Selasa, Oktober 7, 2025

Gedung Pesantren Al-Khoziny Runtuh, Takdir Allah?

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Saat ini kegiatan sehari-hari menjadi penulis lepas. Beberapa artikel saya dapat dilihat di website Geotimes.id, Harakatuna.com, Tsaqafah.id, Jaringan Santri, Medium.com, retizen.republika.co.id, IbTimes.id, dan Kompasiana.
- Advertisement -

Senin, 29 September 2025. Telah datang kabar duka dari daerah Sidoarjo, Jawa Timur. Pada hari itu, sore hari ketika waktu sudah memasuki sholat Ashar dan tepat pada sekitar pukul 15.00 WIB. Sebuah bangunan pondok Pesantren Al-Khoziny yang terletak di Buduran seketika roboh dan menimpa sejumlah santri yang sedang melaksanakan sholat ashar berjamaah.

Kejadian ini, sangatlah memberi luka yang mendalam kepada keluarga korban, apalagi masih banyak anak-anak santri yang masih terjebak dalam balik reruntuhan tersebut. Bahkan kabarnya, peristiwa runtuhnya gedung ini juga sampai memakan 3 korban jiwa, kata Khofifah kepada awak media di Surabaya, Selasa, 30 September 2025. Itu korban yang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Saat ini kita tidak tahu, apakah akan ada korban lainnya yang dikatakan meninggal dunia atau tidak. Kita hanya bisa berusaha sekuat tenaga dan berdoa, agar korban-korban yang masih tertimpa dibalik runtuhan bisa diselamatkan oleh tim penyelamat secepat mungkin dan tidak ada korban jiwa lainnya.

Namun, dari peristiwa runtuhnya gedung pesantren Al-Khoziny. Ada pernyataan dari pengasuh Ponpes yang menurut sebagian orang atau netizen Indonesia di media sosial, seakan-akan seperti melepas tanggung jawab. Ungkapan terkait bahwa kejadian ambruknya bangunan Ponpes karena takdir Tuhan. Seakan-akan manusia yang membangun gedung itu tidak ada campur tangannya.

“Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik,” katanya kepada awak media.

Dalam pemikiran Islam, pandangan menyatakan semua masalah ini sudah ditakdirkan Allah, kita mengenalnya sebagai pemikiran aliran jabariyah. Jabariyah adalah suatu aliran dalam teologi Islam yang meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan sepenuhnya oleh Allah (takdir), sehingga manusia tidak memiliki kehendak bebas atau kemampuan untuk berbuat. Aliran pemikiran ini, seringkali dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh tertentu sebagai bentuk rasionalisasi atau alibi dengan menjadikan Tuhan sebagai pembenaran argumentasi untuk menutupi kesalahannya.

Runtuhnya bangunan pondok pesantren jelas bukan karena takdir Allah, karena dalam kehidupan dunia ini, semuanya telah Allah ciptakan sunnatullahnya dan manusia itu memiliki kehendak bebas atau free will dalam memilih sunnatullah tersebut. Kalau memahami makna sunnatullah, itu merupakan hukum-hukum Allah yang mengatur seluruh alam semesta dan mekanisme kerjanya, bersifat tetap, otomatis, dan objektif, yang juga dikenal sebagai hukum alam atau hukum sebab-akibat. Misalnya, planet yang ada di tata surya. Allah telah mengatur alam semesta ini semuanya berjalan dengan keadaan seimbang. Kita bisa menyebutnya sebagai hukum alam. Terciptanya keseimbangan alam semesta ini sendiri bisa dipelajari manusia pengetahuan atau ilmunya dengan mempelajari hukum-hukum mengenai astronomi.

Selain itu, Allah juga telah menciptakan dataran tinggi di bumi ini dengan hadirnya sebuah pohon. Hadirnya pohon inilah, akar-akarnya membuat tanah tertahan saat terjadinya hujan, sehingga tidak terjadi penurunan tanah yang berpotensi terjadinya tanah longsor. Namun, apabila manusia merusak sunnatullah keseimbangan itu dengan membabat hutan sampai gundul, maka manusia telah mengikuti sunnatullah kehancuran yang dapat memberikan mereka petaka dan musibah. Kita bisa menyebut realitas ini sebagai hukum sebab-akibat.

