Rabu, April 24, 2024

Hiperendemi dan Perjuangan Baru Menghadapi Pagebluk

Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim, dokter dengan hobi menulis

Pada akhir Agustus kemarin, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan bahwa Covid di Indonesia berpotensi menjadi hiperendemi. Perubahan status ini kemungkinan besar terjadi jika WHO mengevaluasi status pandemi Covid di akhir tahun 2021. Jika saat itu WHO mencabut status pandemi Covid akibat turunnya angka infeksi dan cakupan vaksinasi secara kesuluruhan di dunia, dan ternyata angka Covid di Indonesia masih juga tinggi seperti sekarang, maka hiperendemi akan menjadi kenyataan.

Apa itu hiperendemi? Menurut CDC, hiperendemi adalah kondisi dimana angka kejadian suatu penyakit tetap tinggi secara persisten di sebuah populasi dalam suatu wilayah. Masih menurut Hermawan, hiperendemi berpeluang terjadi di Indonesia karena beberapa indikator. Yaitu laju penularan yang masih tinggi, rendahnya testing dan tracing, perilaku masyarakat yang masih belum disiplin, serta sumber daya penanganan yang masih sangat terbatas.

Sarun Charumilind et al dari McKinsey Healthcare System and Services mengatakan bahwa akan ada tiga skenario selesainya pandemi Covid di seluruh dunia. Pertama, adalah negara-negara yang mampu mencapai herd immunity karena tuntasnya vaksinasi. Yang termasuk dalam golongan pertama ini adalah negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa Barat.

Kedua, adalah negara case controllers. Yaitu negara-negara yang mampu menekan mortalitas Covid hingga hari ini. Negara golongan kedua ini ditandai dengan ketatnya mereka membatasi perbatasan negara dan pemberlakuan protocol kesehatan yang super ketat termasuk karantina. Termasuk di sini adalah Singapura dan Australia. Akibat kebijakan ketat mereka, kedua negara ini sudah menikmati kehidupan yang semi normal seperti sebelum pandemi sejak beberapa bulan yang lalu.

Ketiga, adalah negara resiko tinggi. Yakni negara-negara miskin dan berkembang yang tidak punya akses cukup untuk melakukan vaksinasi secara cepat. Sehingga herd immunity yang diharapkan diprediksi baru akan tercapai pada akhir 2022 atau awal 2023. Dengan kata lain, negara-negara ini, termasuk Indonesia, akan mengalami hiperendemi sampai di kisaran waktu tersebut.

Usaha vaksinasi yang dilakukan pemerintah sebenarnya telah dikebut dengan segenap upaya. Berbagai target vaksinasi harian telah ditetapkan. Terakhir, Kemenkes menargetkan 2,3 juta dosis vaksin per hari pada Bulan September ini. Namun, melihat perkembangan yang terjadi di lapangan ditambah dengan masih tingginya berita hoax yang menyebabkan ketakutan sebagian masyarakat akan vaksin, menunjukkan bahwa jalan tercapainya herd immunity melalui vaksin masih panjang.

Sehingga mau tidak mau, pemerintah dan masyarakat memang diharapkan mau berpikir realistis dan mempersiapkan kemungkinan terburuk. Apalagi, tercapainya cakupan vaksinasi juga bukan satu-satunya indikator untuk lepas dari pandemi. Ketaatan dan kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan serta gencarnya testing dan tracing juga tidak kalah penting. Sayangnya, justru keduanya masih kurang disiplin dilakukan di negara kita. Sehingga hal ini membuat hiperendemi menjadi kemungkinan yang paling realistis bagi kita.

***

Jika memang hiperendemi berpeluang terjadi di Indonesia pasca pandemi, maka persiapan yang matang perlu dilakukan agar hiperendemi tidak menjadi blunder yang menjadikan Covid justru semakin merajalela. Hal ini bisa terjadi akibat ketidaksiapan kebijakan dari pemerintah maupun ketidaksiapan masyarakat penerima kebijakan itu sendiri dalam menghadapi hiperendemi.

