Kamis, Maret 28, 2024

Elegi Timnas dan Teriakan ‘Edy Out’

Sarani Pitor Pakan
Sarani Pitor Pakan
Dosen SV UGM

Dari tribun atas SUGBK, saya berkali-kali menggeleng kepala. Terlebih setelah Timor Leste mencetak gol lebih dulu. Keterlaluan.

Di tribun away Singapore National Stadium, empat hari sebelumnya, saya juga kehabisan kata-kata. Timnas bermain tanpa arah. “Seperti ayam tanpa kepala,” mengutip sebuah komentar di posting Facebook PSSI, beberapa saat setelah laga berakhir.

Benar bahwa akhirnya timnas Indonesia menang 3-1 atas Timor Leste. Tapi harusnya hasil itu tak menafikan fakta bahwa pemain-pemain di lapangan itu sudah (atau sempat) mengecewakan belasan ribu orang yang datang ke Senayan, dan berjuta-juta lain yang menikmati melalui layar televisi. Di hadapan Timor Leste yang baru saja dipukul 0-7 oleh Thailand, Indonesia jelas tampil grasak-grusuk. “Panikan,” kata teman, lewat sebuah pesan WhatsApp.

Di tribun SUGBK, saat timnas sepakbola senior bertanding, kekecewaan sudah jadi hal biasa. Termasuk malam itu, 13 November 2018. Suporter tak lupa bahwa yang dilawan adalah Timor Leste, maka 3-1 harusnya tidaklah cukup. Terlebih, dari segi permainan, tak ada perubahan signifikan yang ditunjukkan anak asuh Bima Sakti.

Lalu, munculah teriakan itu. “Edy out, Edy out, Edy out!” bergema seantero stadion.

Edy keluar, cukupkah?

Ritus meneriakkan nama ketua umum PSSI, seraya menyuruh beliau keluar dari jabatan itu, bukan hal baru di SUGBK. Dulu di masa kepemimpinan Nurdin Halid, teriakan ‘Nurdin turun’ adalah chant langganan saat tim nasional bertanding. Saat itu, Nurdin dipenjara karena kasus korupsi, namun masih duduk santai di kursi Ketum PSSI.

Urusan Edy Rahmayadi lain. Persoalan pokok yang membuat suporter geram adalah rangkap jabatan. Selain menjadi ketua umum PSSI, saat ini ia juga menduduki posisi gubernur Sumatera Utara. “Maruk jabatan lo, Edy!” teriak seorang suporter, persis di depan saya.

Yang membuat saya termangu adalah: cukupkah bila Edy benar-benar keluar, seperti yang diteriakkan para suporter di SUGBK? Apakah itu akan menyelesaikan persoalan? Apakah ‘Edy out’ sanggup memperbaiki nama PSSI yang kadung rusak? Apakah perginya Edy dari kantor PSSI akan membuat sepak bola kita jadi lebih bermartabat?

Nurdin Halid pada akhirnya turun. Dan keadaan tak berubah. Setelahnya, ada nama Djohar Arifin dan La Nyalla Mattalitti. Mereka juga tak lepas dari olok-olok kekecewaan suporter. Keduanya akhirnya lengser juga. Tapi, PSSI masih gitu-gitu aja. Sekarang giliran Edy yang diteriaki. Saya sih tak yakin keluarnya Edy akan memberi kebaruan di tubuh PSSI.

Jadi, saya membaca teriakan ‘Edy out’ hanya sebatas wujud frustrasi atas sepak bola kita yang carut marut. Terlepas bahwa Edy memang sebaiknya mundur, ia cuma kambing hitam dari kegagalan sepak bola nasional. Tak perlu diulang-ulang fakta bahwa Indonesia belum juara di level ASEAN, atau buruknya tata kelola liga (satu-satunya liga yang berjalan ketika tim nasional bertanding, menurut ciutan Fox Sports Asia), atau maraknya rangkap jabatan di klub dan federasi.

Edy, juga para pendahulunya, tak lebih dari samsak yang dipukul-pukul ketika seseorang sedang kesal. Ia dituding bertanggung jawab. Benar memang. Tapi harusnya bukan cuma Edy sebagai individu. Kita harus bisa lihat gambaran besarnya dan mendapati bahwa ‘persatuan’ bernama PSSI sudah tak beres. Siapa pun yang masuk ke sana sebagai ketua umum hanya akan mendapati sisa-sisa kotoran di kursi yang didudukinya.

Siapa yang bertanggung jawab atas kotoran itu? Itulah persoalan yang harus diusut. “Pengalaman buruk terhadap PSSI masih sangat kental, image yang dulu belum terhapus,” ujar Najwa Shihab kepada Sekjen PSSI, Ratu Tisha, di program Catatan Najwa. Mungkin Najwa benar, kita sebenarnya berhadapan dengan hantu dari masa lalu.

Persepsi awam sudah terlanjur negatif terhadap kebobrokan PSSI yang menahun. Dan harapan perlahan meredup. Terlebih ketika ‘hantu-hantu masa lalu’ itu masih berdiam di kantor PSSI yang sekarang. Ketika harapan padam, dan hantu-hantu sialan itu tak kunjung pergi, kita cuma bisa termangu dan sesekali mengutuki Edy Rahmayadi yang malang.

Lalu, apa urusan kita?

Sebenarnya, kita tak perlu peduli dengan berapa pun jumlah jabatan yang dimiliki Edy. Juga tak harus iri padanya. Dan kita tak punya urusan apa-apa dengan beliau secara pribadi. Urusan kita, setidaknya pada bulan-bulan ini, adalah tim nasional.

Di toilet, di Singapore National Stadium, setelah laga usai, seorang suporter timnas menyesali Bima Sakti. Mungkin ia tak kesal pada Bima. Ia hanya kasihan. Bima harusnya tak hadir di Piala AFF 2018 sebagai pelatih kepala. Harusnya Luis Milla. Toh, kita semua tahu apa yang terjadi. Gosipnya gaji pelatih Spanyol itu ditunggak, sehingga enggan kembali ke Indonesia. Gosip tersebut ditampik PSSI. Apapun kebenarannya, yang jelas Milla tak ada hari ini. Dan fakta itu yang kita pegang.

Apakah Milla akan membuat timnas bermain lebih baik di Singapore dan Jakarta? Belum pasti. Satu-satunya yang pasti adalah PSSI tidak becus mempersiapkan tim nasional untuk Piala AFF 2018. Klasik. Persiapan yang minim, aturan maksimal tiga pemain per klub, gonjang-ganjing kursi pelatih, dan liga yang masih bergulir hanyalah beberapa poin yang kentara di permukaan.

Di laga kontra Singapura, salah satu spanduk suporter timnas Indonesia berbunyi: “Tidak malukah kalian dengan prestasi juniormu?” Mungkin pemain-pemain itu malu. Evan Dimas, yang pernah berjaya di level U-19, malu. Stefano Lilipaly malu. Andritany malu. Juga yang lain. Sayangnya, federasi seperti tak punya malu. Selamanya ya seperti ini.

Jadi, kita nikmati saja elegi Piala AFF tahun ini.

Sarani Pitor Pakan
Sarani Pitor Pakan
Dosen SV UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.