Minggu, Oktober 13, 2024

Cinta Tanah Air: Belajar dari Che Guevara

Alfit Lyceum
Alfit Lyceum
alumni filsafat dan mistisisme Islam, direktur Lyceum Philosophia Institute

Cinta tanah air memiliki dua corak. Pertama, rasa cinta pada negara sendiri sembari memandang rendah bangsa dan negara lain. Tanpa peduli, apakah bangsa sendiri adalah penjajah atau terjajah. Intinya, bangsa lain adalah nomor dua.

Ini disebut dengan nasionalisme negatif. Istilah kerennya, Cauvinisme. Jika anda bangga pada bahasa Indonesia tapi menganggap rendah bahasa lain, maka anda adalah seorang Cauvinis. Anda juga Cauvinis, bila anda bangga karena berbatik, tapi menghina yang bergamis.

Kedua, cinta pada tanah air tanpa harus memandang rendah tanah air orang lain. Inilah nasionalisme positif. Tanah air adalah sarana aktualisasi diri. Tanah air adalah medan juang bagi para pejuang kemanusiaan yang tak bertuhan untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, medan juang bagi para pejuang kemanusiaan yang juga bertuhan, untuk mewujudkan nilai-nilai ketuhanan.

Hakikatnya, nilai-nilai ketuhanan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsipnya sama, semangat keadilan dan anti penindasan. Tuhan tak mungkin anti manusia. Agama tidak hadir untuk memerangi kemanusiaan. Justru sebaliknya.

Mewujudkan nilai-nilai ketuhanan, berarti juga mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Efeknya bagi rakyat, sama; kedamaian. Bedanya, efek yang kembali pada jiwa pejuang. Pejuang kemanusiaan yang juga peyakin ketuhanan, serta pejuang kemanusiaan yang hanya percaya pada kemanusiaan, keduanya sama-sama humanis. Bedanya, yang satu humanis transenden, yang lainnya humanis imanen.

Humanis transenden maupun imanen, berusaha menciptakan syurga dunia; yaitu dunia tanpa penindasan. Keduanya anti pada tuhan-tuhan tanah yang menjarah tanah dan air. Itulah wujud cinta tanah air.

Cinta tanah air berarti menjaga tanah air. Tak bisa disebut cinta ibu pertiwi bila anda apatis melihat ibu pertiwi diperkaos oleh para bedebah negeri. Bahasa agamanya, anda musyrik bila mencintai kezaliman dan membenci keadilan, barang sedikit saja (hadis). Dengan ini, pejuang tauhid sosial adalah mereka yang memerangi kemusyrikan dengan cara memerangi kezaliman di muka bumi.

Tujuan nasionalisme positif adalah kemanusiaan, bukan negara. Negara mesti mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Apalah artinya bernegara, bila [aparat] negara justru menjajah rakyat. Olehnya itu, pejuang kemanusiaan tidak merendahkan negara lain. Musuh mereka adalah ketidakadilan, di negara manapun itu terjadi. Ia berkawan dengan para pejuang kemanusiaan, walau beda iman dan tanah air.

Ingat kata Guevara; jika anda gemetar dan geram setiap kali melihat penindasan, maka kita sahabat”.

Che Guevara bukan Cauvinis, ia humanis dan revolusioner sejati. Usai memenangkan revolusi di Kuba yang notabene bukan tanah kelahirannya, ia didapuk jadi menteri industri, sekaligus juru bicara Kuba di PBB. Di PBB, tanpa gentar, ia mengecam segala bentuk imperialisme Amerika. Salah satu ucapannya yang menggelegar di forum itu adalah “hubbul wathon minal iman”. Salah, maksud saya, “patria o muerte. Tanah air atau mati”.

Che Guevara tak lama menjadi menteri. Bagi Che, tak ada masa pensiun, masa menyeruput kopi di senja hari, menikmati hasil perjuangan. Jiwanya terus gelisah melihat manusia-manusia di negara lain, terjajah. Maka, ia putuskan meninggalkan kursi menterinya, keluar dari zona nyaman, kembali ke medan gerilia lintas negara.

Ia bergerak menuju negara-negara lain tuk mencipta revolusi. Ia membantu Geriliawan Kongo, Guatemala, Nikaragua. Hingga akhirnya, ia dieksekusi mati di Bolivia. Benar-benar sebuah healing revolusioner di berbagai negara. Sekiranya Che adalah Cauvinis, maka tentu ia tak akan membantu Castro berjuang, tentu ia diam melihat rakyat negara lain terjajah.

Walhasil, di Bolivia, dalam penjara, datanglah seorang jagal menenteng senjata. “aku tahu kamu datang untuk membunuhku. Kemarilah, tembak aku. Kamu hanya membunuh seorang lelaki”. Kata Che Guevara sebelum dieksekusi.

Begitulah, jiwa-jiwa besar tak pernah mati. Gagasannya abadi, hidup dan bergerilia melintasi generasi. Ia tidak meniada, ia berlipat ganda.

Mengakhiri ini, saya ingin sampaikan sesuatu yang mungkin anda akan tanyakan. Bahwa, ngefans pada Che Guevara tidak serta merta menjadi komunis. Ini bukan tentang iman, ini tentang kemanusiaan.

Di atas segalanya, tentu saya mengidolakan Rasul Saw. Sosok yang bukan hanya bercerita tentang kemanusiaan, tapi juga tentang ketuhanan. Bahwa kemanusiaan dimaksudkan untuk ketuhanan, dan bahwa ketuhanan mesti mewujud dalam nilai-nilai kemanusiaan.

Tidaklah berketuhanan yang maha esa, mereka yang tidak berkemanusiaan, bercerai-berai, diktator, dan mengabaikan keadilan sosial. Ketuhanan adalah bullshit, tanpa kemanusiaan.

Alfit Lyceum
Alfit Lyceum
alumni filsafat dan mistisisme Islam, direktur Lyceum Philosophia Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.