Jumat, April 19, 2024

Etos Aktivisme Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Ode Rizki Prabtama
Ode Rizki Prabtama
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya, Peneliti di Center of Research in Education for Liberation (CREATION). Alumni Young Leader Peace Camp 2018.

Barangkali pembaca merasa asing dengan frasa “etos aktivisme” karena jarang digunakan dalam literatur-literatur kontemporer. Namun saya akan menggunakannya untuk menjabarkan keadaan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sekarang ini.

Dalam banyak definisi etos adalah nilai dasar yang mendorong praktek/aktifitas sebuah organisasi. Mengutip Franz Magnis Suseno, dalam Manifesto Gerakan Intelektual Proferik karya A.H Sani, etos berarti semangat dan sikap batin seseorang atau kelompok yang didalamnya termuat tekanan dan nilai moral tertentu.

Sedangkan aktivisme diartikan sebagai konstruk pemahaman para aktivis dalam melakukan kegiatan-kegiatan atau dalam bahasa lain, praksis gerakan. Etos aktivisme saya artikan sebagai pembicaraan tentang nilai dasar dan paham praksis IMM. Aktivisme IMM haruslah memiliki etos yang tinggi. Karena jika tidak, organisasi ini tidak memiliki arti apa-apa.

Tak bisa dipungkiri, kehadiran IMM merupakan suatu keharusan sejarah yang didorong oleh dua faktor; internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan Muhammadiyah sebagai organisasi induk yang memandang perlunya pola perkaderan (pembinaan ideologi) dan gerakan syiar dakwah di kalangan mahasiswa. Sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan kondisi kebangsaan; realiatas sosial dan politik tahun 60an yang pada saat itu penuh gejolak.

Hal ini tentu menegaskan, aktivisme IMM tidak terlepas dari nilai dan semangat Muhammadiyah berdasar pada spirit keimanan, keilmuan, dan kemasyarakatan yang tinggi. Sebagaimana termaktub dalam maksud dan tujuan Muhammadiyah yakni, “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

Demikian diteruskan menjadi tujuan IMM itu sendiri yakni, “mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berahlak mulia dalam rangkan mencapai tujuan muhammadiyah”. Dalam rangka menacapai tujuan tersebut, IMM selalu berupa untuk menjadi aktivis mahasiswa islam yang memegang nilai-nilai profetik. Dimana, konsepsi ilahiah dapat dimanifestakan menjadi pransforasi sosial.

Selain itu, semangat kebangsaan dan keindonesiaan menjadi bagian tak kalah penting dalam kehidapan Ikatan. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang notabenenya adalah kaum intelektual, IMM memiliki sandangan tanggung jawab sebagai pembaharu di masa depan. Posisi mahasiswa selaku generasi yang berada di tengah antara masyarakat dan pemerintah, turut menegaskan IMM sebagai bagian dari pengawal kehiduapan sosial yang berkeadilan dan berkeadaban.

Nilai keislaman dan kebangsaan itulah yang menjadi etos aktivisme organisasi otonom Muhammadiyah ini. Demikian dikuatkan dalam deklarasasi 5 Mei 1965, poin satu mengutarakan “IMM adalah Gerakan Mahasiswa Islam” dan poin 4 “ilmu adalah amaliyah IMM dan amala dalah ilmiah IMM” juga dalam salah satu nilai dasar IMM menegaskan bahwa, “segala bentuk ketidak-adilan, kesewenang-wenangan, dan kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM, perlawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM”.

Problematika Etos Aktivisme IMM

Kehidupan organisasi kemahasiswaan di Indonesia dewasa ini termasuk IMM perlahan mengalami pergeseran. Entah bergeser ke hal yang lebih baik atau sebaliknya, hal itu tampak tidak jelas. Namun sebagai seorang kader Ikatan, upaya evaluasi dan pembacaan internal dengan melihat realitas yang kongkrit haruslah dapat dilakukan.

Secara kritis aktivisme IMM saat ini mengalami degradasi etos. Ada tiga ciri aktivisme IMM yakni, gerakan, intelektual, dan perkaderan. Tiga hal inilah yang menjadi simbol hidupnya IMM. Tiga hal ini pula yang menjadi kunci dari identitas sebuah organisasi kemahasiswaan. Apabila ketiganya kehilangan etos, maka nilai dari organisasi pun akan hilang.

