Rabu, April 24, 2024

Museum Holocaust dan Jiwa Kemanusiaan Kita

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Muhyiddin Junaidi, Waketum Dewan Pertimbangan MUI, bersuara keras agar pihak pemerintah mengambil tindakan atas pembangunan Museum Holocaust di Minahasa, Sulawesi Utara. Menurutnya, pembangunan museum ini merupakan bentuk provokatif, tendensius dan mengundang keributan di dalam masyarakat.

Muhyiddin menegaskan pembangunan Museum Holocaust sebagai bentuk pelanggaran konstitusi. Dia menganjurkan pemerintah untuk membangun museum kebiadaban Israel atas Yahudi atau museum kebiadaban Belanda atas Indonesia.

Saya tidak tahu apa alasan lain dari Muhyiddin Junaidi, selain yang sudah tersebar di media, yang bersikeras untuk pembubaran ini. Misalnya apakah dia tidak percaya pada Holocaust sebagaimana dulu yang pernah dikampanyekan oleh mantan Presiden Iran Ahmadinejad ataukah ada hal lain.

Seringkali para tokoh agama kita berpikir konspiratif terutama yang berbau Yahudi. Pokoknya segala hal yang berbau Yahudi dianggapnya rekayasa besar dan dibangun di atas keinginan untuk menjatuhkan Islam. Para tokoh agama kita terbebani dan terhantui oleh keberadaan Yahudi.

Suasana merasa terancam ini atas Yahudi ini menimbulkan antipati. Padahal Yahudi adalah kaum seperti kita juga. Sebagai kaum, mereka juga mengalami kesengsaraan dan penindasan sebagaimana kita, kaum Muslim dalam perjalanan sejarah.

Saya ingin mengatakan bahwa museum Holocaust di Berlin Jerman itu bukan dibangun untuk menunjukkan keagungan dan kedigdayaan orang-orang Yahudi, tapi justru dibangun untuk tonggak peringatan pembantaian jutaan orang Yahudi oleh Nazi Jerman.

Meskipun pada mulanya diwarnai kontroversi dan perbedaan pandangan, namun bangsa Jerman pada akhirnya berhasil meyakinkan publik mereka untuk membangunan museum Holocaust ini.

Kita semua sebenarnya perlu mengambil pelajaran dari Bangsa Jerman atas sikap mereka terhadap Yahudi. Kita bayangkan bagaimana Bangsa Jerman mengaku salah atas peristiwa pembunuhan atas orang-orang Yahudi padahal yang membunuh adalah tokoh-tokoh mereka, para pemimpin bangsa mereka di masa lalu. Mereka memimpin Jerman dalam perang dunia.

Bahkan luar biasanya, bangsa Jerman menganggap perbuatan tokoh mereka dalam membantai jutaan Yahudi sebagai kebiadan dan kejahatan. Mereka, bangsa Jerman, atas perbuatan tokoh-tokoh mereka harus bertanggung jawab dan meminta maaf.

Kita, bangsa Indonesia, bangsa yang mengklaim sebagai bangsa beragama, bisa tidak melakukan hal yang kira-kira mirip dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Jerman yakni meminta maaf atas korban-korban kekerasan yang dilakukan oleh pemimpin kita pada masa lalu.

Saya setuju bahwa kebiadaban kolonialisme harus dituntut terus, kebiadaban Israel atas Palestina terus dituntut, dan ini semua terkait dengan mereka yang sudah menjadi korban.

Bukankah pembangunan Museum Holocoust baik di Jerman maupun di tempat-tempat lain itu ditujukan untuk mengenang dan memperingati orang-orang Yahudi yang menjadi korban atas kebiadaban Hitler dan Nazi? Bukankah hal ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama apabila kita ingin membangun museum kebiadaban kolonialisme Belanda atas Indonesia dan atau Israel atas Palestina.

Kalau esensinya sama kenapa hal itu harus dibubarkan? Mungkin Muhyiddin Junaidi perlu merefleksikan masalah ini secara mendalam agar tidak menempatkan organisasinya, MUI pada posisi yang sulit. Mungkin mencoba memahami masalah ini dari perspektif korban.

