Kamis, April 25, 2024

Dikotomi Kekerasan Seksual dan Penyelesaian Habermasian

Krisnaldo Triguswinri
Krisnaldo Triguswinri
Akademisi & Peneliti

Perdebatan pro dan kontra terhadap produk Permen PPKS yang dibasiskan pada argumen-argumen kultural agama yang berlangsung dalam ruang publik, didefinisikan oleh Habermas sebagai suatu normalitas. Habermas mengatakan bahwa ruang publik sebagai arena di mana argumentasi terjadi, tidak dapat diklaim sebagai teritori oleh suatu tradisi apapun.

Sebaliknya, ruang publik harus bisa menajdi locus penyatuan yang dapat mendamaikan konflik-konflik, klaim-klaim yang bersaing, dan perbedaan-perbedaan yang tak dapat diselesaikan. Bahkan diharapkan, dengan menjadi arena diskursif, ruang publik berfungsi melindungi pluralisme budaya, kelompok-kelompok sosial, dan terutama ia berguna untuk memobilisasi komunikasi di antara para warga yang berbeda pandangan dunia (keyakinan) sehingga tercipta saling pengertian dan saling belajar di antara mereka (Menoh, 2015; 88).

Diskursus ruang publik dan keadilan deliberatif sebagai basis berdirinya negara hukum demokratis, harus berorientasi pada argumentasi-argumentasi rasional yang dapat menggambarkan fenomena pelecehan dan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi sebagai sesuatu yang medesak, darurat, serta konkrit dan segera setelah membutuhkan payung hukum untuk mencegah dan mengaturnya.

Kenadati alasan-alasan agama dominan di dalam penolakan terhadap Permen PPKS tersebut – karena masih terdapat intepretasi yang beragam – negara tetap harus menerima aspirasi kelompok kontra sebagai materi deliberasi dan setelahnya meluruskan maksud pemerintah dalam menerbitkan Permen PPKS tersebut agar intepretasi tidak berlanjut.

Hal tersebut harus dilakukan sebagai solusi untuk mewujudkan keadilan di antara para warganegara dalam proses deliberasi. Namun demikian, opini publik adalah opini yang banyak diungkapkan oleh masyarakat sekaligus yang banyak diterima oleh masyarakat sendiri (Habermas, 2012; 343).

Ruang publik serta instrumen pendukungnya, keadilan deliberatif, harus menjadi basis diskursif demi dihasilkannya kebijakan publik yang aplikatif. Selain itu, keadilan deliberatif mengandaikan implementasi kebijakan yang tidak sekadar berorientasi pada pemenuhan aspirasi mayoritas, namun juga meletakkan kepentingan minoritas dan kelompok rentan sebagai objek penyusunan kebijakan.

Oleh karenanya, penyintas kekerasan seksual, dalam pengertianya yang literal dan figuratif, dapat dikategorikan sebagai minoritas dan kelompok rentan yang secara otoritatif lemah dan tidak terproteksi. Maka dari itu, merujuk pada beasarnya kuantitas pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi – secara umum di Indonesia dan secara khusus di dalam perguruan tinggi di Indonesia – dibutuhkan produk kebijakan yang dapat mencegah dan dapat melindungi mereka yang menjadi penyintas kekerasan seksual. Secara formal Permen PPKS adalah jawabannya.

Model diskursus ruang publik berbeda dengan model partisipasi yang sejauh dan selama ini dikenal dalam tradisi demokrasi Indonesia. Bila partisipasi menjadi diskursus antara masyarakat dan negara. Maka model deliberasi, bagi Habermas (Hardiman. 2009; 165) adalah demokrasi yang tidak boleh mengabaikan atau membungkam potensi kebenaran argumentasi yang berasal dari kelompok-kelompok minoritas, karena prosedur demokrasi memiliki kekuatan legitimasinya bukan hanya lewat inklusivitasnya, melainkan juga lewat ‘ciri deliberatif’nya.

Di dalam banyak studi, diskursus ruang publik tersebut, didefinisikan sebagai pluralisme dan pengakuan terhadap semua varian demokrasi (Faishal, 2007; Muzaqqi, 2013; Sari, 2013; Widayati, 2019; Mubarok, 2020).

Permen PPKS datang dari proses diskursif yang dihasilkan dari bawah (bottomup). Artinya, kebijakan tersebut benar-benar berangkat dari aspirasinya yang datang dari laporan mereka yang menjadi korban kekerasan seksual, hasil advokasi empiris masyarakat sipil, dan suara universitas. 

Bagi Habermas (2012; 329) lembaga-lembaga konstitusional di banyak negara-kesejahteraan yang demokratis membutuhkan opini publik secara menyeluruh karena opini publik masih merupakan satu-satunya basis yang bisa diterima bagi legitimasi dominasi politis; negara modern menjadikan kedaulatan rakyat sebagai prinsip pembenarannya, yang pada gilirannya mengusung opini publik. Tanpa atribut ini, tanpa substansi opini publik sebagai asal usul semua otoritas bagi putusan-putusan yang mengikat secara keseluruhan ini, demokrasi modern kehilangan substansi kebenarannya.

Krisnaldo Triguswinri
Krisnaldo Triguswinri
Akademisi & Peneliti
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.