Sejumlah polisi berseragam lengkap berpengaman kepala dan dada berdiri tegak dengan senjata ditangan. Di depannya terbentang kain putih 2×3 meter. Di atas kain itu ditata beberapa barang bukti dari seorang terduga teroris berinisial E alias AR yang ditangkap Densus 88 di Bogor, Jumat 17 Mei 2019.
Pada penggerebekan hari itu polisi menemukan 6 buah bom berbahan triacetone triperoxide (TATP) dengan daya ledak tinggi siap pakai. Selain itu juga ditemukan bahan pembuat bom dari Nitrogliserin, netrogen, pupuk urea, sulfur, H2SO4, H2O2, HNO3, almunium, HCL, Potassium, alat penggerus, off oil, gas kimia, satu rangkaian detonator dan panci presto.
Temuan polisi ini menguatkan dugaan jika E tak hanya akan melancarkan aksi teror tapi juga memproduksi bom. Ditambah lagi Polisi juga menemukan buku cara merakit bom dan laboratorium untuk mencampur bahan kimia untuk bom.
Catatan menarik dari Kepolisian adalah E bukan orang baru di dunia teror. Ia sempat mencoba menerobos perbatasan Suriah untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Tapi usahanya itu digagalkan otoritas Turki dan mengirim pulang E pada 2016.
Setelah menjadi deportan ternyata motivasi E untuk meneruskan perjuangan ISIS tak surut. Ia kembali menempuh jalan teror setelah sebelumnya dikarantina pasca dideportasi.
E sendiri bukan satu-satunya deportan Suriah. Menurut laporan lembaga tangki pemikir di Jakarta, Institute For Policy and Analysis of Conflict (IPAC) berjudul Mananging Indonesia’s Pro ISIS Deportee, hingga pertengahan 2018, lebih dari 500 deportan pulang ke Indonesia. Sebagian besar dipulangkan setelah menginjakkan kaki di Turki. Sebagian lainnya dideportasi dari Jepang, Hongkong dan Singapura.
Dari 500 deportan itu, 35 di antaranya ditahan Pemerintah Indonesia karena kejahatan yang dilakukan sebelumnya atau karena menyokong dana ke ISIS atau melakukan propaganda di dunia maya. Sementara sisanya diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing setelah sebelumnya disterilisasi di penampungan sosial.
Deportan yang kembali ke jalan teror pasca gagal menerobos perbatasan Suriah bukan barang baru. IPAC mencatat ada beberapa deportan yang setelah di Indonesia malah merancang aksi teror. Salah satunya adalah Anang Rachman alias Abu Arumi.
Pria yang ditangkap di Bogor pada 2018 ini sebelumnya dideportasi dari Turki pada 2016 saat hendak menyeberang ke Suriah. Pria kelahiran Jakarta 53 tahun silam itu ditangkap bersama Abid Faqihudin dan Ibadurrahman mantan anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso di Poso.
Di bawah komando Anang, mereka bertiga berencana menyerang Mako Brimob di Kedunghalang, Bogor. Anang juga berencana menabrakan kendaraan ke kumpulan polisi. Beurntung upaya Anang Cs ini berhasil digagalkan Densus 88. Mereka bertiga ditangkap beberapa hari sebelum kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok.
Dari barang bukti di lokasi penangkapan, Polisi menduga Anang sedang menyiapkan bahan pembuat bom berupa TATP (Traceton triperoxide) yang merupakan bahan peledak berkekuatan tinggi. Bahan bom ini persis seperti bahan yang digunakan E saat ini.
IPAC menyebut ada tiga faktor yang membuat deportan memilih melancarkan aksinya di Indonesia. Faktor pertama adalah afiliasi mereka. Jika deportan ini berafiliasi dengan ISIS maka besar kemungkinan mereka akan melancarkan aksinya di Indonesia. Mengingat fatwa ISIS yang memerintahkan pendukungnya untuk melakukan aksinya di negara masing-masing jika tak bisa ke Suriah.
Faktor kedua, motivasi mereka untuk bergabung dengan ISIS di Suriah. Jika motivasi mereka adalah untuk bertempur bersama ISIS di Suriah akan lebih berisiko jika dibanding dengan mereka yang datang ke Suriah untuk hidup di bawah Pemerintahan Khilafah. Sebab motivasi mereka sudah perang, dan bisa membawa perang itu ke dalam negeri.
Faktor ketiga, jaringan sosial. Jika telah melalui deradikalisasi di penampungan setelah dideportasi tapi mereka masih kembali ke jaringan teror, maka besar kemungkinan akan kembali ke jalur teror. IPAC mencontohkan Anggi, pekerja migran di Hongkong yang dideportasi pada 2017. Anggi dideportasi karena aktivitas radikalnya. Tapi tiga minggu pasca keluar dari penampungan, Anggi malah bergabung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung.
IPAC menyebut, dari para deportan itu, deportan ISIS dianggap paling berbahaya. Ada dua alasan yang membuat deportan ISIS lebih berbahaya dibandingkan dengan deportan yang akan bergabung dengan kelompok selain ISIS di Suriah.
Alasan pertama, karena mereka frustasi setelah gagal menyeberang ke Suriah. Pada waktu berangkat, dalam dada mereka telah terpatri motivasi untuk berjihad dengan kelompok ISIS. Tapi ditengah jalan motivasi yang tengah menggebu itu dipaksa dipadamkan. Hasilnya mereka terpaksa meredam semangat bertempur bersama ISIS dalam dada mereka.
Alasan kedua, meskipun maksud hati mereka tak sampai untuk bergabung dengan ISIS di Suriah, masih ada angin segar untuk mewujudkan mimpi itu di dalam negeri. Sebab ISIS telah menggeluarkan fatwa bagi mereka yang tak dapat bergabung ke Suriah dapat melancarkan aksi di negara masing-masing.
Fatwa ini seolah air segar yang menyirnakan padang tandus frustasi mereka. Artinya meskipun mereka gagal untuk bergabung dengan ISIS masih ada jalan lain untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Khalifah ISIS. Yaitu dengan mengikuti fatwa untuk melancarakan serangan di negara masing-masing.
Maka masuk akal jika menyebut deportan ISIS paling berbahaya dibandingkan dengan deportan kelompok lain.