Jumat, April 19, 2024

Gaduh Student Loan

Rahmita Dwinesia Paputungan
Rahmita Dwinesia Paputungan
Rahmita Dwinesia saat ini sedang menempuh studi pada program magister ilmu akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Ia memiliki ketertarikan dengan isu di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan.

Apa kabar pendidikan Indonesia? Tidak terasa sudah bertahun-tahun sejak Ki Hajar Dewantara memperjuangkan cita-citanya agar setiap masyarakat Indonesia merasakan pendidikan. Di hari pendidikan, sudahkah cita-citanya terpenuhi?

Susah memang untuk menjawab, serba tidak tepat rasanya. Bagi kaum borjuis, hal ini mudah saja terpenuhi namun tidak dengan kaum proletariat. Faktanya, memang perjuangan untuk pemenuhan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia masih menjadi tantangan hingga saat ini.

Keterbatasan dana selalu menjadi alasan tidak dapat dirasakannya bangku pendidikan. Padahal pendidikan itu krusial terlebih dalam dunia dengan segala hingar-bingar perkembangannya saat ini.

Persaingan semakin ketat dan perkembangan teknologi semakin cepat, begitupun angka tenaga kerja yang digerus tenaga mesin semakin merajalela. Jika tidak memiliki pendidikan yang tinggi, siap-siaplah tersingkir! Lantas, apa andil pemerintah Indonsia dalam menyelesaikan hal ini?

Dalam website Kementerian Keuangan, pemerintah sudah menyisihkan 20% dari APBN atau sebesar Rp416,1 triliun dikhususkan untuk sektor pendidikan. Hal tersebut juga sudah sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan, dimana dalam Pasal 76 ayat 1 menjelaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dalam prosesnya menyelesaikan pendidikan.

BOS, Kartu Pintar, Bidikmisi, dan LPDP mungkin sebagian dari beasiswa yang diberikan untuk meningkatkan akses masyarakat Indonesia di dunia pendidikan.

Kendalanya adalah banyaknya peminat tidak berbanding lurus dengan jumlah beasiswa yang diberikan, terlebih pada jenjang menuju perguruan tinggi. Sehingga, beasiswa belum cukup mampu memenuhi kebutuhan merasakan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Lantas, akankah kita hanya terus menunggu datangnya beasiswa tanpa usaha?

Guna menanggulangi masalah tersebut, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi memberi wacana tentang student loan yakni sebagai sarana dalam mengakses dunia perguruan tinggi.

Selalu saja, wacana baru selalu memunculkan kegaduhan baru yang “kebanyakan” menolak wacana tersebut, dengan berbagai alasan. Mulai dari tidak terpenuhinya UU No. 12 Tahun 2012 Pasal 76 Ayat 2 poin C hingga mengajari siswa untuk “berhutang”!

Untuk masalah pertama tidak sesuai dengan Pasal 76 ayat 2 Poin C yang berbunyi: “pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan”, kita harus memahami maksud pinjaman dana tanpa bunga.

Bunga sering diidentikkan dengan “pemberat” karena menguntungkan pihak pemberi dan merugikan peminjam. sehingga tanpa bunga berarti “gratis”, padahal maksudnya semata-mata tidak memberatkan pihak peminjam. Contohnya yaitu produk perbankan syariah yang pelunasan atas pinjamannya dilakukan berlandaskan kesepakatan.

Contoh lainnya yaitu kartu kredit. Kartu kredit menyediakan layanan peminjaman tanpa bunga “dengan catatan”, pelunasan harus dilakukan sebelum tanggal jatuh tempo sesuai kesepakatan dengan penyedia jasa. Berarti, setelah tanggal jatuh tempo, ada bunga yang akan dikenakan.

Dalam kasus ini, yang menjadi kekhawatiran adalah risiko atas ketidakpastian dalam melunasi pinjaman oleh debitur. Jadi bagaiamana meminimalisir risiko tersebut?

Terdapat beberapa cara dalam meminalisir risiko tersebut misalnya dengan mensyaratkan penerima student loan adalah mereka yang mampu membayar. Mampu membayar harus memiliki kriteria seperti penerima harus memiliki kemampuan dan kemungkinan ia mendapatkan penghasilan dalam melunasi pinjamannya.

