupakan buah dari sikap kita yang tidak memahami secara sadar untuk merawat alam.
Sehingga dengan adanya banjir dan tanah longsor kita menjadi gusar tanpa pernah merefleksikan kembali kedalaman diri apakah kita sudah turut serta merawat alam. Ini soalnya, ketika banjir di Jakarta orang tidak menyadari dan merefleksikan dirinya tetapi malah ikut membanjiri halaman media sosial dengan meme. Sikap ini menjadi tantangan baru bagi kita kedepan dalam usaha mencegah adanya banjir dan bencana alam lain.
Pada akhirnya, setiap orang mempunyai tugas untuk merawat alam. Tugas tersebut sudah melekat secara pasti dalam diri kita. Tanpa melalui sikap seperti itu, saya yakin akan ada bencana alam yang lebih besar yang terjadi. Mari kita rawat alam kita.