Pertama, pada era sebelum reformasi, mahasiswa identik dengan gerakan kritik pemerintah sehingga dapat melahirkan sejarah-sejarah besar seperti, tragedi 1965 hingga 1998. Hal itu terjadi karena memang semangat perlawanan mahasiswa benar-benar dipupuk dengan melakukan kajian dan analisa strategis terhadap kondisi bangsa. Pergerakan mahasiswa pada saat itu dilandasi atas komitmen dan kematangan kajian yang kuat. Sehingga gerakan benar-benar bisa masif. IMM pun menjadi salah satu bagian dari sejarah-sejarah itu.

Namun, dewasa ini aktivisme IMM di wilayah gerkan dapat dikatakan loyo, jika tak mau dikata telah  mati. Bagaimana tidak, sepanjang pengalaman penulis sejak 2014 hingga sekarang tidak ada satu pun gerakan yang dapat dikatakan masif (konsisten) untuk melawan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Walau ada beberapa gerakan, namun itu dapat dibuktikan hanya ritualitas aksi dan eksistensi semata. Padahal, kalua mau dikupas, hari ini banyak persoalani kebangsaan yang urgent untuk dikritisi. Alhasil, peran mahasiswa sering dianggap tidak ada oleh masyarakat.

Kedua, persoalan intelektual kader-kader IMM menjadi getir dan  kehilangan etos. Aktivis pada masa orde baru aktif melakukan pengayaan-pengayaan wawasan akademik lewat membaca, menulis dan diskusi (literasi). Hal ini berbeda dengan aktivis mahasiswa saat ini, reformasi melahirkan demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap individu namun soal kualitas mengalami degradasi yang mencemaskan.

Pasca reformasi para aktivis lebih banyak berbicara tentang politik daripada pengayaan intelektual. Tema-tema jabatan dalam kontestasi Pileg, Pilbub, Pilgub, hingga Pilpres menjadi santapan setiap hari. Sialnya, proyek-proyek politik penguasa menjadi mainan aktivis mahasiswa sekarang. Hal itu bukan tidak baik. Namun dampaknya dapat mamatikan nalar kritis kaum intelektual. Cukup mudah untuk menentukan tolok ukur intektual para aktivis; berapa banyak yang sering mambaca buku? Berapa banyak yang gemar manulis? dan berapa banyak yang senang berdiskusi?

Ketiga, perkaderan ibarat jiwa, ruh, dan nadi organisasi. Namun disayangkan, pengurus dalam IMM tidak cukup cakap dalam menjalankan perkaderan. Sehingga ribuan kader yang masuk dalam IMM minim mendapatkan transformasi ideologi, penguatan wawasan dan kecintaaan pada IMM. karena, kehidupan IMM ditentukan oleh transforrmasi-tranformasi yang ada di organisasi tersebut.

Bagaimana tidak terjadi kepincangan dalam jalannya perkaderan, apabila para stack holder dalam organisasi tidak memiliki kapasitas yang baik. Para pengurus otomatis akan gagap mengkader anggotanya jika tidak memiliki kematangan wawasan di setiap tingkatanya. Juga mustahil untuk melakukan gerakan advokasi dan kritik pemerintah tatkala mereka sendiri jarang berpraktek.

Merosotnya etos gerakan, degradasi intelektual, dan melemahnya perkaderan adalah sebuah kecacatan yang berujung pada matinya vitalitas IMM. Oleh karena itu, nilai-nilai keislaman dan kebangsaan harus dikembalikan dalam kehidupan IMM. Kedua hal itu harus menjadi etos aktivisme IMM, sehingga nilai transformasi islam menjadi nyata dalam menjawab persoalan kemanusiaan.

Upaya logis yang bisa dilakukan para aktivis, khususnya IMM ialah penguatan budaya literasi; baca, tulis, diskusi, serta praksis gerakan karena sesungguhnya demikian itu merupakan identitas kaum intelektual dalam rangka melakukan purubahan-perubahan menuju kehidupan yang baldatun tayyinbatun warabbun gofur.

Ode Rizki Prabtama
Ode Rizki Prabtama
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya, Peneliti di Center of Research in Education for Liberation (CREATION). Alumni Young Leader Peace Camp 2018.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.