Kamis, April 25, 2024

Gerontologi Sosial, Kemutlakan yang Terabaikan

Mochammad Jibril
Mochammad Jibril
Anak yang suka diam di kamar.

BOM WAKTU

Demografi bagaikan bom waktu yang tercipta dari penuaan dan kematian, dua hal yang mutlak terjadi pada diri manusia. Tragisnya, tanpa perlu untuk tidak sadar, penuaan dan kematian kerap terabaikan. Ketika sumbu bom kehidupan itu mulai disulut, alih-alih berlindung atau menghubungi tim gegana, kita malah menyiapkan kue ulang tahun, hingga tanpa terasa nyala api habis membakar sumbunya, dan “BOOM!”. Pesta berakhir dengan tidak ada yang bertepuk tangan pula yang menikmati kue ulang tahun.

Illya Mechinkov, seorang zoologist asal Russia di tahun 1903 rupanya menyadari fenomena ini sehingga ia menciptakan bidang studi bernama gerontologi, sebuah ilmu tentang penuaan manusia. Gerontologi bisa diibaratkan wadah untuk meresistensi ledakan bom demografi, atau bahkan berperan sebagai detonator itu sendiri.

Melalui kacamata sosiologi, ada beberapa hal yang menjadi diskursus di bidang ini antara lain adalah pemberdayaan warga senior di suatu lingkup sosial yang seringkali terpinggirkan, mereka kian diperlakukan sebagai minoritas dan tidak lagi dianggap memiliki peran sebagai penggerak roda sosial. Lantas, bagaimana kita harus mengambil posisi?

Penuaan Harus Diterima

Tentu kita harus mengamini tentang pembagian kelas warga produktif dan non-produktif, tetapi apa dengan begitu warga non-produktif layak dipandang sebelah mata? Marvin R. Koller dalam bukunya “Social Gerontology” menyatakan bahwa program rehabilitasi dan pemberian fasilitas untuk warga senior seperti jaminan hari tua dan panti jompo harus disetarakan dan dinormalisasikan seperti halnya dengan keberadaan taman kanak-kanak, sekolah, konseling bisnis, dsb.

Jika hal ini berlangsung, maka tiap individu akan dapat berkontribusi untuk menciptakan stabilitas sosial. Ironisnya, bentuk fasilitas untuk warga senior kerap dikonotasikan sebagai hal negatif, mereka yang ada di panti jompo adalah mereka yang dibuang oleh anak kandungnya, misalnya. Tapi jika memang seperti itu, maka adalah tugas bagi yang dicap produktif untuk tidak terus-terusan menyiapkan kue-kue ulang tahun yang lain. Sesekali, tengoklah fasilitas warga senior sebagai pengingat bahwa kita semua akan menjadi tua.

Pasca Bonus Demografi

Bonus demografi diyakini akan berlangsung pada tahun 2020 hingga 2030. Disebut sebagai “bonus” karena 70% penduduk akan berada di usia produktif. Hal ini lazimnya terjadi sekali dalam pembangunan suatu bangsa. Hasil proyeksi Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 tercatat 255,5 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penduduk non-produktif dengan komposisi di bawah 15 tahun sekitar 69,9 juta jiwa (27,4%) dan yang di atas 65 tahun sekitar 13,7 juta jiwa (5,4%).

Total usia non-produktif ini sebanyak 32,8%. Sedangkan, penduduk produktif yang berusia 15-64 tahun sekitar 171,9 juta jiwa (67,3%). Begitu memasuki tahun 2020, persentasenya berubah dengan jumlah penduduk produktif 70% dan non-produktif 30%. Persentase akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030.

Banyak yang menduga bahwa masa itu adalah jendela peluang untuk menggenjot ekonomi, memang benar, namun setelahnya, demografi akan mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa kita tengah di era pra-bonus demografi dan niscaya juga akan mengalami era pasca-bonus demografi. Suatu era di mana 70% warga produktif itu akan menjadi non-produktif.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/12/03/piramida-penduduk-indonesia-masuk-tipe-ekspansive

Di sini kita perlu melakukan refleksi. Jika kue ulang tahun adalah alegori dari suatu upaya pembangunan, maka harus kita ketahui apakah pembangunan itu berkelanjutan? Kita disibukkan membuat dan memutakhirkan fasilitas bagi mereka yang produktif hingga abai dengan kemutlakan dari penuaan.

