Masih segar dalam ingatan kita hingar bingar Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu yang diwarnai dengan pelbagai kasus ujaran kebencian. Kontestasi politik ganas kala itu melahirkan dampak yang signifikan.
Hal itu tak lepas dari kompetisi politik yang berlarut-larut. Agitasi bermuatan suku, agama, ras, dan antar golongan(SARA) kian dilancarkan oleh kalangan penyebar berita hoaks. Konkritnya, hoaks akan sukses jika terjadi mobilisasi fitnah dan kebencian.
Memasuki post truth era—yang ditandai dengan leburnya kebenaran dan kepalsuan, berita hoaks semakin merebak di pelbagai platform media. Kasus sindikat Saracen misalnya, mengunggah berita (SARA) melalui grup Facebook Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com. Beredarnya berita hoaks ini yang digunakan sebagai sarana warganet menyebarkan melalui akun pribadinya.
Ditinjau dari kacamata psikologis, menurut Respati (2017) orang akan mudah percaya jika informasi yang diterima sesuai dengan sikap dan opini yang diinginkan. Terperangkap dalam kondisi semacam ini membuat jiwa seseorang mudah menyebarkan berita hoaks tanpa melakukan konfirmasi. Afirmasi tentang berita hoaks yang telah diyakini pun semakin parah jika seseorang memiliki kemampuan yang minim dalam proses verifikasi kebenaran.
Survei yang dirilis Masyarakat Telematika Indonesia misalnya, melahirkan temuan mengejutkan tentang platform yang digunakan sebagai lahan basah penyebaran berita hoaks. Dari 1.116 responden, 92,4 persen dari mereka mengaku paling sering menemui berita hoaks di media sosial.
Selain itu, 62,8 persen responden mengaku sering menerima berita hoaks dari aplikasi pesan singkat seperti Line, WhatsApp atau Telegram. Ironisnya, sebanyak 91,8 persen menyatakan jenis berita hoaks mengenai sosial-politik—baik mengenai Pilkada atau pemerintah—termasuk jenis yang paling sering ditemui.
Selain media sosial, rupanya portal berita juga dijadikan lahan basah penyebaran hoaks. Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300.
Fakta tersebut sejatinya bisa digunakan warganet sebagai otokritik untuk tetap melakukan verifikasi. Kredibilitas dari portal berita yang dibaca pun perlu diperhitungkan agar tidak mudah tersandung berita hoaks.
Problematika hoaks yang semakin merajalela ini tak bisa dipandang sebelah mata. Hingga 2016 lalu, tercatat sekitar 773.000 situs diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pemblokiran ini dapat dijadikan indikasi bahwa situs hoaks masih beredar bebas. Meskipun beberapa situs telah diblokir, dan beberapa pelaku hoaks telah ditangkap.
Tetap saja penangkapan pelaku penyebaran hoaks tidak sebanding dengan maraknya pemberitaan hoaks. Tindakan preventif pun kiranya perlu untuk dilakukankan oleh pelbagai pihak. Pemerintah dapat mengambil langkah dengan melakukan pengetatan terhadap situs berita yang beredar di masyarakat. Dengan posisi yang dimiliki, seharusnya pemerintah bisa melakukan lobbying dan memutus rantai penyebaran hoaks.
Lebih lanjut, interaksi langsung dengan masyarakat pun dapat dilakukan aparat pemerintah. Bisa jadi masyarakat mudah percaya dengan berita hoaks lantaran kurangnya literasi digital yang diberikan oleh aparat pemerintah. Konkritnya, pemerintah bisa mengadakan forum-forum diskusi terkait penangkalan hoaks dan membuat komunitas anti hoaks.
Tidak hanya itu, masyarakat juga harus mengisi pemberitaan yang beredar dengan konten-konten positif. Jika hoaks bisa disuarakan melalui platform media, seharusnya penyebaran konten positif yang sifatnya anti hoaks juga memiliki peluang yang sama.
Terakhir, Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nation Fail (2012) berasumsi bahwa kesenjangan, jumlah pendapatan perkapita, dan kekuasaan yang otoriter termasuk indikasi menuju negara gagal. Dalam konteks Indonesia, selayaknya ujaran kebencian dan hoaks menjadi indikasi yang patut diperhatikan lantaran hal tersebut bisa merusak dan memecah belah tenun-tenun kebinekaan.