Selain itu, telah adanya keterikatan mahasiswa dengan dinas ataupun instansi pemberi kerja juga dapat menjadi pertimbangan karena sudah jelas bahwa calon penerima student loan dapat melunasi pinjamannya ketika ia telah bekerja. Sedangkan bagi pemberi pinjaman, mereka harus mampu dalam menganalisa potensi mahasiswa dalam membayar ataupun memberi syarat berupa pemberian jaminan.

Sesuai teori pasar modal, high risk, high return. Bagi pelajar, risiko pinjaman berupa hutang akan sepadan pengembalian yaitu ilmu dan gelar yang ia dapatkan. Sedangkan bagi bank, risiko memberi pinjaman sama dengan tingkat pengembalian yang ia peroleh.

Pada faktanya, meskipun dianggap berisiko, telah banyak Bank yang mengeluarkan produk student loan. Mereka tentunya melihat peluang ini sebagai kesempatan. Contohnya Bank BRI yang telah meluncurkan Briguna Fleksi Mandiri sebagai wahana student loan dengan suku bunga kredit per tahun 5-6%. Mereka pun telah melakukan kerjasama dengan beberapa kampus area Malang seperti Universitas Brawijaya dalam menyediakan pinjaman dana pendidikan bagi mahasiswa.

Untuk kasus kedua, apa yang salah dengan berhutang? Kebanyakan masyarakat mempersepsikan hutang sebagai sesuatu yang “najis”, begitupun student loan. Bukannya mengajarkan untuk berhutang, tapi kita diajarkan berbagai pilihan dalam hidup beserta baik dan buruknya.

Begitupun student loan yang “bisa” menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Keputusan menggunakannya kembali ke masyarakat. Jika tidak ingin berhutang, maka gunakan kesempatan beasiswa dengan catatan saingannya banyak dan prosesnya ketat karena alokasi yang diberikan juga tidak banyak.

Banyak yang menganggap, solusi terbaik adalah pembayaran pinjaman berwujud kontrak kerja dengan pemerintah karena mahasiswa juga mendapatkan gaji yang dapat ia gunakan untuk melunasi pinjamannya.

Tapi, jika dipikirkan lebih jauh, hal tersebut berdampak pada banyaknya masyarakat yang lebih memilih melakukan pinjaman karena kepastian dapat bekerja dan digaji oleh pemerintah. Hal tersebut juga berarti mereka yang membayar pribadi mendapat kesempatan kerja lebih rendah dari mereka yang melakukan pinjaman.

Alasan diskiriminatif yang sangat lucu! Kenapa juga selalu pemerintah yang harus bertanggungjawab padahal mereka hanya memberikan solusi dalam mengakses pendidikan.

Daripada melihat sisi negatif, coba ambil sisi positifnya. Berapa banyak yang diuntungkan dengan adanya student loan. Contohnya Merry Riana yang menggunakan student loan demi mengenyam pendidikannya.

Darinya kita dapat belajar bahwa selain mendapatkan pendidikan, mahasiswa juga ditempa untuk lebih bertanggungjawab dan lebih bekerja keras dalam melakukan pengembalian terhadap hutangnya. Apalagi sekarang, siapa saja bisa mengakses pekerjaan, menjadi guru les contohnya.

Alasan kuliah jadi keteteran ataupun alasan pembenaran apapun harus dihilangkan dan dihentikan. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Kita jangan menjadi pribadi yang terlalu pesimis karena akan menghambat kita dalam melangkah, jangan juga terlalu berisik menentang. Jadilah optimis dengan bekerja sama dalam menciptakan pemenuhan hak pendidikan setiap bangsa.

Jadi, sekali lagi, student loan merupakan opsi yang ditawarkan pemerintah untuk memberikan akses dalam menimba ilmu pengetahuan setinggi-tingginya. Cerminan Tut Wuri Handayani yang memiliki arti dibelakang memberi dorongan, dengan maksud tidak menghalangi dan selalu memberi motivasi.

Demi melaksanakan cita-cita Indonesia dalam UUD 1945 alinea keempat, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Begitupun cita-cita Ki Hajar dan pejuang pendidikan lainnya, kemerdekaan merasakan dunia pendidikan!

Rahmita Dwinesia Paputungan
Rahmita Dwinesia Paputungan
Rahmita Dwinesia saat ini sedang menempuh studi pada program magister ilmu akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Ia memiliki ketertarikan dengan isu di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.