Minggu, November 10, 2024

Fenomena Kemunduran Demokrasi di Era Joko Widodo

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.
- Advertisement -

Tulisan ini menjelaskan tentang fenomena kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia yang mulai tampak di bawah kepemimpinan Joko Widodo sejak 2014 hingga kini. Pada mulanya, kemunculan pria yang akrab disapa dengan Jokowi ini telah menghadirkan harapan baru bagi sebagian besar publik tentang masa depan yang cerah bagi demokrasi dan perbaikan kualitas pengelolaan negara.

Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa Jokowi bukanlah bagian dari elit lama, oligarki, penguasa korup, ataupun militer, dan dia lahir dari rakyat kecil yang berhasil meraih keunggulan politik atas dukungan masyarakat sipil. Namun tampaknya, kekhawatiran terhadap menurunnya kualitas demokrasi mulai menguat dan harapan pada sosok presiden “rakyat” perlahan sirna setelah beberapa tahun Jokowi menjalankan pemerintahannya.

Penulis berpendapat, setidaknya, ada satu fenomena umum yang terjadi belakangan ini dan mengarah pada kemunduran demokrasi, yakni: semakin menyempitnya civic space (ruang sipil/publik) bagi masyarakat sipil akibat penggunaan buzzer oleh pemerintah dan pemberlakuan aturan hukum tertentu yang membatasi mereka.

Buzzer dan fanboy seakan telah menjadi fenomena umum dalam praktik politik Indonesia belakangan ini. Peran mereka semakin meningkat dan dipandang sebagai kewajaran sejak era Joko Widodo, baik itu karena menjadi bagian dari pekerjaan atau murni simpatisan presiden belaka. Di sisi lain, aturan hukum yang diinisiasi/dibentuk pemerintah juga semakin bermasalah, baik dari segi transparansi, formil, ataupun praktis, sehingga menimbulkan banyak gelombang protes.

Meyempitnya Ruang Sipil bagi Masyarakat Sipil

Merujuk pada Freedom House (2020) dan the Economist’s Democracy Index (2019), terlihat bahwa demokrasi Indonesia hanya dikategorikan sebagai “setengah bebas” dan “demokrasi yang cacat”. Salah satu yang paling bermasalah dan sedang berlangsung hingga hari ini ialah soal kebebasan sipil.

Masyarakat sipil di Indonesia dianggap telah memainkan peran strategis dalam kehidupan berdemokrasi sejak dimulainya masa reformasi dua dekade lalu. Namun belakangan, masyarakat sipil cenderung tidak memiliki gairah, kalaupun ada, suara mereka tidak lagi terlalu dipertimbangkan oleh pemerintah. Semua ini berhubungan dengan civic space, atau ruang sipil yang semakin menyempit. Dan tampaknya, fenomena penyempitan ruang sipil ini menjadi sesuatu yang marak terjadi di banyak negara dalam beberapa dekade terakhir, termasuk di Indonesia.

Memang harus diakui, bahwa masyarakat sipil di Indonesia sangat terfragmentasi dan mereka seringkali dihadapkan pada permasalahan internal, khususnya soal sumber pendanaan yang tidak lancar, struktur kelembagaan yang tidak kuat, serta gerakan dan narasi mereka yang tidak terhubung dengan grassroot. 

Namun, penulis melihat ada beberapa faktor eksternal, khususnya merebak di pemerintahan Jokowi, yang membuat ruang masyarakat sipil untuk berbicara semakin menghilang, yakni: pertama, penggunaan buzzer politik yang didukung negara. Penulis menilai, aktivitas buzzer sangat mengancam bagi demokrasi karena mereka mengalihkan perbincangan yang substantif dan konstruktif menjadi sangat bias preferensi politik.

Kritik-kritik masyarakat sipil cenderung tidak sampai kepada pemerintah karena mereka menciptakan “dunia” sendiri yang tidak ada kritik karena telah menggunakan buzzer. Sebagai pihak yang sedang memerintah, menggunakan jasa buzzer untuk menghadapi kritik tidak lain adalah bentuk dari anti-kritik.

