Rabu, April 24, 2024

Civil Islam: Rumah Merawat Nalar Kritis Ekologis?

Hendy Setiawan
Hendy Setiawan
Mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Belajar dari perjalanan sejarah SDG’s yang pernah menjadi narasi global sebelumnya, nampaknya kita benar-benar tersadarkan bahwa konsep ini tidak berjalan dengan baik. Bahkan berbagai pihak justru menuding bahwa SDG’s ini gagal dilakukan karena tidak menghasilkan agenda masa depan yang pro terhadap pembangunan ekologis yang berkelanjutan.

SDG’s sering kali dianggap sebagai propaganda negara-negara maju yang ingin mencoba mempengaruhi negara-negara berkembang sehingga dengan narasi-narasi pembangunan ekologis, maka negara-negara berkembang terbuai dengan sistem kepentingan negara maju. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik bahwa persoalan gagalnya SDG’s ini tidak hanya pada persoalan output yang akan dicapai, tetapi di dalamnya ada kelindan-kepentingan negara maju yang nampaknya tidak disadari oleh negara-negara berkembang atau miskin.

Berbagai korporasi global yang dimiliki negara maju seperti IMF, WTO, ataupun korporasi lainya seperti Bank Dunia pada kenyataanya hanya sebagai katalisator untuk menyalurkan nafsu kepentingan negara-negara maju yang di dalamnya juga sebetulnya tidak pro terhadap pembangunan ekologis yang berwawasan berkelanjutan.

Nafas Dunia Keswadayaan

Aroma-aroma kelindan-kepentingan dalam proyek SDG’s ini manariknya terendus oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil yang bergerak dalam isu-isu penyelamatan ekologis. Artinya persoalan ini justru tumbuh dan berkembang dalam sudut-sudut dan ruang-ruang di dunia keswadayaan. Pada konteks inilah sebetulnya tidak salah jika dunia keswadayaan ini memiliki kontribusi yang cukup elegan dalam melakukan kepeloporan dalam mengadvokasi isu-isu ekologis yang justru di tengah publik tidak dianggap menjadi penting.

Kehadiran kelompok-kelompok keswadayaan inilah secara sederhana dapat dipahami sebagai cikal bakal atas munculnya semacam gagasan dan diskursus bagaimana merawat nalar ekologis tersebut.

Walaupun begitu dalam konteks semacam ini kehadiran dan warna gerakan dari kelompok keswadayaan tidak lepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan. Pada sisi kelebihan tentu mau tidak mau harus diakui dan tidak terbantahkan bahwa ada peran kelompok ini dalam menanam dan menumbuhkan nalar ekologis secara kritis.

Di sisi yang lain, kita juga harus paham bahwa gerakan-gerakan kepeloporan yang dilakukan oleh kelompok dunia organisasi di luar negara ini mengalami beberapa tantangan.

Pertama adalah persoalah strategi gerakan. Pada konteks ini gerakan-gerakan kelompok ini misalnya dalam mengadvokasi isu ekologis masih bersifat parsialitatif, terpisah-pisah, sehingga strategi ini mudah sekali dirobohkan dengan menciptakan konflik di berbagai lini-lini.

Kedua adalah persoalan jaringan yang terbatas. Seperti yang banyak diketahui oleh banyak orang bahwa ketidakeksisan kelompok ini ketika vis a vis negan kekuasaan atau negara ialah karena jaringan mereka terbatas, sehingga ini juga menjadi celah mengapa mereka mudah tereliminasi.

Terakhir adalah persoalan simpatisan dari mereka. Minimnya simpatisan ini ketika melakukan aksi solidaritas atas kepentingan yang pro ekologis justru mebuat mereka terancam. Hal inilah yang semestinya menjadi pelajaran bagaimana cikal bakal nalar ekologis kritis itu telah mereka taburkan dalam lahan kosong agar kelak ada regenerasi perjuangan mereka yang mampu menemukenali gerakan mereka dan mau melanjutkan misi kesalehan ekologis sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

Civil Islam: Pelanjut Generasi?

Kehadiran Civil Islam dalam kancah dunia ekologis yang mencoba memberikan perhatian serius terhadap krisis ekologi adalah suatu keterlambatan. Dikatakan terlambat karena kehadiran kelompok dunia keswadayaan jauh lebih dahulu apabila dibandingkan dengan Civil Islam.

Padahal perhatian terhadap isu ekologis adalah pesan teologis yang semestinya mampu manjadi ruh yang actual dalam merespon isu ini. Namun di saat yang lain keterlambatan Civil Islam ini bukan justru menjadi hambatan untuk merawat nalar kritis ekologis.

Namun sebaliknya keadaan ini mampu menjadi alarm penebusan kesalahan untuk lebih maksimal atas bagaimana nalar ekologis ini benar-benar dibangun secara komprehensif. Apalagi Civil Islam yang tumbuh dan lahir hari ini sangat potensial dan sekaligus menjadi harapan untuk terus melakukan penjagaan terhadap nalar ekologis kritis yang sebelumnya mulai-mulai meredup tanpa orientasi yang jelas.

Islam sebagai Solusi

Perhatian Islam sendiri dalam merespon isu krisis ekologis diperankan oleh Civil Islam. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang cukup menarik di mana jumlah simpatisan yang cukup banyak ditambahn posisi dan pengaruh mereka dalam merespon segala kebijakan dari kekuasaan cukup diperhitungkan.

Artinya Civil Islam bukan menjadi objek pinggiran, namun mereka berada dalam ruang yang sangat berpengaruh terhadap negara. melalui kekuatan inilah ada harapan besar dari umat bagaimana Civil Islam ini menjadi rumah yang ideal dalam merawat nalar ekologis sebagai agenda starategis umat Islam.

Islam yang tidak bisa menyelesaikan persoalan umat termasuk di dalamnya masalah krisis ekologi bukan beraryi Islam yang sebenar-benarnya. Begitulah kira-kira untuk menggambarkan ketangguhan Civil Islam hari ini yang kontribusi positif dan pro terhadap pembangunan ekologisnya akan kita nanti-nantikan demi memastikan akar nalar pikir ekologis kritis ini tetap tumbuh dan lestari.

Hendy Setiawan
Hendy Setiawan
Mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.