Pilpres 2024 menjadi ajang kontestasi politik yang sangat sengit, bahkan diperkirakan bisa melebihi debat sengit pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Selain karena pagelarannya berlangsung paska pandemi Covid-19 yang hingga hari ini belum dinyatakan benar-benar selesai, juga lantaran pemulihan ekonomi paska pandemi yang belum merata seperti sediakala.
Sejak awal pandemi Covid-19, kita telah menyaksikan fenomena baliho-baliho partai berjejeran di pinggir jalan. Puan Maharani dari PDI-P misalnya dengan baliho “Kepaakkan Sayap Kebhinnekaan”-nya yang khas, Cak Imin dari PKB dengan inkonsistensi penyebutan namanya sendiri: antara Cak Imin, Gus Muhaimin, atau Gus AMI, hingga baliho dari partai Golkar yang dibintangi oleh Airlangga Hartanto. Ketiganya berambisi untuk maju dalam kontestasi politik tahun 2024 mendatang.
Baru-baru ini, Cak Imin yang merupakan ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melontarkan sebuah pernyataan kontroversial. Ia mengusulkan supaya Pilpres 2024 ditunda 2 tahun, mengingat pemulihan ekonomi dan kesehatan paska pandemi belum cukup meyakinkan untuk Indonesia menyelenggarakan kontestasi sengit tersebut. Apa lagi jika kita belajar dari ajang Pemilu di tahun sebelumnya, paling tidak kampanye politik akan menguras banyak tenaga beserta materi.
Inkonsistensi Cak Imin terlihat tatkala dia dan partainya tetap ngotot untuk mendeklarasikan diri sebagai Presiden 2024, padahal ia sendiri yang meminta untuk menundanya. Hal ini kemudian direspons persetujuan dari beberapa ketum partai seperti PAN dan Golkar.
Ketua umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf juga memiliki opini yang sama tentang wacana penundaan pemilu. Menurutnya masuk akal karena alasan fokus memulihkan kondisi negara dari pandemic covid 19 yang berlarut-larut menjadi masalah negara.
Lalu, bagaimana respon istana negara soal munculnya wacana penundaan pemilu ini? Sampai tahun 2021, Presiden Joko Widodo masih menegaskan tidak berminat menjadi presiden tiga periode. Akan tetapi dikutip oleh Mata Najwa, 2022 ini Presiden mengungkapkan bahwa ‘wacana adalah bagian dari demokrasi. Pelaksanaan harus tunduk pada konstitusi’. Didukung oleh klarifikasi Mahfud MD yang juga memberi penegasan bahwa pemerintah tidak pernah ada pembahasan penundaan pemilu maupun memperpanjang masa jabatan Presiden.
Tidak heran lagi, jika yang menjadi sorotan publik adalah seorang Luhut Panjaitan. Hampir di setiap lini berita digital maupun cetak, nama Luhut hadir sebagai penyuara wacana penundaan pemilu semakin santer. Luhut mengklaim beberapa pendukung partai besar setuju atas penundaan pemilu 2024. Hingga Namanya dicurigai sebagai pemegang tongkat manuver wacana penundaan pemilu 2024 nanti.
Konstitusi negara Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 7 dan pasal 20 yang menjelaskan masa jabatan presiden paling lama adalah 2 kali periode. Dan dengan cara menaati undang-undang merupakan salah satu wujud memelihara konstitusi. Wacana penundaan pemilu ini jelas melukai konstitusi Indonesia dan membangkitkan ingatan kita pada masa Orde Baru. Kenyataanya pemerintah justru seperti mewajarkan hal tersebut.
Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial sejak era reformasi, yang mana sistem pemerintahan presidensial sudah menetapkan masa jabatan presiden dengan jelas sesuai yang diatur oleh undang-undang. Lantas bagaimana dengan wacana penundaan pemilu? Ada beberapa hal yang akan dilukai secara bersamaan ketika wacana ini benar-benar dilaksanakan.
Pertama, Indonesia akan mengalami krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Mau tidak mau, masyarakat akan beranggapan bahwa ini sebuah dalih isu untuk memperburuk citra politik negara. Hampir dua periode masa jabatan presiden Joko Widodo, kontroversi politik negara menjadi santapan sehari-hari publik. Kepercayaan masyarakat sudah terluka sejak beberapa kasus belakangan yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Terlebih sejak pandemi covid 19 terjadi di dunia.
Kedua, kembali lagi pada persoalan merawat konstitusi. Sebagai negara konstitusional, menjaga dan merawat marwah konstitusi negara adalah kebutuhan primer yang harus terlaksana dan teregulasi dengan baik. Adanya wacana soal penundaan pemilu akan menjadi polemik baru menuju tahun pesta konstitusi. Atau mungkinkah ini bagian dari sandiwara pemegang kekuasaan untuk mendramatisir keadaan menuju 2024?
Ketiga, kemungkinan Indonesia akan memasuki masa krisis politik yang akan semakin besar. Dengan ditundanya pemilu, bukan tidak mungkin beberapa elemen masyarakat akan membaikot kegiatan pemerintahan, bisa juga menyebabkan mahasiswa turun di jalanan berdemonstrasi mengekspreksikan kekecewaan mereka terhadap pemerintah atas penundaan pemilu. Terlebih lagi masyarakat yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum.
Masygul bagi saya pribadi sebagai mahasiswa yang mempelajari tentang konstitusi. Apabila jantung konstitusi masih bisa digoyahkan ketetapannya oleh pemegang kekuasaan hanya karena bentuk alasan yang bisa dihadapi sejak dini. Alasan munculnya wacana ini dikarenakan adanya pandemi yang melanda semua lapisan kekuatan negara. Mulai dari masyarakat, pemerintahan, hingga hubungan internasional. Terlebih yang sangat dirisaukan dan menjadi urgensi tertentu jelas masalah keuangan negara beserta perekonomiannya.
Jika kerisauan itu sudah muncul hari ini dan diupayakan segera terselesaikan sebelum tauhun pemilu datang, seharusnya itu bukan hal yang tidak terpikirkan oleh pemerintahan. Kinerja pemerintahan yang bisa dinilai apik dan berkualitas ketika permasalahan internal beres sebelum isu-isu ini berkembang dan menggaung di langit masyarakat. Sangat menjadi PR pemerintah untuk mengakomodir dengan baik segala keperluan dan kepentingan umum negara dalam menjaga kedaulatan dan kebutuhan tantangan masyarakat.
Bagaimanapun, wacana untuk menunda pemilu tahun 2024 mendatang akan sangat menambah luka pada sistem demokrasi yang memang sudah cedera sejak awal. Luka itu akan terus membekas karena obat-obat yang dipercaya menyembuhkan, justru menambah luka baru yang lebih dalam.
Sekarang saatnya kita menunggu jawaban dari Presiden Jokowi, apakah ia akan menyetujui usulan penundaan pemilu 2024 dan bertahan 3 hingga 4 tahun ke depan “tanpa beban” untuk memulihkan kinerjanya bagi bangsa, ataukah Presiden secara tegas menolak dan tetap akan melaksanakan Pemilu 2 tahun mendatang meskipun kita tidak ada yang tahu kapan pastinya pandemi Covid-19 ini akan berakhir.