Bullying digital, atau cyberbullying, adalah tindakan intimidasi, pelecehan, atau penghinaan yang dilakukan melalui media digital seperti media sosial, pesan instan, email, dan platform online lainnya. Berbeda dengan bullying tradisional yang terjadi secara langsung dan fisik, bullying digital dilakukan secara tidak langsung dan dapat menyebar dengan cepat ke audiens yang lebih luas.
Berdasarkan laporan dari UNICEF pada tahun 2023, sekitar 37% anak-anak dan remaja di seluruh dunia telah mengalami bullying digital setidaknya sekali. Di Amerika Serikat, laporan dari Cyberbullying Research Center menunjukkan bahwa 34% siswa sekolah menengah mengaku pernah menjadi korban cyberbullying.
Sementara itu, di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2022 mencatat bahwa 41% remaja pernah mengalami bentuk bullying digital. Data ini menunjukkan bahwa bullying digital adalah masalah yang signifikan dan meluas, dengan dampak yang dirasakan oleh jutaan anak dan remaja di seluruh dunia.
Cyberbullying dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti penghinaan dan pelecehan melalui komentar atau pesan yang mengandung kebencian, hinaan, atau ancaman. Penyebaran rumor atau fitnah yang merusak reputasi seseorang juga merupakan bentuk bullying digital yang umum.
Selain itu, doxing, yaitu membocorkan informasi pribadi korban tanpa izin, serta eksklusi sosial dengan mengeluarkan seseorang dari grup online atau memblokirnya di media sosial, merupakan bentuk lain dari cyberbullying. Impersonasi atau menggunakan identitas palsu untuk merusak reputasi atau menipu korban juga sering terjadi.
Bullying digital memiliki dampak yang sangat serius bagi korban, termasuk dampak psikologis seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Dampak sosial juga terasa dengan isolasi sosial dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Dari segi akademis, korban bullying digital sering mengalami penurunan prestasi akademis akibat stres dan kurangnya konsentrasi.
Dampak kesehatan fisik seperti gangguan tidur dan sakit kepala juga umum terjadi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Ditch the Label pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 70% korban bullying digital mengalami dampak psikologis yang signifikan, seperti kecemasan dan depresi. Di Indonesia, sebuah kasus pada tahun 2023 melibatkan seorang remaja yang mengalami bullying digital yang berujung pada percobaan bunuh diri, menggambarkan betapa seriusnya dampak dari cyberbullying.
Pencegahan dan penanggulangan bullying digital memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan platform digital. Edukasi dan kesadaran tentang bullying digital dan dampaknya perlu ditingkatkan melalui program edukasi di sekolah dan kampanye publik.
Kebijakan dan regulasi yang tegas serta mekanisme pelaporan yang efektif juga harus diterapkan. Orang tua perlu aktif dalam mengawasi aktivitas online anak-anak mereka dan memberikan bimbingan tentang penggunaan internet yang aman. Dukungan psikologis harus disediakan bagi korban bullying digital, dan platform digital harus bertanggung jawab dalam menghapus konten yang bersifat bullying serta menyediakan alat untuk melaporkan perilaku tidak pantas.
Cyberbullying adalah ancaman nyata di era teknologi yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Melalui edukasi, kebijakan yang tepat, dan kerjasama antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan platform digital, kita dapat menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan mendukung bagi semua pengguna.
Dengan demikian, teknologi dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebaikan tanpa harus mengorbankan kesejahteraan individu. Maka dari itu ini adalah masalah serius yang dapat memiliki konsekuensi yang parah bagi korbannya. Penting bagi kita semua untuk bekerja sama untuk mencegah cyberbullying dan menciptakan dunia digital yang aman dan inklusif bagi semua orang.