Di akhir bulan Juli ini jagat media dan obrolan-obrolan warung kopi kebanyakan diisi dengan persoalan Lapas Sukamiskin. Buah bibir itu dimulai semenjak tertangkap tangannya kepala lapas oleh KPK.
Lalu semakin nikmat diperbincangkan setelah adanya laporan khusus Mata Najwa yang melakukan sidang dadakan kesana. Persoalannya pelik namun sudah menjadi rahasia publik bahwa yang kaya akan bahagia, dan nyatanya barang-barang penunjang kenyamanan dan kebahagiaan dapat dihadirkan walau dalam masa hukuman penjara.
Tetapi sudahlah, toh ketimpangan ada di mana-mana, maka saya tidak akan membahasan kasus tersebut dari sudut pandang Najwa dan yang mengamininya. Saya akan melihat persoalan tersebut dari perspektif arkeologi berdasarkan data temuan lapangan yang dilakukan oleh Najwa yang saya dapatkan pada kanal Youtube. Pertama-tama, Lapas Sukamiskin termasuk kedalam bangunan cagar budaya. Penetapan tersebut dilakukan pada tahun 2010.
Definisi cagar budaya menurut UU Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Lapas Sukamiskin merupakan suatu bangunan peninggalan masa kolonial yang menyimpan banyak sejarah. Prof. CP Wolff Scjoemaker menjadi arsitek bagi bangunan bergaya Eropa yang dibangun pada tahun 1918 ini. Beberapa tokoh pendiri bangsa pernah mendekam disana karna melanggar hukum pemerintah kolonial.
Salah satu tokoh itu ialah Soekarno yang pernah mendekam di kamar nomor 1 bagian timur atas, itu adalah bagian yang sama ditinggali oleh Patrice Rio Capela. Maka tak ayal jika Lapas Sukamiskin ditetapkan menjadi cagar budaya yang memang patut dilestarikan. Ingat-ingat ya, dilestarikan.
Patrice Rio Capela dalam acara Mata Najwa menjadi salah satu narasumber yang membeberkan pelangalamnya menjadi penghuni Lapas Sukamiskin. Ia mendekam di Blok Timur Atas selama 8 bulan.
Secara kebetulan blok tersebut merupakan blok yang ditempati juga oleh Soekarno pada tahun 1930. Soekarno kala itu menempati kamar nomor 1 pada Blok Timur Atas. Patrice berkata, “… kamar gantinya saya ganti, dari yang sebelumnya jongkok menjadi duduk”. Perkataannya tersebutlah yang membuat saya menyadari bahwasanya bukan hanya “pura-pura penjara” yang salam dalam pengelolaan Lapas Sukamiskin. Namun ternyata ada pula “pura-pura cagar budaya” yang keliru dan tidak sesuai dengan prinsip pelestarian.
Secara meyakinkan Patrice mengakui bahwa dia melakukan perubahan fitur kamar mandi tersebut. Ia merogoh kocek sendiri. Ia mengatakan bahwa Kalapas pun telah menyetujuinya walau hanya secara verbal.
Pada tanyangan tersebut sebenarnya Patrice mengetahui bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan yang telah berdiri lebih dari satu abad. Namun sayangnya ia tidak sadar bahwa aspek pelestarian cagar budaya merupakan sesuatu yang utama ketimbang higienitas yang ia keluhkan.
Cagar budaya bukanlah suatu label yang membuat suatu benda terpaksa dibekukan sehingga awet, namun sekaligus juga mati. Label cagar budaya membuat suatu benda tersebut perlu dilestarikan. Dalam kegiatan pelestarian tentunya diperbolehkan akan terjadinya suatu pemugaran atau pengembangan. Hal tersebut boleh terlaksana asalkan melalui mekanisme yang ada yaitu, melalui kajian dan berkoordinasi dengan Tenaga Ahli Pelestarian atau Tim Ahli Cagar Budaya.
Sayangnya, baik Patrice yang mengetahui umur bangunan serta Kalapas yang seharusnya mengetahui bahwa bangunan di daerah kekuasannya itu sama-sama tidak memperhatikan dan melaksanakan mekanisme tersebut. Keduanya sama-sama bersalah. Atau mungkin lebih dari dua karna hemat saya akan ada lebih banyak lagi Patrice-Patrice lainnya yang memprakarsai perubahan kamar penjaranya.
Tetapi, tentunya Kepala Lapas-lah yang paling disalahkan dalam hal ini. Itu karna segala kewenangan ada pada tangannya. Seharusnya jika Patrice (dan yang lainnya) mengeluhkan mengenai kondisi bangunan perlu ditampung oleh Kalapas. Lalu Kalapas-lah yang berkoordinasi dengan Tim Ahli Cagar Budaya sehingga apa yang warga binaannya keluhkan dapat terselesaikan dengan baik dan benar.
Permasalahan mengenai gonta-ganti toilet memang terkesan sepele. Tetapi pahamilah ternyata untuk hal buang hajat pun kita tidak adil. Pak Menteri Yasona mengatakan bahwa kesalahan dalam kasus “pura-pura penjara” ialah adanya diskriminasi sehingga perlu adanya penyamarataan agar adil.
Tetapi nyatanya kita juga abai terhadap kebendaan, terhadap bangunan Lapas Sukamiskin dan bangunan-bangunan lain, sehingga kita lebih gemar beradu kata tentang “pura-pura penjara” dan mengabaikan bahwa sebenarnya penjara tersebut adalah cagar budaya yang perlu kita lestarikan dan jaga bersama-sama.
Soekarno yang pernah merasakan dinginnya Sukamiskin telah menampari kita dengan Jasmerah, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Sejarah tanpa cagar budaya adalah dongeng, sebab cagar budaya adalah bukti sejarah di masa lalu yang berhasil sintas hingga masa kini.