Sebagai lembaga keagamaan, MUI dan juga ormas-ormas Islam lainnya, pasti akan mengambil sikap untuk berpihak pada korban. Siapa pun orangnya dan apa pun latar belakang agama dan rasnya, maka jika dia menjadi korban, maka itu harus dibela. Hal ini juga merupakan ajaran Islam yang paling dasar, yakni membela korban. Apalagi jika korban itu sampai kehilangan nyawa mereka.

Perlu diketahui bahwa orang-orang Yahudi yang dibunuh Hilter itu bukan orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Mereka adalah warga negara biasa, orang yang beragama, berperan dalam banyak profesi yang menguatkan bangsa Jerman pada masa lalu. Kebanyakan mereka adalah kaum terpelajar, businessmen dan pengisi sektor-sektor kehidupan publik. Lalu dengan alasan rasial, Hitler membunuh mereka.

Orang-orang Yahudi yang dibunuh Hitler juga bukan warga negara yang memberontak dan menentang. Ironisnya, Hitler dan Nazi membunuh mereka bukan dengan cara membunuh biasa, tapi dibunuh dengan pelbagai macam cara. Jelas, mereka ini adalah orang-orang yang tidak bersalah dan sangat aneh apabila ada pihak yang tidak bersimpati atas masalah ini.

Pembangunan museum Holocoust sekali lagi adalah membangun memori agar kita tetap prihatin dan membela orang-orang yang menjadi korban kebiadaban dan pembunuhan yang kebetulan mereka adalah Yahudi. Museum dibangun untuk menjadi pelajaran kita bersama.

Bukankah orang-orang yang menjadi korban di dunia ini tidak hanya orang-orang Yahudi saja, tapi juga orang-orang Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Jika ada upaya untuk membangun museum yang digunakan untuk menumpahkan pemihakan dan empati kita pada korban, kenapa upaya itu harus dicegah?

Terus terang saya ingin mengatakan lagi jika saya tidak paham cara berpikir Muhyiddin Junaidi yang menghimbau pemerintah Indonesia untuk membubarkan museum holocaust di Minahasa tersebut. Masak mengungkapkan keprihatinan dan empati pada korban harus pilih-pilih dulu apa agama si korban dan dari bangsa mana si korban itu berasal. Saya berharap agar pemerintah baik pusat maupun daerah tidak menurut apa yang dihimbaukan Muhyiddin Junaidi ini.

Misalnya, jika ada yang berargumen bahwa museum Holocoust ini untuk membesar-besarkan orang Yahudi di negeri kita. Saya kira argumen ini tidak benar. Holocoust memang identik dengan orang-orang Yahudi, namun ini bukan soal memuja Yahudi namun untuk mengasah batin kita sebagai manusia bahwa pernah terjadi pembunuhan atas orang-orang yang tidak bersalah yang jumlahnya jutaan.

Saya merasa bahwa pembangunan museum Holocoust di Minahasa yang didukung oleh pemerintah Jerman perlu kita dukung. Jika perlu, pembangunan museum ini dijadikan sebagai alasan untuk membangun museum-museum yang memiliki tujuan yang sama juga perlu dibangun, misalnya museum pembantaian orang Indonesia oleh penjajah Belanda dan lain sebagainya.

Sebagai catatan, saya tidak setuju dengan pernyataan Muhyidin Junaidi yang ingin membatalkan pembangunan museum holocaust di Minahasa. Dengan pembangunan itu justru kita bisa belajar banyak hal terutama yang terkait dengan jiwa kemanusiaan kita. Kita bisa tahu kenapa manusia jika berkuasa bisa membunuh manusia yang lain. Kita bisa belajar hal-hal yang perlu tidak kita lakukan dan yang perlu kita lakukan pada museum ini. Kita juga bisa tahu bahwa membela korban adalah nilai universal bagi agama-agama dan umat manusia.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.