Gilang gemilang peradaban hari ini, tak luput dari pengaruh tuan bermata sipit dengan tangan kanan yang menggenggam palu dan tangan kiri menggenggam arit. Penuh harapan, ia benar-benar mampu berdiaspora ditengah ilalang kebun-kebun miliki Paman Sam itu.
Pakaian koyak dan caping yang miring ke kiri, Deng membuat bingung pengikutnya pada awal periode kepemimpinan, walaupun akhirnya gerombolan pemuda bermata sipit berkulit kuning itu, menikmati langkah-langkah atas intruksi Deng.
Pemuda China berbondong-bondong meletakan buku Das Capital-nya, hingga berdebu. Melalui pengaruh Deng, Pemuda China tak lagi menggebu-gebu soal komunisme ataupun tumpukan teori terkait sosialisme.
Di kubur dalam-dalam idealisme mereka. Mulailah China pada era baru “Gaige Kaifang,” agar siap membangun tembok dan amunisi mereka pada sektor ekonomi. Tepatnya Desember 1978, Deng merombak China terkesan ompong itu, menjadi China yang memiliki taring tajam. Siap menerkam siapapun.
“Tirai Bambu,” adalah ejekan kelas wahid bagi China karena habitus rakyatnya dituduh terkesan kumuh, toilet selalalu berbau aneh, dan tak lupa sering melontarkan air ludahnya dengan sembarangan. Namun, itu semua berubah begitu cepat, hingga membuat beberapa penghujat merapikan kemeja mereka.
Tahun 1990 jadi martir bagi negara yang masih menggunakan konsep komunisme. Saudaranya Uni Soviet lebih dahulu gulung tikar, dengan menggunakan konsep Glasnot dan Perestorikanya. Deng memang cerdas, ia mampu mengamati lamat-lamat dengan penglihatan jauh kedepan dan matang.
Tangguhnya China dalam mengatasi pelbagai krisis yang menghujam area Asia bahkan dunia patut diacungi jempol. Ejekan “Tirai Bambu,” nampaknya membuat pemuda China dan Deng segera menyingsingkan lengan mereka dan bersiap untuk membuktikan.
Jiang Zemin sebagai Sekretaris Jendreal PKC Jiang Zhemin pada kongres ke-14 oktober 1992, menyampaikan “Kemiskinan bukan sosialisme. Tapi kemakmuran bersama pada saata yang bersamaan tidak mungkin.”
Pasar sosialis jadi sebuah gebrakan mengapa ekonomi China bisa menghentak melanglang buana menghadapi konsep-konsep ekonomi buatan kubu tandingannya. Walaupun beberapa menhujat China, menjilat ludahnya sendiri, akan tetapi ia benar-benar tak menjual ideologi bagi kepentingan ekonomi.
Negeri dengan basis komunisme itu yang hari ini masih tetap eksis. Nampaknya mereka benar-benar tahu makna diaspora ala komunisme. Saklek dan tertutup atas faktor ideologi semata, bukanlah sebuah solusi melainkan akan menenggelamkan China pada kemunduran.
Bahkan, Marx pun menghujam habis-habisan makna akumulasi primitif sebagai biang kerok pada kemiskinan dan kesenjangan yang merujuk pada ketidakadilan. Berbeda dengan kakek Deng ini. Ia tersenyum dan penuh pertimbangan membuka indsutrialisasi besar-besaran dan segera menyebarkan keseluruh pelosok negeri, hingga Amerika gelagepan atas komoditas mereka.
Awal mula melalui kawasan eksperimen kawasan Shenzen, sebagai daerah tak produktif, mempertahankan kehijauan alam diubah sebagai kawasan industri. Kendati demikian Deng dengan bangga karena produktifitas kota tersebut, membuka kota-kota baru sebagai ladang industrialisasi.
Sebanyak 14 kota sebagai basis teknologi, dan 27 kota sebagai kota industri, diinstruksikan dengan senyum manis deng agar meniru konsep Shenzen atas keberhasilan prototipe kota Industri.