Faktor pertama sangat berkaitan dengan yang kedua, yakni menjamurnya volunteering group yang ada sejak era Jokowi menciptakan shifting dari yang seharusnya mereka berfokus pada hal-hal programatik dan idealis menjadi bias partisan, loyalis, dan pemburu keuntungan semata.

- Advertisement -

Volunteering group yang berinisiatif untuk mendukung, mengkampanyekan, dan memenangkan Jokowi dalam dua edisi pilpres terakhir, tidak seluruhnya berkorelasi positif untuk membangun demokrasi, melainkan sebagian hanya untuk mengejar jabatan dan keuntungan tertentu.

Kondisi lebih parah dan terkesan melanggar etika bernegara ialah saat aktor-aktor yang terlibat dalam volunteering group ini tidak bubar setelah Jokowi menang di pemilu, melainkan tetap menjadi fanboy pemerintah dengan membabi-buta mendukung setiap kebijakan pemerintah. Mereka seakan melupakan peran mereka yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk menagih janji-janji Jokowi yang telah dilontarkan saat kampanye.

Buzzer dan fanboy digunakan untuk memperlancar setiap kebijakan developmentalis (pembangunan ekonomi) dan narasi “pluralis” pemerintah. Beberapa aturan dan tindakan kontroversial yang dilakukan pemerintah, seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU Minerba (sudah disahkan), revisi UU KPK (sudah disahkan), revisi KUHP, pelanggaran HAM atas masyarakat Papua, kenaikan tarif BPJS, sekaligus kecenderungan pemerintah pusat untuk lebih peduli pada ekonomi dibanding kesehatan masyarakat di saat pandemi Covid-19, didukung habis-habisan oleh buzzer dan fanboy mereka.

Bahkan, belakangan ini, banyak lembaga negara yang menggunakan buzzer untuk menghadapi kritik masyarakat sipil atas kebijakan yang diambil, seperti yang terjadi pada kasus Perusahaan Listrik Negara (PLN). Padahal, kritik dari masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga internasional tidak kurang banyaknya. Lagi-lagi, ini tentu berbahaya bagi demokrasi.

Ketiga, penggunaan instrumen hukum yang ambigu untuk menekan kebebasan sipil. Penulis mencatat, bahwa UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah salah satu peraturan yang paling membahayakan bagi kebebasan sipil, tetapi belum ada niatan dari pemerintah untuk melakukan revisi, yang padahal sudah dituntut oleh masyarakat sipil.

Sudah banyak kasus kriminalisasi akibat pemberlakuan UU ini. Ada pula beberapa contoh lain, seperti pemberlakuan UU Ormas dan kebijakan negara yang mempersulit izin bagi ormas tertentu. Selain itu, pemerintah dan DPR berencana untuk segera menetapkan RKUHP yang juga bermasalah karena di antaranya memuat pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara lain, yang jelas berpotensi melanggar kebebasan berpendapat.

Fenomena terbaru yang sedang viral, pemerintah menggunakan pasal makar untuk menjerat kebebasan berpendapat orang-orang yang dianggap membahayakan dan “mengarah” ke separatisme, seperti kasus yang terjadi pada beberapa mahasiswa di Papua.

Apakah ini Kemunduran Demokrasi?

Penulis berkesimpulan, bahwa pemerintahan Jokowi, dalam kadar tertentu, telah mengarah pada femonena penurunan demokrasi yang konstan dan stabil, meski masih dalam ambang batas yang berada di atas demokrasi elektoral.

Salah satu aspek yang sangat terlihat dewasa ini ialah makin menyempitnya ruang bagi masyarakat sipil yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti buzzer, volunteery group yang bertransformasi menjadi fanboy pemerintah, dan pemberlakuan aturan-aturan ambigu yang mengekang kebebasan sipil. Hal ini perlu dicermati dan dipandang secara kritis oleh beragam pihak.

Dari sisi masyarakat sipil, kita perlu untuk selalu waspada dan kritis, sedangkan dari sisi pemerintah, mereka harus berpikir bahwa penting untuk meninggalkan legacy terbaik bagi sistem politik di Indonesia, yakni kestabilan demokrasi.

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.