Minggu, Mei 5, 2024

Disabilitas dan Pemilu

Fahmi Karim
Fahmi Karim
Mitra Bakti di Dewan Pengurus Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia Provinsi Sulawesi Utara

Kalau kita merujuk ke Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), dalam poin (e) disabilitas diartikan sebagai “hasil dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap serta lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya”. Di poin (h) dijelaskan lagi “mengakui juga bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang”. Kesepakatan ini telah diratifikasi di Indonesia tahun 2011 melalui UU No. 19 Tahun 2011 dan diterbitkannya UU No. 8 Tahun 2016.

Diskriminasi memiliki banyak macam, bisa berupa terhambatnya seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu. Disabilitas tidak hanya soal gangguan tubuh seseorang, namun mesti dipahami hubungannya dengan dunia sosial atau tatanan infrastruktur yang tersedia. Kadang-kadang, atau kebanyakan, infrastruktur yang ada tidak bisa diakses oleh Penyandang Disabilitas. Diskriminasi diterima oleh Penyandang Disabilitas karena akses infrastruktur yang disediakan tidak disesuaikan dengan kemampuan Penyandang Disabilitas untuk merealisasikan diri dan haknya, artinya akses yang tersedia sekarang sebenarnya tidak setara. Di situ diskriminasi menyelinap secara diam-diam sebagai suatu ketidakadilan.

Dalam UU No. 8 Tahun 2016 telah diatur mengenai aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Pasal 1 ayat (8) menjelaskan “aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan”. Selanjutnya ayat (9) “akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan”. Aturan ini telah lama dibuat, turunannya pun sudah banyak. Misalnya standar yang mesti dipenuhi untuk membangun gedung, dll. Memang kendalanya adalah implementasi. Tapi, bukankan itu melanggar hukum?

Kesetaraan di hadapan hukum tidak berarti semua orang harus mendapatkan aturan yang sama tanpa melihat kondisi objektif dari masing-masing orang. Yang perlu dijamin oleh UU adalah kesamaan kesempatan semua orang berangkat dari kemampuan yang berbeda-beda, misalnya kesamaan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas dalam Pemilihan Umum (Pemilu).

Saat musim Pemilu, sebagai warga negara yang ingin berpartisipasi dalam perubahan ke depan, Penyandang Disabilitas punya hak untuk difasilitasi guna merealisasikan diri dalam politik elektoral. Fasilitasi ini selain telah dijamin oleh UU, dalam hal Penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengaturnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 9 Tahun 2022 pasal 4 huruf (e) “memberikan kemudahan bagi kelompok rentan dan Penyandang Disabilitas guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam Pemilu dan Pemilihan”. PKPU No. 10 Tahun 2018 pasal 17 juga diatur mengenai upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam huruf (c) “memberikan kesempatan yang setara kepada setiap orang/pihak untuk berpartisipasi penuh”.

Beberapa kali saya bicara banyak soal isu Pemilu dengan Penyandang Disabilitas, kebanyakan yang dikeluhkan adalah akses informasi, soal pendataan, aksesibilitas, dukungan masyarakat, atau urusan saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Misalnya akses informasi mengenai Pemilu. Meski telah diatur melalui UU No. 7 Tahun 2017 pasal 14, yaitu KPU berkewajiban “menyampaikan semua informasi Penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat”, tapi apa benar informasi ini telah sampai ke semua ragam Penyandang Disabilitas? Dalam proses penyampaian informasi, apa betul telah memenuhi standar bagi Penyandang Disabilitas, misalnya disediakannya Juru Bahasa Isyarat (JBI) bagi tunarungu/tuli dan tunawicara? Di wilayah yang ada disabilitas sensorik apa telah diatur mengenai penyediaan JBI di TPS yang berkaitan?

