Kamis, September 19, 2024

Gender Reveal Party: Tradisi, Gimmick, atau Tragedi?

Fatih Hayatul
Fatih Hayatul
seorang mahasiswa pecinta kuliner nusantara yang masih setia dengan kurusnya

Di era modern ini, momen kehamilan dan kelahiran sering kali diiringi dengan berbagai tradisi baru, salah satunya adalah Gender Reveal Party. Bagi yang belum akrab, ini merupakan acara di mana orang tua yang menanti kelahiran bayi mengumumkan jenis kelamin anak mereka dalam sebuah pesta besar.

Sejenak kita renungkan, apakah ini sebuah perayaan yang bermakna atau hanya sebuah gimmick konsumtif yang makin hari makin liar?

Dari Simbolisme ke Komodifikasi

Awalnya, Gender Reveal Party mungkin tampak seperti ide yang manis: berbagi kebahagiaan dengan orang terdekat. Namun, seperti yang sering terjadi dengan hal-hal yang tampak tak bersalah, kapitalisme melihat peluang.

Pesta ini berubah dari sekadar potong kue di ruang tamu menjadi produksi besar-besaran dengan dekorasi, kembang api, dan mungkin juga band pengiring (karena, siapa yang tidak ingin gender anak mereka diumumkan dengan iringan gitar listrik?).

Tentu saja, setiap pesta ini membutuhkan pernak-pernik yang tak sedikit. Apakah anda cukup keren jika hanya mengumumkan gender anak dengan sederhana? Tentu tidak! Anda membutuhkan balon yang meledak, asap warna-warni, dan drone untuk menangkap semuanya dari udara.

Di sinilah simbolisme awal acara ini, yaitu berbagi momen spesial, berubah menjadi kompetisi siapa yang bisa membuat momen lebih spektakuler (dan tentunya, lebih mahal). Dan di sini, kita melihat bagaimana budaya konsumtif perlahan-lahan menyusup ke dalam ruang yang seharusnya intim dan pribadi.

Mengumumkan jenis kelamin bayi, sesuatu yang dulu mungkin disampaikan dalam percakapan santai di ruang keluarga, kini menjadi acara yang diisi dengan sensasi dan… cicilan hutang baru.

Stereotip Gender yang Berkelanjutan

Sebagian besar Gender Reveal Party beroperasi di bawah satu aturan yang tidak tertulis namun sudah sangat jelas: biru untuk laki-laki, pink untuk perempuan. Warna ini telah lama menjadi simbol universal yang sederhana dan mudah diterima, tetapi, seperti kebanyakan simbol, ia datang dengan beban yang tidak selalu kita sadari.

Sebenarnya, apa yang kita rayakan dengan warna-warna ini? Apakah kita sedang menegaskan bahwa seorang bayi perempuan harus menyukai boneka, sedangkan bayi laki-laki akan tumbuh menjadi pecinta truk mainan?

Apakah ini cara kita mengunci anak-anak kita dalam kotak-kotak gender bahkan sebelum mereka lahir? Ini adalah pertanyaan yang perlu kita renungkan lebih dalam. Ada sesuatu yang agak absurd dalam memprediksi hidup seseorang hanya berdasarkan warna asap yang mereka hirup untuk pertama kalinya.

Dan di sinilah Gender Reveal Party mulai terasa sedikit ketinggalan zaman, bahkan mungkin berbahaya dalam memperkuat stereotip yang seharusnya sudah kita tinggalkan di abad lalu.

Media Sosial Sebagai Mesin Pendorong Tekanan Sosial

Tak bisa disangkal, media sosial memainkan peran besar dalam popularitas Gender Reveal Party. Jika tidak diunggah di Instagram, apakah pesta itu benar-benar terjadi? Jika tidak mendapatkan like, apakah bayi itu benar-benar laki-laki atau perempuan?

Logika absurd ini mungkin terdengar aneh, tapi mari kita jujur, kita semua sedikit bersalah karenanya. Tentu saja, dorongan untuk membuat pesta yang lebih besar, lebih heboh, dan lebih viral tidak muncul dari ruang hampa.

Kita hidup di zaman di mana validasi sosial sering kali diukur dalam bentuk jumlah jempol dan hati di layar ponsel kita. Dan Gender Reveal Party adalah panggung sempurna untuk itu. Namun, ada bahaya dalam tekanan sosial ini. Bukan hanya soal biaya, tapi juga soal kesehatan mental.

