Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tahun ini masih diselimuti kecemasan, bukan keceriaan. Angka penambahan kasus harian Covid-19 masih belum turun signifikan. Kondisi ini membuat kita menunda perayaan. Namun begitu bukan berarti melupakan peran para pejuang, termasuk tokoh proklamator kita.
Sejatinya proklamator kita juga meninggalkan beberapa pemikiran yang bisa dijadikan semangat untuk berjuang di masa pandemi ini. Berjuang melawan pasukan tak tampak mata dan mematikan.
Salah satunya adalah pemikiran dari Bung Karno, Bapak Proklamator kita. Pemikiran Bung Karno ini pernah disampaikan oleh Sultan Hamengku Buwono X pada saat memberikan Sapa Aruh belum lama ini. Sultan menyebutkan “massa bewust” yang pernah dikemukakan oleh Bung Karno.
Menurut Sultan, “massa bewust” potensial menjadi penggerak dan pengubah utama yang memiliki energi lebih besar dari masyarakatnya yang terpuruk letih. Mereka inilah yang memiliki kejernihan di tengah lautan kekeruhan pikiran, punya semangat kejuangan pantang mundur di antara masyarakatnya yang putus asa, memelihara dan terus menyebarluaskan virus optimisme akan hari esok yang lebih baik di tengah luapan pesimisme dan berita hoaks.
Siapakah “massa bewust”? Tentang “massa bewust” ini disampaikan oleh Bung Karno saat mengumumkan pendirian PNI. ”Pada tanggal empat Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI, Partai Nasional Indonesia,” ungkap Bung Karno dalam otobiografinya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”.
Salah satu upaya PNI mendekatkan diri dengan masyarakat adalah berupaya mendorong rakyat menjelma menjadi massa aksi. Bung Karno mendefinisikan massa aksi sebagai massa yang terhimpun secara terorganisasi dan berpendirian radikal, bertujuan mengganti susunan masyarakat lama dengan membangun susunan masyarakat yang baru. Itu sebabnya, massa aksi harus berjuang terus-menerus dalam melawan kekuatan-kekuatan yang menghalangi perubahan dalam susunan masyarakat.
Organisasi massa aksi, ungkap Bung Karno, harus dapat mengubah massa yang tidak sadar (onbewust) menjadi massa yang sadar (bewust). Karena itu, sekali lagi, organisasi massa aksi harus punya teori perjuangan sebagai panduan untuk memimpin aksi. Organisasi itu juga punya tanggung jawab untuk mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”.
Membangun kesadaran
Massa yang sadar terbangun dari individu berkesadaran. Di sini terkait apa yang dinamakan mindfulness. Secara sederhana mindfulness adalah momen kesadaran saat di mana kita berlatih untuk memberikan perhatian penuh dalam setiap tindakan. Setiap tindakan sehari-hari sepatutnya dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Misalnya saat makan, ya fokus makan, dimana suap demi suap dinikmati penuh perasaan. Bukannya suapan demi suapan diselingi nonton televisi. Saat mencuci baju, ya fokus pada pekerjaan itu. Dirasakan kucuran airnya, diresapi saat menggosok, bukan sembari melamun.
Mindfulness inilah yang dibutuhkan saat berjuang melawan Covid 19 ini. Fokus untuk “hidup pada saat ini”, tidak memikirkan masa lalu dan mengantisipasi masa depan yang bisa saja belum memberi kepastian. Masa depan masih berupa prediksi.
Sekali lagi, mengapa Sultan sangat yakin massa bewust akan mampu menangkal penyebaran virus Corona, karena mereka yang berkesadaran akan melaksanakan prokes dengan penuh perhatian. Bukan takut Satpol PP, bukan pula karena ada aparat negara, tetapi sungguh-sungguh data dari kesadaran diri sendiri.
Kesadaran massa bewust akan tertanam dalam, sebagaimana dijelaskan oleh filsafat “perhatian” Simone Weil. Disebutkan, manusia memerhatikan dari apa yang sepatutnya dia perhatikan. Ketika sudah memperhatikan, manusia akan cukup sulit berpaling dari apa yang telah ia yakini.
Weil menegaskan sebuah ikatan terbentuk antara manusia dengan perhatian yang ia miliki saat ini. Realitas pandemi yang telah menemani selama lebih 500 hari (sejak 2 Maret 2020) memiliki ikatan dengan realitas itu. Maka, apapun jalan menuju kebaikan selama pandemi akan dilaksanakan secara seksama. Sebaliknya massa onbewust, 500 hari itu nyaris dilalui dengan minim perhatian. Mereka inilah yang kerap bertentangan dengan itikad menuju kebaikan. Mereka enggan prokes, antivaksin dan membangkang terhadap aturan pembatasan.
Perhatian itu, menurut Simone Weil, “Yang terpenting adalah, pikiran kita mesti kosong, menunggu, tidak mencari apa-pun, tetapi siap menerima objek yang akan memasukinya dalam kebenarannya yang paling murni.”
Semakin lama kita memerhatikan sesuatu, semakin lama juga kita memahami dan merasa hal tersebut adalah milik kita. Hal yang sebelumnya selalu kita beri perhatian akan sangat sulit untuk kita relakan pergi. Karena apa yang kita perhatikan adalah apa yang kita cintai dan rawat selama ini.
Akhirnya bisa dipahami mengapa Sultan menyisipkan pemikiran Bung Karno dalam Sapa Aruh Sang Raja. Ini berangkat dari keyakinan massa bewust ini dibutuhkan saat PPKM Level 4 yang diperlonggar. Pemerintah tampaknya tak bisa berlama lama membatasi warga untuk mencari nafkah. Sikap pemerintah sangat jelas: mencegah penularan virus Corona, namun rakyat tidak dibiarkan kelaparan. Saat kondisi longgar inilah maka kesadaran masyarakat menerapkan aturan PPKM ataupun prokes sangat diperlukan. Jika lengah, meledak lagi serangan Corona. Massa bewust dianggap senantiasa eling lan waspada.