Pembangunan infrastruktur dikebut, industrialisasi masif, membuat China secara infratruktur ekonomi benar-benar mendukung. Melalui instruktur tangan besi dari partai, pemuda-pemuda mengangguk dengan sepakat melakoni konsep China baru bagi kemajuan bangsanya itu.
Apa sebenarnya yang ditawarkan Deng atas rekonstruksi pemikiran komunisme pada waktu itu, sedang habis-habisan dihantam karena terkesan kurang bisa menantang tantangan zaman.
Bahkan kekolotannya pada tahun 1932, ada seorang bernaman Pavlik Morozov. Kekolotan itu, jadi bahan nyinyiran beberapa pasang mata di dunia, menghujam habis-habisan dengan rela mengorbankan Ayah Ibunya.
Karena begitu loyalnya atas landas ideologi itu, ayah ibunya mendendangkan piring dan sendoknya sembari mengkritisi rentetean pekerjaan bangsa Uni Soviet karena tak sesui dengan ekspektasi.
Nafas terhembus begitu dalam, Pavlik dengan berani menghentakan langkah kakinya dan melaporkan ayahnya, dan berujung di bui dengan senyum Pavlik di bawah penderitaan Ayahnya karena landas kesetian ideologi.
Ideologi di China mengalami proses perubahan luar biasa. Berbicara mengenai ideologi tak luput bisa dipisahkan dengan beberapa intelektuil mengusung pemikiran mengenai ideologi mereka.
Termasuk halnya Universitas. Lokus itu jadi tonggak penyebaran makna ideologi dengan tumpukan buku-buku gubahan Karl Marx sebagai basis dasar argumentatif mereka.
Namun, itu semua berubah total ketika perubahan ideologi di China terus mengalami perubahan. Pada (1978-1987), konsep masih menggunakan pemahaman komunisme.
Para pegawai partai masih bertampang lebih merakyat, bekerja lebih altruis demi kepentingan ideologi. Penampilan dengan jaket abu-abu dan topi tak begitu mewah, jadi ciri khas pegawai partai, begitu sederhana menampakan jati dirinya itu.
Insting tajam Deng, yang memang sudah terlihat keriput, waktu itu menyampaikan narasi, “kudu berjalan ke Selatan.” Polit Biro merasa bermuka masam dan semi menganggukan apa yang disampaikan oleh Deng.
Kongres pada tahun 1999 jadi bukti, legalisasi atas pengakuan hak swasta menjadi celurit tajam adopsi China menggunakan konsep kapitalisme seperti yang dilanturkan oleh Keynes sampai Frederich Hayek.
Alhasil, segela segmen berubah berjalanannya zaman, termasuk sektor pendidikan pada Universitas. Pemuda penerus bangsa itu, sudah mulai menelaah pemahaman ekonomi garapan Hayek. Liberalisasi perekonomian jadi kunci buku berjduul The Road to Serfdom.
Gagasan Deng zhi fu shi guangrong (kaya itu wajib), benar-benar membangun pola pikir pemuda China, dengan mata berbinar-binar menganggap buku itu bisa membawa China pada kemajuan dan kesejahteraan. Naasnya, buku-buku merah mulai ditinggalkan.
Kendati demikian, kita sering tak begitu tercengang, bagaimana hari ini produk-produk China dari sekecil biji apel sampai sebesar tiang konstruksi hotel banyak tertulis “buatan China.”
Meterengnya China hari ini, tak bisa luput dari proses historis sebelumnya. Begitu pula konsep fenomenologi, bagaimana konsep historis tak bisa dipisahkan sampai hari ini, mereka bisa bernapas dan menancapkan bendera kekuasaan ekonomi di tanah seberang.
Deng akhirnya mengajarkan kita agar bisa bergerak seperti belut dan menerkam seperti singa pada waktu yang tepat. Walaupun banyak yang menghujat habis-habisan, namun bukti itulah yang bisa jadi penilaian dan perdebatan.
Sumber:
Wibowo, I. 2007. Belajar Dari China. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Dahana, A. 1991. “Masih Menunggu Deng.” Tempo1991