Kita tidak selamanya akan berkompetisi dengan negara-negara lain. Sebab akan ada masanya jalan-jalan raya pula gedung-gedung pencakar langit akan senyap di kala mayoritas dari kita sudah terlalu lelah untuk beranjak dari tempat tidur dan menggerakkan tulang sendi yang semakin menua.

Demografi Bukan Lilin Ulang Tahun

Sebelum kita terlena dengan bonus demografi dan magisnya yang dipercaya akan mengubah nasib bangsa ini, perlu diketahui bahwa hal tersebut bukanlah akhir bahagia perjuangan panjang sejak 1945. Tentu kita tidak ingin membebani anak cucu karena diri kita yang semakin tua dan merepotkan.

Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap program KB dengan membatasi jumlah anak membuat angka kelahiran bayi cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sementara itu, bidang medika dan teknologi yang juga semakin maju membuat harapan hidup semakin tinggi. Berdasarkan dua fakta tersebut, bukan tidak mungkin apabila kombinasi program KB dan pemutakhiran bidang medika mampu memutarbalikkan bentuk piramida ekspansif demografi.

Sejak detik ini, kita bisa menyiapkan perlindungan diri dari ledakan bom demografi. Status tinggal bersama lansia di Indonesia, hasil Survei Ekonomi Nasional  2017, masih didominasi oleh para lansia yang tinggal dalam bentuk keluarga besar maupun tiga generasi yang persentasenya mencapai 62,64%. Namun, bagaimana dengan keadaan pasca-bonus demografi? Di sini, Pescosolido dan Levy pada “The Role of Social Networks in Health, Illness, Disease and Healing: The Accepting Present, The Forgotten Past, and The Dangerous Potential for A Complacent Future” mengkategorikan tiga bentuk dukungan dalam menghadapi hari tua:

1. Dukungan instrumental, hal ini merujuk pada bantuan material atau praktis yang memenuhi kebutuhan langsung dari orang yang terlibat berupa keamanan finansial, sandang, pangan, dan papan. Tentunya bentuk dukungan ini dapat terwujud setelah normalisasi fasilitas untuk warga senior. Ubahlah persepsi tentang panti jompo layaknya rumah suram pilihan akhir kakek-nenek yang dibuang anak kandungnya menjadi sebuah fasilitas umum yang pantas guna.

2. Dukungan emosional atau afektif, yang menawarkan kepedulian tentang warga senior, bahwa ada yang memperhatikan mereka, dan bahwa mereka dapat berbicara tentang masalah pribadi. Upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan membuka mata tentang gerontologi sehingga isu penuaan tidak lagi teracuhkan dan stigma buruk tentang mereka bisa terhapuskan.

3. Dukungan persaudaraan, yaitu tentang kebutuhan dalam membentuk jaringan sosial. Hal ini bisa dipenuhi dengan perkumpulan sosial guna mewadahi aspirasi warga senior, atau setidaknya dibuat koridor untuk menghubungkan antar generasi yang sarat timbal-balik. Di Inggris, ada program Homesharing yang kian digalakkan untuk warga senior, program ini menawarkan untuk berbagi tempat tinggal, sehingga penghuni dapat membagi tugas rumah tangga dan tinggal di rumah tanpa merasa terisolasi.

Kita boleh saja menyiapkan kue ulang tahun untuk pesta akbar bonus demografi pada tahun 2030. Namun perlu kita sadari, seraya pagi menjelang dan sumbu semakin memendek tidak terelakkan, pesta akbar tersebut juga akan berakhir. Sehingga, janganlah dua ratus juta sekian warga Indonesia tidak bisa menikmati kue ulang tahun karena selama ini mengira telah menyulut lilin, bukan sebuah bom yang mampu membalik piramida demografi.

Mochammad Jibril
Mochammad Jibril
Anak yang suka diam di kamar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.