Senin, Oktober 14, 2024

Diskursus Masyarakat Sipil dan Isu Kekerasan Seksual

Krisnaldo Triguswinri
Krisnaldo Triguswinri
Akademisi & Peneliti

Gerakan Perempuan Anti Kekerasan menjadi proponen primer perjuangan demi dihasilkannya Permen PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) guna merespon kekosongan peraturan dalam menangani dan mencegah kasus pelecehan dan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Ketiadaan payung hukum tersebut, diasumsikan sebagai titik berangkat terjadinya beribu kasus pelecehan dan kekerasan yang tidak dapat terproteksi di dalam perguruan tinggi.

Menurut OHCHR, organisasi masyarakat sipil merupakan aktor penting yang bekerja pada tingkat komunitas. Ketika negara gagal memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, organisasi masyarakat sipil berperan membantu mengisi kekosongan tersebut dengan memberikan bantuan medis, psikologis, dan bantuan hukum.

Bahkan OHCHR menyebutkan bahwa ketika negara memiliki kapasitas dan kemauan politik sekalipun, para korban lebih mempercayai organisasi masyarakat sipil. Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil yang bekerja langsung dengan korban kekerasan seksual, memiliki banyak pengetahuan dan informasi mengenai tantangan dan kebutuhan dalam penanganan korban kekerasan seksual.

Namun begitu, terdapat dikotomi antara faktor internal dan eksternal di dalam relasi masyarakat sipil dan aparatur negara yang, misalnya, disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan, perbedaan obyektifitas, keragamaan spektrum ideologi, serta perbedaan kepentingan-kepentingan.

Hal-hal tersebut acapkali berimplikasi pada terciptanya jurang yang tidak dapat menjembatani aspirasi universal masyarakat, sehingga berakibat pada fenomena “ada yang pro” dan “ada yang kontra”. atau “mayoritas” vs “minoritas”. Hal tesebut dapat kita temui dalam realitas diimplementasikannya Permen PPKS, yaitu, terdapat konflik kepentingan di antara lembaga-lembaga serta pertarungan diskursif di dalam ruang publik antara masyarakat yang mendorong Permen tersebut serta masyarakat yang menghendaki Permen tersebut segera dibatalkan.

Secara kontroversial penolakan terhadap Permen tersebut datang dari pelbagai kalangan seperti MOI atau Majelis Ormas Islam, Wakil Ketua Komisi X Fraksi Golkar, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Fahmy Alaydroes dan banyak lagi. Kalangan tersebut berpresepsi bahwa Permendikbud ini melegalkan “zina”, sebab penggunaan frasa “persetujuan” dalam peraturan ini diartikan sebagai bentuk pelegalan zina.

Dengan kata lain, Permen PPKS tersebut diartikulasi sebagai sesuatu yang mengandung paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang tidak didasarkan pada norma agama. Sehingga, selama tidak ada pemaksaan, berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktifitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.

Narasi utama yang menjadi pokok penolakan pelbagai kalangan di atas terletak pada penggunaan terminologi consent atau persetujuan dalam Permen PPKS. Padahal, di dalam Permen PPKS, terminologi consent digunakan dalam konteks memperjelas perbuatan yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Menurut sebuah organisasi anti kekerasan di Amerika Serikat, Rape, Abuse & Incest National Network, consent adalah persetujuan yang diberikan antar pihak dalam suatu aktivitas, termasuk dalam interaksi seksual.

Di dalam consent laws, persetujuan harus diberikan tanpa tekanan, manipulasi, ataupun pengaruh dari alkohol atau obat-obatan terlarang. Sifatnya pun bisa ditarik, apabila salah satu pihak merasa tidak nyaman, berubah pikiran di tengah jalan, atau jika ternyata pihak lain melakukan tindakan yang berada di luar kesepakatan awal). Jika ada salah satu pihak yang melanggar syarat-syarat tersebut, maka hubungan seksual yang dilakukan dianggap non-konsensual. Dan hal tersebut tidak hanya berorientasi pada sesuatu yang bernuansa seksual semata.

Argumen lain yang diberikan untuk mengkritisi konsep consent ini adalah “tidak sesuai dengan norma sosial dan nilai-nilai agama di Indonesia.” Jika kita melihat kembali definisi konsen, maka sesungguhnya konsep tersebut memberikan kebebasan bagi individu untuk memilih melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual dengan orang lain.

Selain itu, dalam hukum positif Indonesia, tidak ada pasal yang bisa menghukum aktivitas seksual yang dilakukan oleh dua orang dewasa yang memiliki consent, kecuali jika salah satu dari pihak tersebut memiliki ikatan perkawinan (berdasarkan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP). Jadi sebenarnya Permen PPKS ini tidak “melegalkan” aktivitas seksual, karena sebelumnya hukum Indonesia memang tidak pernah masuk ke ranah tersebut.

Hal tersebut segera diperjelas oleh Nadim Makarin: “Permen PPKS ini hanya berfokus pada pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual, sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam Permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan seksual. Permen PPKS ini adalah jawaban atas kegelisahan sejumlah organisasi dan mahasiswa atas tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus namun tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemimpin perguruan tinggi”. Bila merujuk naskah secara tekstual, maka tidak ada satu redaksi pun yang menunjukkan bahwa Permen PPKS ini berupaya melegalkan zina atau seks bebas. Namun demikian, perbedaan intepretasi bisa saja berbelok, tugas pemerintah adalah meluruskannya.

Selain itu, Mentri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, merespon baik Permen PPKS dan menyatakan bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, untuk melegitimasi Permen PPKS, Menag mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negri (PTKN). Seperti Kementrian Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ikut serta mendukung dan mendorong pelaksanaan Permen PPKS tersebut.

Selain itu, lembaga negara seperti Komnas Perempuan dan Komnas HAM justeru melakukan langkah yang lebih persuasif, yaitu, mengajak semua pihak untuk mengawal dan memastikan bahwa Permen PPKS ini dilaksanakan dan mencapai tujuannya serta akan menjadi garda terdepan untuk menjaga kebijakan tersebut. Gema serupa disuarakan oleh Jaringan Gusduria yang memberikan dukungan terhadap Permen PPKS dengan menyatakan: “korban kekerasan seksual di kampus selama ini diabaikan. Keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan perwujudan dari nilai-nilai agama, Pancasila, dan konstitusi UUD 1945”.

Krisnaldo Triguswinri
Krisnaldo Triguswinri
Akademisi & Peneliti
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.