Efek media terhadap perilaku seseorang telah dibahas sejak zaman munculnya televisi. Saat itu tokoh komunikasi George Gebner mengenalkan Teori Kultivasi. Singkatnya, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menonton televisi, kebiasaannya cenderung berubah sesuai dengan yang ia tonton. Sementara itu, orang yang tidak menonton televisi tidak mengalami perubahan perilaku.
Di masa kini media yang mendominasi tidak lagi televisi, melainkan media sosial. Salah satu media sosial yang saat ini diminati adalah Instagram. Dilansir dari Napoleoncat.com, pengguna Instagram di Indonesia per Januari 2022 mencapai 104.175.200 jiwa atau setara dengan 37,5% populasi penduduk Indonesia. Para pengguna Instagram terbanyak berada pada rentang usia 18 hingga 24 tahun, yaitu usia emas seseorang untuk berkarya dan berkreasi.
Apakah alternatif media baru ini tidak memiliki dampak? Ternyata tidak juga. Tentu Instagram sangat bermanfaat untuk update informasi, melakukan branding diri, menjelajahi bermacam gambar dan video yang menarik, dan juga untuk berinteraksi dengan kawan. Namun dari banyak kesenangan yang ditawarkan, Instagram juga punya sisi kelam yang dapat menyebabkan penggunanya jatuh dalam lembah masalah mental.
Sebuah studi Impact of Instagram on Psychological well-being and Body Image of Female University Students yang dirilis GRR Journal menjelaskan hubungan antara psikis pengguna instagram dan non-pengguna instagram dalam menghadapi masalah seperti kesepian, keputusasaan, memframing foto, dan perbandingan sosial. Ternyata, pengguna instagram cenderung memiliki masalah-masalah tersebut. Riset lain dari jurnal Advances in Social Science, Education and Humanities Research juga menunjukkan hasil bahwa intensitas penggunaan Instagram dalam hal ini durasi penggunaan Instagram, dapat menyebabkan peningkatan tendensi membandingkan penampilan diri dan juga ketidakpuasan terhadap tubuh.
Pada tahun 2017 bahkan Royal Society for Public Health (RSPH) merilis bahwa instagram adalah media sosial yang paing buruk dampaknya terhadap kesehatan mental. RSPH merilis ada 14 masalah mental dan kesejahteraan yang ditimbulkan, antara lain; kesadaran dan pemahaman tentang pengalaman kesehatan orang lain; akses informasi ke ahli kesehatan yang dapat dipercayai; dukungan emosional-empati dan kasih sayang dari keluarga dan teman; kecemasan-perasaan khawatir, gugup atau gelisah; depresi-merasa sangat rendah dan tidak bahagia; kesepian-perasaan menjadi sendirian; tidur-kualitas dan jumlah tidur; ekspresi diri-ekspresi perasaan, pikiran, atau ide; identitas diri; body image – bagaimana perasaan tentang penampilan sendiri; hubungan dunia nyata -menjaga hubungan dengan orang lain; membangun komunitas – merasa menjadi bagian dari komunitas orang-orang yang berpikiran sama; bullying – perilaku mengancam atau kasar terhadap diri; FOMO (Fear of Missing Out) – merasa kamu harus tetap terhubung karena khawatir hal-hal bisa terjadi tanpa kamu.
Tentu kita tidak bisa abai dengan berita mengejutkan awal tahun 2022 ini, kasus anak bunuh diri dikarekanakan efek dari Instagram. Selena, anak di USA yang masih berusia 11 tahun mengakhiri hidupnya setelah berjuang menghadapi masalah mental karena kecanduan bermain Instagram. Dilansir dari New York Post, ibunya Tammy Rodriguez, hingga menuntut Snap dan juga induk Instagram yakni Meta karena dampak buruk media sosial ciptaan mereka. Dilansir dari Bloomberg, kuasa hukum Tammy Rodriguez mengatakan therapist Selena menyatakan belum pernah melihat pasien yang sangat adiksi dengan sosial media seperti Selena. Selena bukan anak pertama yang mengalami kasus ini, banyak anak-anak lain yang juga terdampak oleh Instagram.
Kenyataan ini sebaiknya tidak diabaikan oleh masyarakat kita agar tidak muncul Selena yang lain. Kita tentu tidak ingin anak-anak yang seharusnya bermain dan bahagia justru terkekang masalah mental. Dan tak hanya anak kecil, hal tersebut rawan terjadi pada remaja dan generasi muda rentang usia 18-24 tahun yang menjadi pengguna Instagram terbanyak saat ini. Padahal rentang usia tersebut adalah waktu emas untuk berkembang dan berkreasi, namun justru dibayang-bayangi dengan konsekuensi terdampak isu mental health.
Sudah saatnya kita bersama orang-orang sekitar kita menggunakan Instagram secara bijak sehingga terbebas dari konsekuensi terjebak dalam lembah kelam isu mental health. Contohnya mulai atur tujuan penggunaan Instagram, mulai berpikir ulang terhadap konten yang akan diposting, mengikuti akun-akun yang positif, menggunakan fitur mute atau unfollow untuk akun-akun yang seringkali menimbulkan kecemasan, mematikan notifikasi Instagram agar tidak terlalu sering mengecek Instagram, menerapkan disiplin diri dengan membatasi waktu penggunaan Instagram, dan yang paling penting mulai intensifkan interaksi di dunia nyata.
Dampak buruk Instagram sangat nyata, dan sudah saatnya kita mulai membuka mata.