Baru-baru ini kita digemparkan dengan fenomena nyawer terhadap qariah di Pandeglang, Serang, Banten. Pasalnya, peristiwa nyawer terhadap qari/qariah ini juga sudah mentradisi di daerah tersebut. Lantas, bagaimana menyikapi budaya yang sudah memasyarakat tersebut?
Adab Berinteraksi dengan Alquran
Sebelum secara spesifik menyinggung fenomena yang tengah viral, terlebih dahulu kita pahami dulu adab dalam syariat Islam tatkala mendengarkan bacaan Alquran.
Tentu yang menjadi landasan utamanya sebagaimana termaktub dalam surah al-A’raf ayat 204.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Alquran maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”
Ada dua perintah dari ayat di atas ketika kita sedang mendengarkan bacaan Alquran. Pertama, perintah istima’ (mendengarkan). Menurut Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya, makna istima’ lebih dari sekedar mendengar. Lebih lanjut beliau menerangkan, makna istima’ ialah pendengaran yang fokus, menghadirkan hati, dan mentadaburinya.
Kedua, perintah inshat (diam). Hal ini sekaligus berkenaan dengan sebab turunnya ayat. Menurut riwayat dari Abu Hurairah dalam kitab Lubab an-Nuqul, bahwa para sahabat selalu bercakap-cakap sewaktu dibacakan Alquran, maka turunlah ayat ini.
Kedua perintah di atas tiada lain sebagai media agar siapapun yang mendengarkn bacaan Alquran dapat memperoleh rahmat. Secara lebih detail, dalam kitab At-Tibyan Fii Adabi Hamalatil Quran menyebutkan bahwa diantara penghormatan terhadap Alquran yaitu menghindari tertawa, bersorak-sorai, dan berbincang-bincang ketika Alquran dibaca, kecuali perkataan yang sangat mendesak.
Antara Tradisi dan Adab
Jangankan mempersoalkan adab dengan tradisi, bahkan di atas ilmu pun adab lah yang semestinya didahulukan. Nyawer pembaca Alquran yang mentradisi dan menuai banyak komentar ini sangatlah wajar jika dilihat dari adab membaca dan mendengarkannya yang dalam syariat Islam merupakan bagian dari ibadah. Hal yang semestinya menjadi bahan perhatian bukan soal mentolerir atau tidaknya, tetapi meluruskan tradisi yang tidak pantas yang mungkin tidak sedikit masyarakat yang memandangnya bak sebuah apresiasi yang sudah mendarah daging.
Tidak mudah memang mengubah tradisi yang sudah mengakar, hal ini sekaligus menjadi tugas besar ulama untuk memberi pemahaman yang sejelas-jelasnya betapa pentingnya menghormati Alquran dengan senantiasa memperhatikan adab-adabnya tanpa harus menghilangkan sisi apresiasi yang mereka maksud. Misalnya dengan melakukannya setelah Alquran selesai dibacakan, atau di luar momentum membaca Alquran. Esensi apresiasi itulah yang bisa menjadi bahan perbaikan masyarakat untuk diaktualisasikan dengan etis sesuai pada tempatnya.
Dengan viralnya fenomena ini, diharapkan masyarakat muslim semakin arif untuk tidak lagi mempertahankan tradisi yang bertentangan dengan apa yang menjadi perintah dalam Alquran. Meskipun di negara lain membudaya, alangkah lebih baiknya kita lebih memprioritaskan perolehan rahmat Allah melalui tadabur ayat serta mengamalkan intisari adab dalam memperlakukan kitab mulia pedoman umat.