Jumat, Mei 3, 2024

Dinamika Politik Identitas

Vega Bahari
Vega Bahari
mahasiswa S1 jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia

Demokrasi merupakan sistem yang memberikan kebebasan bagi masyarakatnya untuk mengutarakan pendapat dan aspirasi. Sistem ini berdiri akibat dari adanya pembatasan kebebasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya, sehingga menyebabkan terjadinya gerakan dari rakyat yang ingin menggulingkan kekuasaan yang otoriter.

Di Indonesia, demokrasi sudah menjadi sistem dasar kenegaraan. Rakyat bebas menyatakan aspirasi dan pendapatnya lewat berbagai cara dan prosedur yang telah diberlakukan. Namun semenjak pasca reformasi dan semakin berkembangnya zaman ditambah dengan masuknya era globalisasi, sifat demokrasi di Indonesia menjadi semakin bebas dan seperti tidak mengenal batasan.

Demokrasi yang awalnya dibentuk untuk memberikan keluasan bagi masyarakat untuk berbicara, dibuat sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan politik lain dengan cara yang kurang berkualitas.

Pasalnya, dengan politik identitas ada pihak lain yang yang dikorbankan, agar rencana dari pelaku politik identitas dapat berjalan. Hal tersebut merupakan simbiosis parasitisme yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Mereka yang melakukan politik identitas tersebut, juga terlahir dari sistem demokrasi yang terlalu bebas dan kurang bermoral.

Perkembangan Politik Identitas

Politik identitas awalnya memiliki tujuan yang baik, yaitu menyuarakan pendapat dan hak dari suatu golongan yang tertindas. Seperti contoh kejadian yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950 – 1960, yang dikenal dengan gerakan hak sipil Amerika Serikat. Gerakan yang melibatkan ras kulit hitam yang mengalami penindasan dari ras kulit putih.

Peristiwa lain seperti gerakan kemerdekaan Indonesia dalam melawan penjajah, juga termasuk dalam politik identitas. Karena Indonesia ingin menunjukan jati diri politik dan nasionalismenya terhadap kaum penjajah

Namun, semakin berkembangnya zaman dan teknologi informasi semakin maju. Adab dan moral penduduk nusantara terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran negara barat, yang lebih mengedepankan logika daripada adab dan tata krama. Serta kualitas pendidikan dari orang tua yang rendah, mengakibatkan generasi penerus bangsa tidak mempunyai sistem penyaringan informasi yang baik.

Maka tidak heran jika kita lihat anak-anak jaman sekarang dapat berbicara bebas dengan orang tuanya tanpa mengenal batasan, dengan dalih pendapat mereka lebih masuk akal daripada orang tuanya

Tidak hanya anak-anak, kaum remaja seperti mahasiswa juga menyuarakan kritik mereka terhadap pemerintahan dengan kalimat-kalimat yang tidak seharusnya patut untuk dibaca. Tetapi mereka tetap tetap melakukannya dengan dalih demokrasi.

Akhirnya kebiasaan seperti ini terus berkembang hingga mereka dewasa dan terjun ke dunia politik. Mereka yang pandai dalam menyuarakan pendapat, mulai mengubah manuver permainannya menjadi mempermainkan pendapat lewat aksinya, yaitu politik identitas

Seperti pada kasus partai persatuan pembangunan yang menggunakan politik identitas agama Islam. Mereka menggunakan gambar Ka’bah sebagai lambang dari partai mereka. Tujuan dari digunakannya gambar Ka’bah tersebut yaitu agar dapat banyak dukungan dari kaum muslim. Jika kaum muslim di Indonesia tidak mendukung partai yang berlambangkan Ka’bah tersebut maka iman mereka dipertanyakan.

Strategi politik yang seperti itu bukan hanya memperburuk citra partai, tapi juga mengotori nama agama Islam itu sendiri. Agama yang mempunyai tujuan untuk memperbaiki iman dan akhlak, malah digunakan sebagai senjata politik untuk mendapatkan banyak perhatian.

Kasus lain politik identitas yang menyangkutkan agama juga dialami oleh Ahok, yang pada saat itu statusnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok merendahkan ayat yang ada di dalam Al-Qur’an agar kaum non muslim di Indonesia bisa mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin.

Agama di Indonesia, memang menjadi target utama ketika ingin melakukan aksi politik identitas. Mengingat negara Indonesia hampir seluruh masyarakatnya mempunyai agama yang beragam. Banyak elite yang memanfaatkan peluang tersebut untuk memainkan permainan opininya.

Interpretasi Politik

Kata dari interpretasi dapat diartikan sebagai menghadirkan sesuatu. jika kita masukkan dalam ranah politik, maka ada suatu entitas yang di interpretasikan (dihadirkan). Dalam politik identitas, interpretasi politik menjadi suatu hal yang tidak dapat dilepaskan. Pasalnya calon pejabat yang sedang mengkampanyekan dirinya secara tidak langsung juga sedang memperjuangkan suatu pihak yang dia dukung

Kita dapat melihat pada peristiwa pilkada DKI, yang dimana ahok secara sadar atau tidak, merepresentasikan partai-partainya yang se-etnis dengannya. Begitu juga dengan Anis yang sama-sama merepresentasikan partai-partainya yang seagama dengannya.

Namun, pada Pilgub DKI 2019 pemilihan didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan SLTA sebanyak 40-45 persen dan perguruan tinggi sebanyak 20-25 persen. Sehingga pemilihan gubernur di dasarkan pada rasionalitas, bukan sekedar etnis dan agama saja. Pemilihan tersebut juga lebih memandang ke kualitas kinerja dari calon gubernur, yang mana para pemilih memang tidak mempedulikan lagi jenis etnis atau agama yang dimiliki oleh calon gubernur tersebut.

Selain interpretasi politik dengan menunjukkan jenis etnis atau agama dari calon gubernur, menunjukkan popularitas diri terhadap masyarakat juga dapat disebut dengan interpretasi politik.

Kita kembali dalam peristiwa Pilgub DKI 2019 yang dimana kepopuleran calon gubernur menjadi sorotan bagi publik. Pasalnya populernya suatu calon dapat mempengaruhi suara yang diperoleh. Kita daoat lihat pada suara Anies-Sandi mendapatkan nilai tertinggi dengan jumlah 3.240.987 suara dibandingkan dengan Ahok-Djarot yang hanya mendapatkan

Dapat disimpulkan bahwa kepopuleran juga termasuk dalam interpretasi politik. Pasalnya, menghadirkan kepopuleran dapat meningkatkan potensi terpilihnya calon gubernur pada saat itu. Menghadirkan kepopuleran juga menjadi suatu yang unggul dibandingkan menghadirkan jenis etnis atau agama, karena rakyat yang ada di daerah DKI Jakarta kebanyakan memiliki kualitas pendidikan yang cukup dalam menganalisis kinerja calon gubernur.

Kinerja yang unggul secara tidak langsung juga meningkatkan popularitas calon gubernur, ditambah dengan majunya teknologi informasi pada zaman ini.

Dalam dunia politik, para calon yang ingin menjabat di kursi pemerintahan tidak segan-segan menggunakan berbagai cara agar mendapatkan suara terbanyak. Berbagai cara seperti indentitas politik dan interpretasi politik menjadi cara yang paling banyak dilakukan.

Namun dua hal tersebut hanya memberikan efek di awalnya saja. Kinerja dan pemenuhan janji kampanye menjadi hal yang paling penting bagi calon pemerintah jika ingin masyarakat dan daerah menjadi masyarakat yang maju dan sejahtera

Vega Bahari
Vega Bahari
mahasiswa S1 jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.