Di Indonesia ada suatu pekerjaan yang penuh dengan resiko dilema. Resiko dilema ini bukan hanya berhubungan dengan pendapatan, tapi juga berkaitan dengan proses bekerja dan kegiatan politik praktis. Pekerjaan yang saya maksud adalah pekerjaan menjadi seorang guru.
Dilema keuangan merupakan dilema pertama yang harus ditanggung oleh kaum guru. Bagaimana tidak, di satu sisi kaum guru diwajibkan bekerja profesional dengan mencurahkan seluruh energi untuk mendidik anak-anak, tapi di sisi lain pendapatan guru sering tidak memadahi untuk sekedar menyambung hidup. Hasilnya banyak guru yang bekerja ekstra untuk mencari pendapatan tambahan di luar jam sekolah.
Menjadi guru privat, mejual makanan ringan di kantin sekolah, membuka bengkel dan tambal ban di rumah, serta menjadi pengemudi ojek online adalah pekerjaan yang sering menjadi pilihan para guru dalam mencari tambahan pendapatan.
Selama pekerjaan itu halal, saya rasa, hal itu tidak jadi masalah. Masalahnya timbul ketika siswa-siswa di sekolah menjadi kurang menghormati kaum guru yang juga bekerja di luaran.
Dalam konteks perasaan menghormati, ada kecenderungan siswa-siswa dari kalangan menengah ke atas kurang respect dengan guru-guru yang mencari uang tambahan di luar jam sekolah. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya kasus pelecehan kaum guru oleh para siswanya. Bahkan sinetron atau FTV sering mendramatisasi pelecehan kaum guru ini dalam banyak adegannya. Efeknya adalah berkembangnya opini; guru bukan lagi pekerjaan terhormat di zaman ini.
Selain itu, kaum guru yang mempunyai pekerjaan tambahan di luar sekolah juga sering terlihat kelelahan saat memberikan pelajaran di kelas. Biaanya mereka hanya menggunakan sisa tenanganya untuk mendidik anak-anak di kelas. Tentu saja hasil dari proses belajar mengajar di kelas tidak efektif. Siswa-siswa banyak yang mengeluh dan tidak memahami penjelasan pelajaran dari guru tersebut.
Dilema kedua yang sering dihadapi kaum guru adalah dilema dalam proses pembelajaran. Kaum guru sering dipaksa untuk berpikir panjang dalam proses mendidik anak-anak. Di satu sisi, guru-guru harus mengajarkan disiplin pada murid. Di sisi lain, anak-anak yang tidak rela didisiplinkan seringkali protes keras yang tak jarang berujung pada kantor polisi.
Ada banyak kisah tragis tentang kriminalisasi kaum guru yang bisa kita gali di media masa. Kasus Aop Saopudin misalnya. Guru honorer yang bekerja di SDN Panjelin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat ini harus berurusan dengan polisi karena telah menghukum salah satu muridnya yang berambut panjang (Brilio.net 26/4/2016).
Ayah sang murid tidak terima anaknya dicukur Aop, melaporkan Aop dengan pasal tentang perlindungan anak dan pasal tentang perbuatan tidak menyenangkan. Parahnya lagi, selain melaporkan Aop, sang ayah juga ikutan mencukur Aop di depan umum sebagai balasan.
Tentu tindakan wali murid pada Aop itu merupakan tidakan keji yang telah melecehkan pekerjaan guru. Untungnya keadilan masih berpihak pada Aop. Kasasi Aop di kejaksaan agung dikabulkan dan Aop dinyatakan tidak melanggar satupun aturan hukum.
Dilema ketiga yang sering menyandra kaum guru ialah dilema sikap politik praktis. Kaum guru di satu sisi wajib mengajarkan nasionasme, kritisisme, dan keberpihakan pada para murudnya. Tapi disisi lain kaum guru dilarang keras dalam menyatakan sikap politik praktisnya.
Tentu hal ini merupakan masalah, sebab sebagai warga negara, kaum guru juga punya hak untuk menyatakan pendapat politiknya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan; “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Namun kaum guru memang spesial. Kaum guru tetap diharamkan untuk menyatakan sikap politiknya.
Pelarangan kaum guru dalam menyatakan pendapat politiknya saya rasa bukan tanpa sebab. Ada sedikitnya dua faktor yang menyebabkan guru dilarang bersentuhan dengan politik. Faktor-foktor itu ialah faktor normatif dan faktor sejarah.
Faktor normatif pelarangan guru dalam menyatakan sikap politik itu berkaitan dengan nilai-nilai netralitas. Kaum guru yang bersentuhan dengan generasi muda, diharap untuk tetap netral dalam politik.
Tujuan netralitas ini berhubungan dengan kaderisasi politik dan pemapanan strategi politik massa mengambang ala orde baru. Dengan netralitas kaum guru di harapkan kaderisasi politik tidak dimulai di waktu muda dan politik massa mengambang tetap terjaga.
Faktor kedua berkaitan dengan sejarah. Sejarah Mobiliasi guru dan PNS untuk memilih Golkar masih membekas pada pemerintah dan masyarakat Indonesia pasca reformasi. Rasa trauma sejarah itu sedikit diantiipasi dengan pelarangan guru dan PNS dalam menyatakan pendapat politiknya. Hasilnya adalah guru-guru dipaksa untuk tidak berpolitik.
Depolitisasi sikap politik kaum guru ini, saya rasa, bisa diterima dengan catatan, pembelajaran politik, nasionalisme, dan kritisme jangan terlalu dibebankan pada kaum guru. Jika hal-hal itu masih dibebankan kaum guru, saya khawatir dilema kaum guru tidak akan pernah selesai.
Pertanyaanya terpenting kita sekarang adalah bagaimana cara menghilangkan atau minimal mengurangi dilema kaum guru? Apakah pemerintah dan masyarakat mau menghargai, melindungi, dan menghormati profesi guru? Jika mau langkah apa langkah yang harus diambil?
Selain itu, pertanyaan penting lain untuk anak-anak muda Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di jurusan keguruan adalah siapkah kalian untuk menerima situasi dilematis ini? Jika siap silahkan lanjutkan pembelajaran anda. Namun, jika tidak, saya sarakan anda untuk pindah jurusan. Dengan begitu anda tidak akan merasakan dilema kaum guru. Anda akan mempunyai nasib yang lebih jelas dari nasib kami kaum guru. Begitulah.