Dari tataran kebijakan pemerintah, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan. Pertama adalah revisi dan pembaharuan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengatur tentang wabah dan upaya penanggulangannya. Permenkes mengenai wabah yang ada saat ini yakni Permenkes nomor 1510/menkes/per/x/2010 kurang relevan jika dikaitkan dengan hiperendemi Covid yang akan terjadi. Terutama karena Permenkes ini terbatas hanya mengatur 15 penyakit penyebab wabah. Yang tidak termasuk Covid di dalamnya.

Karena jika melihat dari tipikal virusnya yang hingga saat ini masih sulit ditebak, terutama terkait mutasi yang mudah terjadi, Covid jelas tidak bisa disamakan dengan ke-15 penyakit yang sudah diatur dalam Permenkes wabah. Selain itu, ancaman munculnya gelombang ketiga dan berikutnya terkait Covid juga perlu diantisipasi dan diatur dalam Permenkes yang baru ini. Karena tipikal gelombang ketiga akan sangat berbeda dengan terminologi kejadian luar biasa atau KLB yang selama ini biasa terjadi terkait wabah. Perlu penyesuaian dalam istilah dan pengaturan dalam Permenkes.

Kedua adalah klasifikasi wilayah. Sama seperti ketika pandemi, setiap wilayah akan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. klasifikasi wilayah berdasarkan tingginya resiko penting dilakukan untuk menetapkan kebijakan yang tepat di antara masing-masing wilayah.

Klasifikasi wilayah bisa dibagi berdasarkan jumlah kasus aktif, tingkat kematian atau fatality rate dan jumlah cakupan vaksinasi di daerah tersebut. Dengan klasifikasi ini maka kebijakan terkait kesiapan anggaran, antisipasi lonjakan kasus dan ketat-tidaknya social distancing di daerah tersebut bisa diputuskan.

Ketiga, adalah penambahan fasilitas kesehatan secara masif di berbagai titik di seluruh daerah di tanah air. Tentu dengan menyesuaikan jumlah kebutuhan sesuai jumlah populasi yang ada. Tumbangnya sejumlah nakes di Indonesia yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kematian nakes tertinggi se-Asia dan ke-5 di dunia selama pandemi, patut menjadi bahan evaluasi. Ditambah kolapsnya berbagai faskes saat gelombang kedua di akhir Juni kemari yang seakan menunjukkan betapa rapuhnya sistem kesehatan di negara kita. Jika hiperendemi berlanjut pasca pandemi, maka cukupnya ketersediaan faskes adalah harga mutlak.

***

Di tataran masyarakat, persiapan yang cukup juga perlu dilakukan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya hiperendemi Covid di Indonesia. Satu hal yang pasti, masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa hiperendemi berarti  kita akan hidup beriringan dan berdampingan dengan virus Covid sebagaimana virus influenza dan virus cacar selama ini. Hanya saja yang membedakan adalah, virus Covid ini masih menjadi ancaman bagi keselamatan kita sampai akhirnya nanti herd immunity tercapai di tengah masyarakat Indonesia.

Yang paling mengkhawatirkan dari perubahan status pandemi menjadi hiperendemi di Indonesia memang adalah peluang lengahnya awareness masyarakat. Status hiperendemi dikhawatirkan akan dilihat oleh masyarakat yang telah jenuh dengan semua pembatasan sosial dan aktivitas selama hampir 2 tahun ini sebagai gerbang kebebasan tanpa batas.  Hal ini jika tidak dikontrol sejak awal justru akan menjadi blunder bagi penyelesaian pagebluk selanjutnya.

Kebijakan yang antisipatif di tataran pemerintah sebagai pengambil kebijakan dipadu dengan kesiapan masyarakat untuk tidak gegabah menghadapi virus Covid akan menjadi modal bagi negara kita menghadapi hiperendemi. Berubahnya status pandemi yang kemudian berpeluang menjadi hiperendemi di Indonesia bukanlah berarti perjuangan menghadapi pagebluk Covid berakhir. Hingga tercapainya herd immunity terhadap virus ini, perjuangan kita masih panjang dan jauh dari kata berakhir.

Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim, dokter dengan hobi menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.