Selasa, Desember 10, 2024

Cadar dan Sederet Arogansi Kampus

Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz
Blogger. Pegiat Literasi. Ketua Paguyuban Srengenge
- Advertisement -

Kasus pelarangan cadar yang diberlakukan di UIN Sunan Kalijaga menjadi perbincangan luas. Bahkan rektor sendiri yang pasang badan menjelaskan alasan demi alasan, termasuk dari segi fiqiyah, HAM, sampai otonomi kampus tersebut dalam memberlakukan aturan internalnya. Apakah pelarangan atas cadar ini cukup esensial?

Sederet larangan, bahkan di beberapa kampus, juga sudah banyak dilakukan, meski bukan soal cadar. Misalkan, larangan menggunakan kaos oblong ketika perkuliahan, larangan menggunakan sendal di kelas, rambut gondrong, dan larangan-larangan lain yang mungkin tidak begitu substansial jika direnungkan.

Semisal, apa korelasi rambut gondrong dan pendek terhadap keilmuan seseorang, atau kemampuannya menyerap materi perkuliahan? Apa korelasi pakai sepatu atau sendal, terhadap prestasi belajar? Setiap kampus menerapkan aturan tersebut, kadang hanya memperhatikan unsur kerapian, formalitas, dan pada satu sisi agar menjadi pembeda antara mahasiswa dengan yang lain.

Padahal itu hak setiap orang, selama tidak menganggu. Misalkan ke kampus harus menggunakan kemeja ber-krah, yang tidak menaati tidak diperbolehkan mengikuti perkuliahan, atau mungkin mendapatkan nilai yang kurang baik, karena dosen punya dasar penilaian dalam aspek kerapian.

Sebenarnya hak setiap perempuan juga, untuk menggunakan cadar atau masker. Misalkan karena dia sedang flu dan batuk, atau sedang kurang sehat karena penyakit tertentu, maka selalu mengenakan masker mulut. Soal cadar, mungkin bukan sekedar aturan yang khusus mempertimbangkan aspek kerapian berbusana, mungkin ada aspek yang lebih besar, terutama aspek ideologis.

Memang akan banyak yang protes, jika pelarangan tersebut terkait hal-hal yang preferensial, dan bukan terkait pelanggaran hukum. Bercadar adalah preferensi setiap perempuan, terutama muslimah. Sekalipun kita tidak sepakat dengan tafsir penggunaan cadar, namun bagaimana kita bisa memaksa orang lain agar mengikuti pendapat kita? Sementara kita tidak memiliki otoritas?

Pada aspek ini, kita tentu akan sepakat, bahwa rektor selaku pemimpin tertinggi kampus sedang menggunakan otoritasnya untuk menerapkan aturan ini. Termasuk aturan lain tentang kewajiban berjilbab bagi mahasiswi, juga aturan syarat agama tertentu agar bisa kuliah di kampus tersebut. Padahal itu kampus negeri, yang didanai oleh APBN, yang mana salah satu sumber APBN adalah pajak dari rakyat yang bermacam agama.

Jika larangan atas cadar ini menjadi perbincangan luas, maka larangan lain termasuk kewajiban lain juga harus dipertanyakan, yang barangkali lebih esensial. Pada satu sisi kita menghargai otoritas pemimpin kampus. UIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu kampus Islam tertua di Indonesia, mungkin ingin mengambil jalan ekstrem untuk menguatkan basis keilmuan dan ideologinya, dan berupaya melakukan “pembersihan” benih-benih ekstremisme melalui aturan tersebut.

Karena jalan itu yang diambil, maka akan menjadi perbincangan luas. Baik yang bercadar atau tidak bercadar, semuanya ikut mengkritik dan membela hak perempuan bercadar. Namun otoritas kampus juga menjadi satu hal yang dipertimbangkan, sebab itu juga bagian dari hak menentukan aturan.

Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz
Blogger. Pegiat Literasi. Ketua Paguyuban Srengenge
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.