Era sekarang dengan dulu rasanya jelas sekali perbedaannya. Dulu, orang tua kita atau bahkan nenek-nenek kita terdahulu atau tetangga lingkungan sekitar kita mengalami bahwa untuk menjadi seorang ibu rumah tangga rasanya tak harus mempunyai pendidikan tinggi. Bahkan semboyan yang sering kita dengar adalah menjadi perempuan itu tak harus sekolah tinggi-tinggi. Hanya anak lelaki saja yang diperbolehkan menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Nyatanya di era sekarang hal ini sudah tidak berlaku lagi. Bahwa kesadaran memiliki pendidikan tinggi itu kebutuhan bagi semua tidak hanya untuk laki-laki saja. Kemudian akhirnya kita menemui banyak sekali wanita yang menempuh jenjang strata 2 atau master atau bahkan hingga jenjang doktoral.
Entah nantinya berkarir atau tidak, mereka merasa bahwa hal ini penting. Kemudian setelah menikah beberapa memilih berkarir meski seorang ibu yang memiliki anak. Banyak hal yang menjadi pola pikir ini terbentuk dalam artian bahwa seorang ibu rasanya perlu berkarir karena mungkin tuntutan ekonomi ingin membantu perekonomian suami atau masuk pada lingkup sandwich generation. Hal ini menjadikan mereka tidak hanya mengeluarkan biaya untuk keluarga kecilnya saja. Tetapi untuk keluarga besarnya baik orang tua atau adek kakak atau yang lainnya. Sehingga sebenarnya banyak hal dapat menjadi penentu keputusan untuk seorang ibu berkarir atau tidak.
Memasuki poin inti yang menjadi pembahasan kita saat ini adalah pilihan seorang ibu yang tidak berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, tetapi tidak hanya itu yang menjadikan hal ini dilematis adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki pendidikan tinggi . Entah itu Strata 2 atau master atau bahkan hingga jenjang doktoral. Cibiran orang sekitar atau orang awam kebanyakan menjadi hal yang sangat tabu. Rasanya rugi sekali biaya, tenaga, waktu yang dicurahkan hingga memperoleh gelar yang tidak main-main. Apalagi berasal dari kampus yang memang bergengsi.
Edukasi seperti yang menjadi perlu untuk disampaikan. Bahwa ternyata memang seorang wanita itu entah nantinya akan berkarir atau tidak. Mereka harus berpendidikan tinggi. Ketika memutuskan tidak berkarir mereka tetap memiliki keluarga memiliki anak. Mendidik anak ini tidaklah main-main.
Tidak boleh sembarang orang karena ada ilmunya. Pernah mendengar mendidik seorang anak sama halnya dengan membentuk peradabadan. Peradaban ini hal besar, bukan hanya sekedar memberi makan saja hingga besar. Tetapi ada hak-hak anak yang harus diberikan. Banyak sekali, ada pertanggung jawaban kelak dihadapan Tuhan nantinya. Anak adalah amanah yang diberikan kepada para orang tua.
Selain ini, seseorang yang berumah tangga pun masalahnya tidak kalah rumit ketika berada di lingkungan pekerjaan. Makanya kita tahu ibadah terpanjang dan terlama itu adalah pernikahan. Pernikahan merupakan penyempurnaan setengah agama. Karena memang sesulit itu ujiannya, cobaannya.
Ujian yang berat, badai yang menempa diperlukan nahkoda yang handal dan teruji untuk mengarungi bahtera kehidupan ini. Ini lah nantinya yang membedakan seorang wanita yang memiliki pendidikan tinggi atau tidak. Ibu rumah tangga yang berpendidikan tinggi akan mampu melihat suatu hal lewat banyak sudut pandang tidak hanya satu saja. Selalu bisa memaklumi banyak hal untuk bisa menemukan sisi positif.
Jelas tidak mudah tertipu karena dia selalu menyaring informasi yang sampai didirinya dan banyak yang bisa dijadikan pertimbangan. Ketika menghadapi masalah lebih tegar, tidak mudah mengeluh dan jiwa optimisnya sangat tinggi. Karena memang dahulu tidak mudah, saat ia memperoleh gelarnya. Maka ia mulai terbiasa menghadapi ujian-ujian kecil yang menempa.
Ketika perekonomian rumah tangga goyah, mereka akan memutar otak. Meski tidak bekerja dalam suatu perusahaan atau company tertentu, mereka mampu membuka bisnis sendiri. Biasanya mereka punya usaha sendiri di rumahnya. Ini pun menjadi pembeda antara yang punya ilmunya atau tidak. Misalnya dulu ia bergelut di dunia manajemen, strategi maketing, atau mempelajari perilaku customer. Selalu ada strategi didalam bisnisnya dalam berjualan. Tidak asal saja seperti yang memang tidak punya teorinya. Pasti akan berbeda, hal ini akan menjadi pembeda.
Kita hidup bermasyarakat juga diperlukan hidup bersosialisasi baik dengan tetangga atau rekan-rekan sesama anaknya di sekolah yang sama. Apalagi anak rantau yang mungkin ikut suaminya sehingga berpindah-pindah di berbeda tempat. Itu berat sekali karena dituntut untuk beradaptasi. Nah, untuk ibu rumah tangga yang berpendidikan tinggi kebanyakan akan pandai bergaul atau memposisikan dengan siapa lawan bicaranya. Mereka bisa menarik ulur, tidak terlalu dekat atau akan memilih kepada siapa mereka akan dekat. Tanpa harus menyakiti orang lain. Mereka tahu momen yang tepat dalam hal memilah-milah pergaulan. Sehingga orang pun segan dan lebih menghormati.
Yang terungkap di atas ini kelebihan ibu rumah tangga berpendidikan tinggi yang bisa dipahami. Tetapi memang banyak sekali dilematis yang dirasakan. Bagaimana pandangan orang lain terlebih lagi pandangan orang tua sendiri. Yang perlu ditekankan supaya tak ada insecure adalah semua orang punya ujian hidup masing-masing. Setiap keputusan yang diambil selalu ada resikonya.
Ketika memilih menjadi ibu rumah tangga seutuhnya berarti anak-anak dalam pengawasan kita. Kita bisa mendidik dengan sepenuhnya. Akan kita akan dibentuk seperti apa, semua ada ditangan kita. Ketika kita pun memilih untuk berkarir jelas otomatis anak-anak diluar kendali kita yang mungkin memang bisa dalam hitungan jam sehari dengan kita.
Tetapi ada lingkungan luar yang juga menjadi andil bisa itu daycare atau ada asisten rumah tangga. Hal ini balik lagi segala prioritas pasti ada yang dikorbankan dalam hidup ini. Apapun itu yang menjadi keputusan kita semoga selalu ada hikmah baik yang besar di baliknya.