Selasa, Maret 19, 2024

Hikayat Kritik dan Perihal Kampus UMM yang Doyan Flashmob

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Saya diajari bahwa kritik bukan sekedar mengungkap kesalahan. Kritik adalah kejelian yang terlatih lewat pengalaman membaca dan berdiskusi. Kejelian yang didukung wacana matang. Kejelian karena nalar selalu buncah.

Seorang antropolog yang bersentuhan dengan unikum suatu masyarakat pedalaman, pada suatu ketika, memutuskan untuk membuang kejayaan karirnya dan menjadi warga masyarakat pedalaman itu. Si antropolog kemudian dicemooh karena keputusannya itu “gagal dipahami” sebagai kritik atas ideologi tertentu di tengah masyarakat asalnya. Padahal, keputusan si antropolog hanyalah sebuah batu loncatan.

Kasus lain yang lebih masyhur: seorang sarjana didorong menjadi pegawai negeri oleh orang tua yang siap menyogok. Si sarjana menolak, dan ia diberangi keluarga. Si sarjana paham niat menyogok itu adalah wujud “cinta”, namun ia menolak bila cinta membolehkannya mengambil hak orang lain. Sayangnya, penolakan si sarjana juga gagal dianggap sebagai kritik.

Mengapa ada pihak yang tidak mampu melihat kritik? Mengapa ada yang mencemoh?

Kemampuan mengkritik adalah kemampuan merasakan yang tak seharusnya, tak ideal; hal yang dianggap lazim dan wajar namun sesungguhnya keliru. Banyak yang gagal melihat kritik karena tak semua orang memiliki kejelian dan wawasan yang sama. Meski hari ini hampir semua orang pernah sekolah, tapi hanya sedikit sekolah yang menjembatani peserta didiknya dengan critical thinking—sekedar ability to think pun jarang.

Ada yang tidak suka kritik karena disampaikan tanpa akhlak. Kritiknya benar, tapi sayang tak santun. Saya kira itu alasan saja demi membela hati yang terluka. Ego kuasa akan mengambil peran ketika nalar sudah angkat tangan tak mampu berargumen. Ego kuasa biasanya akan bekerjasama dengan otot.

Ada tiga pihak yang biasanya menunjukkan sikap sengit terhadap kritik: (1) awam, yakni mereka yang tidak tahu perspektif kritikus; (2) anti, yakni mereka yang tidak suka perspektif kritikus; dan (3) awas, yakni mereka yang kepentingannya terancam oleh kritik kritikus.

Tiga pihak tersebut melawan kritik (dan kritikusnya) dengan reaksi gamang dan banal: acuh, cemooh, marah, histeris, apologetis, retoris-diplomatis, provokatif, otoriter, dan menindas. Hal yang dapat dimaklumi karena mereka berasal dari lingkungan yang minus tradisi berpikir, surplus hasrat praktis, dan hanya tahu logika kalah-menang.

Para kritikus, dan orang yang mampu menangkap kritik, pastilah terbiasa dengan berbagai polah pikiran. Mereka paham beda antara “mengkritik A” dan “mengkritik B dengan A sebagai batu loncatannya”. Antropolog tadi hanya melepas karir. Sarjana tadi hanya menolak permintaan. Tapi reaksi orang-orang terdekat mereka terpaku pada objek parsial (pilihan mereka, bukan kritik besarnya).

Karenanya wajar demonstrasi mahasiswa atas kenaikan harga minyak dicemooh rekan-rekannya. Wajar bila aktivis lingkungan yang melawan tambang dituduh komunis. Bukan sekedar minyak dan tambang yang mereka kritik, tapi ideologi politik dan ekonomi yang bekerja mengeksploitasi bangsa. Karena para tukang nyinyir itu gagal melihat kritik, dan itu wajar. Naif menganggap mereka pernah membaca buku Dandhy Laksono, “Indonesia For Sale”. Apalagi membaca teori-teori sosial kritis.

Kemampuan menangkap kritik tidak ditentukan oleh ijazah. Asalkan terbiasa berpikir luas dan jauh, pemulung pun bisa. Justru mereka yang terlanjur menganggap diri pintar dan mulia yang sulit menangkap kritik.

Di sebuah WAG mahasiswa Lombok, ada sindiran untuk kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang lebih doyan memamerkan flashmob daripada memastikan kampus memenuhi kualitas-kualitas lembaga dan pendidikannya. Sindiran itu disertai data kuat terkait “kualitas-kualitas” yang UMM dianggap lalai terhadapnya.

Sindiran adalah kritik. Dalam hal ini, bukan ‘tanduk sapi’ yang sedang dikritik, melainkan ‘jeroan’ yang dianggap problematis. Tapi mahasiswa yang berasal dari kampus UMM dengan lekas merespon gamang dan banal. Mereka mempersoalkan apa salahnya membuat flashmob. Padahal flashmob hanyalah batu loncatan, bukan ….. ah, sudahlah.

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.