Belum lama ini, media sosial dihebohkan dengan adanya postingan yang menampilkan katalog kepengurusan organisasi BEM Fakultas Teknik di Universitas Negeri Jakarta.
Yang membuat heboh dan bahkan memantik sentimen netizen setelah postingan itu ramai beredar adalah karena foto perempuan yang terpampang dalam katalog struktur kepengurusan tersebut diblur sementara foto laki-laki terpampang dengan sangat jelas, hal itu mengindikasikan adanya ketidaksetaraan dan praktik patriarki dalam tubuh BEM FT UNJ.
Umumnya, di berbagai organisasi intra kampus terkhusus organisasi sejenis BEM, Informasi mengenai struktur kepengurusan biasanya disajikan secara gamblang tanpa adanya sensor. Karena informasi dalam struktur kepengurusan tersebut harus dapat diakses dan diketahui secara jelas oleh semua mahasiswa. Mengingat BEM seringkali diinterpretasikan sebagai representasi dan pemangku kebijakan bagi mahasiswa.
Meskipun BEM FT UNJ telah memberikan klarifikasi resmi bahwa foto perempuan dalam katalog struktur kepengurusan mereka tidaklah diblur melainkan diturunkan opacity-nya dan hal itu terjadi atas dasar konsensus antar anggota perempuan.
Namun, tetap saja kesepakatan itu justru menimbulkan tanda tanya besar, benarkah konsensus itu lahir atas dorongan pribadi masing-masing pihak terkait tanpa adanya intervensi dari pihak lain ataupun tekanan baik secara kultural maupun fungsional?
Apalagi dalam narasi klarifikasi yang dipaparkan oleh BEM FT UNJ mereka tidak menyinggung tentang ekualitas, mereka hanya menekankan bahwa mereka menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan baik itu gender, agama, ras dan antar golongan.
Menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan saja tidaklah cukup untuk menangkis spekulasi praktik patriarki yang ada di dalam tubuh organisasi mereka, karena menjunjung tinggi perbedaan ataupun bertoleransi saja tidak cukup mengakomodasi nilai-nilai kesetaraan apalagi yang berbasis gender.
Menurunkan opacity foto perempuan terlepas dari kesepakatan yang telah dibuat, justru terlihat seperti upaya merestriksi eksistensi perempuan di muka publik, apalagi dengan fakta yang timpang bahwa foto yang diblur hanya foto perempuan sedangkan foto laki-laki masih tetap terang benderang.
Organisasi di ranah universitas seharusnya menjadi wadah pergerakan dan pembelajaran yang menjunjung tinggi adanya kesetaraan, bukan malah sebaliknya, membiarkan adanya subordinasi, organisasi juga harusnya mengedepankan prinsip solidaritas yang artinya, jika foto perempuan sepakat untuk diturunkan opacity-nya, maka foto laki-laki juga harus diperlakukan demikian agar tidak terlihat timpang.
Ketimpangan semacam itu justru menimbulkan kesan inferioritas pada anggota perempuan dalam tubuh BEM FT UNJ karena inferioritas lahir dari adanya ketimpangan dan segala macam ketidaksetaraan lainnya, dan inferioritas yang terus terpelihara hanya akan memberi wadah tumbuh suburnya praktik patriarki.
Seperti yang pernah dituliskan Evelyn Reed dalam buku Mitos Inferioritas Perempuan bahwa inferioritas perempuan adalah produk dari sistem sosial yang diproduksi dan dipupuk dengan berbagai ketimpangan, diskriminasi, dan degradasi lainnya. Inferioritas apalagi dalam ranah organisasi di perguruan tinggi seharusnya menjadi sesuatu hal yang ditakfiri bukan malah diamini apalagi diadopsi.
Perguruan tinggi yang menurut Soe Hok Gie adalah tempat paling suci, tempat dimana arus pemikiran bergejolak, benteng pertahanan terakhir dari sebuah peradaban dan kemerdekaan intelektual sebuah bangsa, seharusnya menjadi tempat paling ramah untuk nilai-nilai ekualitas, karena intelektualitas dan segala cita-cita luhur yang diinginkan tiap-tiap universitas mustahil tumbuh apalagi berkembang diatas ketimpangan, di atas bayang-bayang inferioritas-superioritas berbasis gender, di atas payung patriarki.