Senin, Desember 9, 2024

Hayya 2: Dakwah Kemanusiaan dan Moralitas Kita

A. Fahrur Rozi
A. Fahrur Rozi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Saya yang kebetulan masih mengabdi sebagai Jurnalis bantu di MUIDigital (website resmi Majelis Ulama Indonesia) diminta untuk menemani para Pimpinan MUI dalam suatu agenda nonton bareng (nobar) film Hayya 2: Hope, Dream and Reality (2022) pada Selasa (22/03), sebelum tayang di Cinema XXI pada tanggal 24 Maret 2022.

Nobar yang dilaksanakan di Bioskop XXI Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan merupakan undangan premier dari produsen film Warna Pictures yang hanya dihadiri oleh pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pimpinan Kebudayaan dan Peradaban MUI Pusat, yakni Kiai Jeje Zaenuddin dan Habiburrahman el-Shirazy, dan juga beberapa aktor pemeran dalam film tersebut, Seperti Dhini Aminarti dan Dimas Seto.

Film ini sebenarnya merupakan sekuel dari film sebelumnya, Hayya: The Power of Love yang rilis di tahun 2019. Meski film kedua agak berbeda, di mana fenomena sosial yang diangkat adalah konflik perang Israel-Palestina, isu cinta, kemanusiaan, dan moral mejadi hal primordial yang hendak disampaikan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulik pesan moral yang penulis tangkap setelah disuguhi dengan film bergenre humanisme dan religi itu.

Konflik Sosial dan Isu Kemanusiaan

Film ini berhasil mengeksplor isu kemanusiaan dari konflik perang yang tidak berkesudahan. Kita masih bisa menyaksikan bagaimana kemelut konflik antara Israel-Palestina yang berlangsung hingga saat ini. Inilah isu sentral yang di bawa dalam film yang disutradai oleh Jastis Arimba. Melalui sosok anak kecil bernama Hayya (Amna Shahab), film ini ingin menyuarakan nasib anak-anak Palestina yang tercabut haknya dengan paksa akibat peperangan yang tidak kunjung usang.

Kondisi fisik yang tidak aman dan kesadaran hak kemerdekaan, membawa Hayya bertekad menyebrangi lautan untuk sekedar hengkang dari tanah kelahirannya yang dipenuhi oleh arena tembakan dan ledakan. Di sinilah hal subtil yang hendak dipertontonkan kepada manusia di berbagai belahan dunia tentang kondisi kemanusiaan yang menyelimuti para penduduk, utamanya anak-anak di Palestina.

Hayya yang merindu kedamaian, yang ia tidak dapatkan di negerinya, membawanya berlabuh pada suatu negeri bernama Indonesia. Saya rasa pemilihan Indonesia sebagai pelarian Hayya, manjadi suatu simbol yang merepresentasikan adanya perbedaan yang bisa dibina dengan damai dalam bingkai persatuan. Latar heterogenitas etnis, budaya, dan agama bisa membentuk mozaik keharmonisan dalam hidup berdampingan.

Di Indonesia Hayya menemukan kedamaian, baik sebagai warga negara dan sebagai anak yang mendapat kehangatan dari keluarga. Keinginan menetap kian bergejolak, bahkan di saat ia sendiri harus memerankan seorang anak yang baru saja hilang dari satu keluarga yang menerimanya. Ia tidak ingin kembali ke tanah airnya lagi setelah konflik perang merenggut nyawa keluarganya.

Dari sini, film Hayya 2 menekankan kondisi internal manusia yang terus bergejolak tatkla berada dalam kecamuk perang yang terus berkelanjutan. Rasa takut dan terancam terus menghantui dalam aktivitas keseharian. Isu kemanusiaan yang dibangun dalam film ini ingin mengembalikan kemerdekaan kepada segenap manusia secara utuh yang sejatinya melekat secara intriksional tanpa harus dihalangi oleh konflik eksternal antarkepentingan.

Moralitas Manusia

Sisi-sisi kemanusiaan yang dieksplor begitu apik dalam film Hayya 2 dimaksudkan untuk mengundang empati kolektif tentang carut-marut kehidupan dalam kondisi perang. Dramaturgi sosial yang telah merenggut nasib banyak orang, seyogiyanya menjadi suatu penyadaran kepada manusia bahwa eksistensinya tidak lepas dari tanggung jawab moral ihwal kemanusiaan.

Hal ini selaras dengan tatanan etis yang mengendap dari kondisi ontis manusia sebagai makhluk sosial. Sejatinya, ia memiliki empati besar dan sensitif terkait isu kamanusiaan. Terbentuknya sistem sosial, legal kenegaraan, dan kepercayaan teisme dalam sejarah panjang manusia sebenarnya adalah bentuk akumulasi kesadaran untuk membangun relasi dan interaksi manusia dalam koridor nilai sublim dan kultus kemanusiaan (Savigny, 1999: 117).

- Advertisement -

Seorang Novelis Indonesia, Habiburrahman el-Shirazy (Kang Abik), yang hadir sebagai Pimpinan MUI juga angkat berkomentar dalam hal ini. Ia menyadari Palestina masih belum mendapatkan apa yang disebut, “kemerdekaan bangsa”. Palestina masih dalam kondisi memperjuangkan itu. oleh karenanya, kita memilik tanggung jawab moral di dalamnya.

Isu kemanusiaan yang dibangun seharusnya mewujud spirit moral dalam bingkai persaudaraan sesama manusia. Bahwa antara manusia yang satu dan yang lain terikat dalam tanggung jawab moral, baik dalam relasinya sebagai persaudaraan setanah air (ukhuwah wathaniyah), saudara seagama (ukhuwah Islamiyah), atau saudara sesama manusia (ukhuwah insaniyah).

Kang Abik menilai, nilai moralitas yang paling mendasar dari film Hayya adalah dakwah kemanusiaan dan tanggung jawab moral, utamanya seorang muslim. Disebut sebagai dakwah kemanusiaan karena mengangkat isu kemanusiaan sebagai isu utama yang hendak disampaikan. Selain juga secara meteril, hasil penjualan tiket nantinya sebagian besar juga akan didonasikan untuk penduduk Palestina yang mengalami devisit ekonomi akibat kondisi negara yang tidak stabil.

Selanjutnya, dikatakan tanggung jawab moral seorang muslim karena memelihara Masjidil Aqsha sebagai satu dari tiga tempat suci dan bersejarah bekas dakwah Islam Rasulullah Saw. Dengan tokoh Hayya yang merindu Masjidil Aqsha untuk bermunajat di tempat yang istijabah, terpaksa hanya menjadi ilusi karena kondisi perang yang belum berhenti.

Akhirnya, film ini adalah bentuk kepedulian yang ingin mengulik sisi berkemanusiaan kita kepada sesama. Konsistensi nurani kita sebagai manusia diuji pada sekelumit fenomena sosial yang mengakibatkan suatu bangsa terhalang kemerdekaan dan kebebasannnya. Jadi, sesuai dengan judul Film “Hayya” yang berusaha mengajak kita merenungi ulang perilaku kemanusiaan.

Film ini diharapkan dapat dikonsumsi oleh seluruh kalangan masyarakat di Indonesia agar menjadi koreksi bersama tentang kebangsaan, Keberagamaan, atau keberpolitikan kita dewasa ini yang acap kali bermuara pada kekerasan. Film ini akan manjadi evaluasi, di samping sistem-sistem sosial yang secara berkelanjutan terus dibangun oleh manusia, ada hal yang elementar dari kehidupan kita, yakni tatanan moralitas dan etika kemanusiaan.

A. Fahrur Rozi
A. Fahrur Rozi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.