Penyandang disabilitas fisik dengan keragamannya juga mengalami keraguan untuk ikut mencoblos ke TPS. Mulai dari akses ke tempat TPS sampai metode untuk mencoblos. Apakah menggunakan kursi roda, menggunakan tongkat, mencoblos berdiri, atau dengan cara apa. Dan perlu dicatat, ada banyak keragaman disabilitas fisik.

Dalam UU No. 7 Tahun 2017 pasal 2 “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil”. Demi menjaga kerahasiaan, baiknya siapa yang kita coblos di bilik suara hanya kita pula yang tahu – sekali lagi untuk menjaga kerahasiaan. Kenapa mesti kita yang mencoblos sendiri? Agar kita yakin kita memilih sendiri, tidak boleh diwakilkan.

Model pemungutan suara yang telah lalu-lalu suara tunanetra diwakili, kalau bukan oleh keluarga yang ditunjuk, bisa melalui KPPS. Ini diatur dalam PKPU No. 8 Tahun 2018 pasal 40 “Pemilih Penyandang Disabilitas dapat dibantu oleh pendamping yang berasal bisa dari anggota KPPS atau orang lain atas permintaan Pemilih yang bersangkutan”. Dalam poin selanjutnya dijelaskan “Pemilih tunanetra sebagaimana dimaksud dalam pemberian suara dapat menggunakan alat bantu tunanetra”.

Dalam pasal 41 dijelaskan pendamping wajib merahasiakan pilihan Pemilih. Namun, bagaimana mau rahasia sementara Pendamping dan Pemilih harus disaksikan oleh KPPS? Pilihan tunanetra diketahui oleh dua orang. Artinya tidak ada asas rahasia lagi. Asas kerahasiaan dibatalkan oleh pendamping dan saksi KPPS. Padahal dalam poin sebelumnya telah dijelaskan “alat bantu tunanetra”.

Pernah sekali waktu diadakan sosialisasi Pemilu untuk Penyandang Disabilitas (meski yang hadir hanyalah tunanetra) yang dibuat oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Minahasa Utara. Saat sesi diskusi, peserta tunanetra memberikan pernyataan yang tegas, “Jangankan KPPS, istri saja tidak bisa saya percaya jika suara saya diwakilkan olehnya untuk mencoblos. Jelas ini melanggar kerahasiaan,” kata seorang tunanetra sebagai peserta sosialisasi. Solusinya mesti disediakan kertas suara braille. Inilah yang dimaksud dengan penyesuaian dalam UU 8/2016.

Dalam PKPU No. 14 Tahun 2013 telah diatur kemudahan akses bagi penyandang disabilitas di saat pemungutan suara, dalam pasal 13 dijelaskan, “TPS/TPSLN harus memberikan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas”. Dalam Paragraf 13 Alat Bantu Tunanetra pasal 26 dikatakan bahwa alat bantu tunanetra yang dimaksud bertuliskan huruf braille atau bentuk lainnya yang akan membantu Pemilih tunanetra pada saat pemungutan suara. Aturan ini jelas untuk menjamin kerahasiaan pilihan Pemilih dan kesetaraan akses bagi semua orang.

Partisipasi aktif dari Penyandang Disabilitas dibutuhkan untuk menciptakan iklim sosial kebijakan yang lebih adil. Sebagai kelompok yang paling rentan, partisipasi dibutuhkan untuk mendengar kesulitan apa yang betul-betul dirasakan oleh Penyandang Disabilitas berdasarkan keragaman dan kondisi sosial masing-masing wilayah yang berbeda-beda. Ini bisa dimulai dari model pendataan yang lebih lengkap, akses informasi yang lebih inklusif, serta belajar mendengar kesulitan langsung dari orang yang mengalami kesulitan. Kemudian dilibatkan secara aktif.

Ini hanyalah sepenggal masalah dari ragam masalah Penyandang Disabilitas. Tidak mewakili secara keseluruhan.

Fahmi Karim
Fahmi Karim
Mitra Bakti di Dewan Pengurus Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.