Kapan kita mulai merasa tertekan untuk merayakan momen pribadi dalam skala yang begitu besar?

Konsumsi Berlebihan di Tengah Ketimpangan

Tidak dapat dipungkiri, Gender Reveal Party sering kali menjadi ajang untuk pamer. Bukan hanya soal jenis kelamin bayi, tetapi juga soal seberapa besar dan megah pesta yang bisa kita buat.

Di tengah dunia yang semakin sadar akan dampak lingkungan dan ketimpangan sosial, pesta semacam ini mulai terlihat sedikit kurang bijaksana. Bayangkan saja, menghabiskan jutaan rupiah untuk satu momen singkat, sementara di sisi lain dunia, ada orang yang bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Apakah pesta ini benar-benar sepadan dengan biaya yang dikeluarkan? Atau apakah ini hanya refleksi dari budaya konsumsi berlebihan yang semakin kehilangan sentuhan realitas?

Mari kita berpikir sejenak. Saat kita sibuk merencanakan ledakan konfeti biru atau merah muda, ada orang di luar sana yang berjuang untuk bertahan hidup. Sementara kita sibuk mengatur drone untuk menangkap momen sempurna, ada yang tak punya tempat tinggal untuk kembali. Mungkin ini terdengar dramatis, tapi itulah kenyataan.

Di dunia di mana ketimpangan begitu nyata, menghabiskan sumber daya yang begitu banyak hanya untuk sebuah pesta sesaat, terlihat sedikit tidak pantas. Namun, tentu saja, ini bukan tentang menyalahkan individu, melainkan budaya yang mempromosikan konsumsi berlebihan sebagai jalan menuju kebahagiaan.

Disaat kita mengejar kebahagiaan melalui pesta dan pembelian barang, mungkin kita perlu bertanya: Apakah ini benar-benar membuat kita bahagia, atau hanya memuaskan hasrat sesaat yang segera menguap setelah pesta usai?

Ketika Pesta Menjadi Malapetaka

Seperti yang pernah terjadi di beberapa tempat, Gender Reveal Party bisa berubah dari momen bahagia menjadi malapetaka dalam hitungan detik.

Apa yang dimulai sebagai ledakan warna bisa dengan cepat berubah menjadi ledakan literal yang menghancurkan rumah, merusak lingkungan, atau bahkan lebih buruk, menghilangkan nyawa.

Ambil contoh kasus kebakaran hutan di California yang disebabkan oleh kembang api dari Gender Reveal Party. Berita tersebut bukan hanya soal kecelakaan tragis, tetapi juga peringatan yang jelas tentang bagaimana obsesi kita terhadap momen viral bisa berujung bencana.

Apakah semua ini sepadan dengan risiko yang harus kita tanggung? Ada ironi yang mendalam di sini: dalam usaha untuk menciptakan kenangan indah, kita justru bisa menciptakan tragedi yang tidak akan pernah terlupakan. Dan ini bukan lagi soal jenis kelamin bayi, tapi soal bagaimana kita memandang keselamatan dan tanggung jawab kita terhadap sesama dan lingkungan.

Mengadopsi Pendekatan yang Lebih Bijak

Akhirnya, mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang tentang bagaimana kita merayakan momen penting dalam hidup. Tidak ada yang salah dengan merayakan, tapi apakah harus selalu dengan cara yang besar, bising, dan berisiko?

Bagaimana jika kita mengadopsi pendekatan yang lebih sederhana, lebih inklusif, dan lebih bijaksana. Ada banyak cara untuk merayakan tanpa harus terjebak dalam konsumerisme dan stereotip.

Dan mungkin, pada akhirnya, ini adalah pelajaran terbesar dari Gender Reveal Party, bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada warna asap atau kembang api, tetapi pada cinta dan koneksi yang kita bagikan dengan orang-orang terdekat.

Dengan demikian, kita tidak hanya menciptakan kenangan, tetapi juga menghormati dunia di sekitar kita dan generasi yang akan datang. Karena jenis kelamin hanyalah salah satu dari banyak aspek dalam hidup seorang anak, tetapi nilai-nilai yang kita tanamkan akan bertahan seumur hidup.

Fatih Hayatul
Fatih Hayatul
seorang mahasiswa pecinta kuliner nusantara yang masih setia dengan kurusnya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.