Jumat, April 19, 2024

HAM dan Penggusuran Warga Kulon Progo

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Senin 27 November 2017 kita dikagetkan oleh aksi sepihak Angkasa Pura 1 (AP 1), dengan dibantu aparatur negara melakukan tindakan represif pada warga Dusun Kragon II dan Munggahan, Desa Palihan, Kecamatan Temon, Yogyakarta. Mereka melakukan aksi inkonstitusional, dengan melakukan upaya penggusuran paksa, seperti merusak properti rumah, saluran listrik dan lahan warga.

Pihak AP 1 berdalih bahwa tanah tersebut sudah dialihlimpahkan untuk proyek NYIA (New Yogyakarta International Airport), warga sudah disosialisasikan dan diganti rugi, maka secara prosedural sepihak dari AP 1, penggusuran tersebut dianggap benar.

Kulon Progo sebagai lokasi pengembangan bandara baru, tidak memenuhi syarat legal. Melihat bahwa secara aturan baik dalam Perpres maupun PP nomor 26 dan 28 tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Kemudian melihat pada aturan daerah dalam Perda Yogyakarta Nomor 2 tahun 2010, tidak ada kata yang membicarakan Kulon Progo sebagai lokasi NYIA. Maka penetapan ini dilakukan oleh Sultan Yogyakarta secara sepihak, melanggar aturan yang ada serta aspek demokrasi dan pokok-pokok konstitusi seperti pasal 28 dan 33 UUD 1945. Selain itu juga melanggar konvenan HAM Ekosob, yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Pada perkembangannya hingga saat ini AMDAL untuk pembangunan bandara belum ada, bahkan belum diadakan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Pihak pengembang dan pemerintah melupakan aspek kepemilikan lahan dan kondisi tanah yang produktif.

Rata-rata tanah di area rencana pembangunan NYIA adalah rumah warga dan lahan pertanian, yang menyokong kehidupan warga. Sekitar 80% warga memiliki dokumen resmi, dan hidup bergantung pada suburnya lahan pertanian. Sehingga secara dasar hukum, baik soal KLHS, AMDAL dan relasi peraturan terkait NYIA sudah tidak bisa dibenarkan.

Oleh atas dasar argumentasi tersebut, kami dengan tegas mengecam dan mengutuk tindakan represif serta pengusiran warga dari tanahnya secara sepihak, yang dilakukan oleh pemerintah, AP 1 dan aparatur terkait. Bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk barbarisme, yang melanggar ketentuan yang disepakati sebagai dasar hukum. Serta memunggungi konstitusi negara baik UUD 1945 maupun Pancasila yang digembar-gemborkan tempo hari.

Dalam dasar konstitusional, hak-hak warga negara dilindungi. Menjalankan setiap demokrasi serta melakukan perlawanan sebagai kontrol atas kebijakan pemerintah. Pada dasarnya pemerintah sebagai representasi rakyat, mewadahi dan mendengarkan rakyatnya. Bukan berlaku semena-mena atas nama hukum dan demokrasi. Represivitas atas nama investasi, lalu dikaitkan dengan de-demokrat-isasi merupakan sebuah upaya pembungkaman. Serta melanggar konstitusi.

Penggusuran  Warga Temon

Apa yang terjadi di Temon, Kulon Progo tempo hari, dan masih berlangsung sekarang. Merupakan sebuah langkah yang mengkhianati konstitusi sebagai dasar hukum yang fundamental, bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang telah termaktub dalam Pancasila.

Dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 28 G, bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Lalu pada pasal 28 H menyebutkan, jika setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Penggusuran dan perampasan hak rakyat, baik kaum miskin hingga rakyat nelayan dan agraria bertentangan dengan hak-hak rakyat. Atas nama tata kelola dan hal-hal menyangkut kondisi darurat, selalu menjadi dalih untuk mengorbankan banyak rakyat yang kehilangan hak-haknya. Tanpa melalui sebuah musyawarah yang demokratis hingga kajian terkait, semua dibenarkan demi kepentingan beberapa pihak. Bahkan atas nama invetasi, yang kini menjadi dalih penggusuran massal.

Hak-hak rakyat menjadi dikorbankan, demi ambisi serta nafsu korporasi baik nasional maupun swasta. Bahkan demi ambisi tersebut rakyat selalu disisihkan, ditakuti dan dibohongi. Padahal jika dikaji lebih dalam investasi hanya menjadi menguntungkan ke atas, tetapi merugikan ke bawah.

Jika pemberangusan gerakan rakyat secara kasar, dapat dikaitkan dengan Toture Convetion dalam UU no 5 tahun 1998. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Dipertegas lagi dalam UU no 12 tahun 2005 International Convenat on Civil and Political Right, yang menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.

Hak-hak manusia secara hukum dilindungi, melalui konvenan ini pemerintah tidak boleh semena-mena terhadap rakyatnya. Tindakan represivitas hingga perlakuan tidak mengenakan, termasuk menghakimi sepihak rakyat yang menolak tunduk akibat dipaksa menyerahkan tanahnya.

Aparatur negara yang melukai warganya dalam penggusuran, hemat saya termasuk melanggar konvenan ini. Dalam hal ini penyiksaan secara harfiah memiliki definisi, perlakuan yang disengaja yang menimbulkan rasa sakit baik jasmani maupun rohani.

Aturan hak-hak sipil juga tergambar dalam  UU no 39 tahun 1999, tercatat dalam pasal 33 bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Kemudian pasal 34 dan 35 menyebutkan, bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.

Aturan jelas, rakyat dilindungi. Namun para oligarki yang berkongsi dengan kekuatan pemodal dan keamanan senantiasa mengkhianati amanat rakyat. Salah satunya mengenai ancaman-ancaman kepada rakyat, semakin ditindas dan dikebiri oleh pemimpin yang mereka pilih secara demokratis. Warisan Orba masih bergentayangan, reformasi hanya sebatas jargon namun implementasinya tetap orde baru yang condong ke fasis.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.