Kalau kita coba telusuri berita mengenai runtuhnya bangunan pesantren ini, sesungguhnya manusialah yang telah membuat dan mengikuti sunnatullah kehancuran tersebut. Berdasarkan berita dari detik.com (2025), salah satu siswa Ponpes Al-Khoziny mengatakan, bahwa ketika mereka tidak mengikuti kegiatan, mereka mendapatkan hukuman untuk membantu mengecor bangunan. Hukuman seperti itu sudah menjadi tradisi ketika seorang santri kedapatan bolos kegiatan, mereka diminta membantu mengecor bangunan tersebut. Sehingga jelas, ada sistem tradisi yang salah dan keliru dalam kasus ambruknya bagunan pesantren. Tradisi ini yang diduga telah menciptakan sunnatullah ambruknya gedung pesantren karena pembangunan dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu, yaitu dilakukan oleh santri.

Sistem tradisi pesantren yang dianggap sebagai solusi untuk memberikan efek jera kepada santri, malah justru menjadi sebuah cobra effect atau solusi yang justru memberikan masalah lebih besar. Memang benar ada santri yang mengatakan mereka tidak sepenuhnya mengerjakan pengecoran, mereka hanya dilibatkan sekedar membantu proses yang dilakukan tukang. Itu berasal dari pernyataan santri yang saat itu tidak berada di lokasi.

Walau tidak sepenuhnya santri terlibat dalam proses pembangunan, tradisi ini tetap salah karena melibatkan santri yang tidak dibekali ilmu pengetahuan dan SOP keamanan juga. Walau mereka hanya diminta ikut dalam proses ringan, seperti mengangkat sebagian material dan mengaduk semen. Proses mengaduk semen sendiri haruslah dibekali ilmu pengetahuan, agar semen yang dihasilkan bisa kokoh.

- Advertisement -

Selain itu, ada juga cerita santri lain yang menjadi salah satu korban. Dalam ceritanya itu, ia menyampaikan tengah bersebelahan dengan santri yang bertugas mengecor bangunan sebelum ambruk. “Jadi lagi ngecor, jatuh, luka di wajah, terus giginya copot,” pungkasnya. Sehingga proses pembangunan jelas terbukti ada santri yang ikut membantu, meskipun tugasnya tidak besar.

Dari peristiwa itu, juga adanya dugaan lain yang dimana bangunan pesantren itu dibangun dengan pondasi yang tidak kuat. “Diduga pondasi tidak kuat sehingga bangunan dari lantai empat runtuh hingga lantai dasar,” kata Deputi Operasi dan Kesiapsiagaan Basarnas Edy Prakoso dilansir Antara, Selasa (30/9/2025).

Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari juga menambahkan, bahwa kejadian tersebut termasuk bencana kegagalan teknologi yang perlu diantisipasi melalui penerapan standar keselamatan konstruksi secara ketat. Dalam hal ini, kita bisa memahaminya sebagai bentuk hukum sebab-akibat karena sebab kegagalan teknologi dalam pembangunan pondasi inilah yang justru mengakibatkan bangunan pesantren roboh. Sehingga disini jelas, bahwa robohnya bangunan pesantren bukan karena takdir Allah, tetapi juga ada campur tangan manusia yang lalai dalam melakukan pengawasan dalam proses pembangunan gedung.

Dari peristiwa ini, tidak tepat kejadian ini disebut sebagai takdir Allah karena seakan-akan malapetaka ini memang keinginan Allah. Pemikiran konsep takdir seperti ini malah seakan-akan menyalahkan Tuhan. Padahal kalau kita telusuri, ada campur tangan manusia yang lalai dalam pembangunan gedung itu. Sehingga dari peristiwa ini, harapannya pihak pondok bisa berbenah dan introspeksi agar peristiwa memilukan ini tidak kembali terjadi lagi. Mari sama-sama kita doakan agar korban yang tertimbun bangunan segera diselamatkan dan bisa kembali kepada keluarga serta kembali semangat dalam belajar atau menuntut ilmu agamanya.

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Saat ini kegiatan sehari-hari menjadi penulis lepas. Beberapa artikel saya dapat dilihat di website Geotimes.id, Harakatuna.com, Tsaqafah.id, Jaringan Santri, Medium.com, retizen.republika.co.id, IbTimes.id, dan Kompasiana.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.