Selasa, April 16, 2024

Bila Memang Mahasiswa Ingin Membangun Akal Sehat

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Sering saya amati, di kalangan aktivis mahasiswa, suatu pengetahuan tersebar dalam dua jalan: reproduksi dan replikasi. Mari mengintip sekilas konsep keduanya.

Suatu pengetahuan, secara praktis, merupakan hasil produksi. Bagi aktivis mahasiswa (kaum intelektual), sebaik-baiknya produksi pengetahuan dilakukan dengan membaca dan diskusi kritis. Aktivis mahasiswa yang ingin mengetahui suatu wacana seyogiyanya menekuni bermacam literatur. Proses itu disebut ‘produksi’.

Kemudian, anggaplah suatu ketika, seorang aktivis dituntut untuk melakukan diseminasi wacana. Di forum diskusi, ia menjadi pembicara. Wacananya didengar oleh sepuluh orang junior. Gagah bicaranya, terpukau audiennya, berbobot omongannya.

Di sinilah perbedaan antara reproduksi dan replikasi. Bila audien mencatat pokok-pokok argumentasi dari pewacana, namun tidak merasa puas, dan omongan pewacana ditelusuri ulang argumentasi lengkapnya dengan cara mengakses literatur-literatur tertentu, itulah yang disebut reproduksi. Sebab, mode produksi pengetahuan di fase pertama diulang (re + produksi) di fase kedua.

Adapun bila audien merasa puas dengan pokok-pokok argumentasi dari pewacana, lantas merasa pantas menjadi pewacana berikutnya di hadapan audien lain (biasanya yang secara hirarki lebih junior), itulah replikasi. Sebab, audien hanya mereplika (mencontoh, meniru, mengulang) omongan pewacana, yang sebenarnya, merupakan reduksi dari pengetahuan aslinya.

Dalam reproduksi, pengetahuan tersebar dengan keutuhan: ada paradigma, konteks, analisis, dan sejumlah elemen lain yang tidak tersampaikan lantaran terbatasnya waktu diskusi. Pewacana hanya mampu menyampaikan, sebutlah, seperlima dari yang diproduksi dari membaca. Sedangkan dalam replikasi, keutuhan itu terbuang; yang disajikan adalah reduksi, remah-remah wacana.

Sebuah Kegelisahan

Mengapa topik reproduksi dan replikasi menjadi penting?

Saya sering mendengar kritik tentang degradasi intelektualisme mahasiswa. Habitus intelektual sudah menurun; mahasiswa tidak lagi membaca buku dan tekun berdiskusi, sebab disibukkan oleh urusan kuliah, main-main, atau tetek-bengek organisasi.

Sayangnya, kritik itu kerap bernada glorifis-primordial; kesannya sekadar untuk mengunggulkan kehebatan generasi lama. Padahal, kehebatan akan terus tercipta dari generasi baru, dan akan selalu melampaui generasi lama. ‘Orang tua’ harus optimis.

Namun, kritik tersebut ada benarnya. Kualitas yang menurun. Pernah saya bertanya pada seorang aktivis: apa bacaan kamu sekarang? Jawab dia: sejarah perkembangan masyarakat, materialisme-dialektis dan materialisme-historis. Saya bilang: yang kamu sebut itu wacana, bukan bacaan. Rupanya ia tidak bisa membedakan, dan lagi, ia tidak membaca apapun.

“Lantas, menguasai wacana-wacana tadi caranya bagaimana?”

“Ngobrol sama senior di warung kopi, Mas.”

Jawaban itu mengingatkan saya akan sebuah buku berwarna hitam-ungu yang dilemparkan tepat ke muka saya, oleh seorang kakanda, saat saya sedang tidur siang di sekretariat. Kejam dan tidak sopan, beliau tidak membiarkan saya leha-leha. Saya disuruh membaca tiga bab untuk didiskusikan sore harinya. Buku itu berjudul The Problems of Philosophy karya Bertrand Russel, dan pengalaman menyebalkan itu terjadi waktu saya semester 2.

Agak mengherankan melihat aktivis yang tidak punya tradisi membaca, terlibat dalam diseminasi wacana hanya saat ada program kerja, dan kala berdiskusi cuma bisa mengandalkan logika, bukan data. Sesekali nampak pemandangan lucu: senior bicara pintar di depan junior-junior manis nan lugu, padahal kontennya replikasi. Geliat intelektual, gebrakan ide, memang telah banyak menguap.

Membangun Akal Sehat

Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan generasi lama dan baru. Saya pribadi kadang minder melihat  ‘para pendahulu’: level literasi mereka rasanya tidak tertandingi. Saya merasa sudah banyak membaca, tapi mereka selalu bilang belum. Perlahan saya paham, tidak ada yang harus saya kejar dari mereka. Kewajiban saya adalah memelihara tradisi ‘produksi-reproduksi’ dan menghindari replikasi.

Memilih reproduksi dibanding replikasi berarti mengembalikan aktivis mahasiswa ke tradisi intelektualnya. Jalannya bisa beragam: membuat limited group yang mengkaji wacana tertentu, atau menyelenggarakan workshop untuk menajamkan perspektif atas suatu isu. Tapi satu yang harus diingat: replikasi haram hukumnya. Reproduksi adalah wajib, dan energi untuk betah belajar harus ditempa.

Tentu, hal itu berat. Kadang tantangan datang dari (kelompok) aktivis yang merasa diri paling memihak rakyat, menyindir aktivis lain karena “banyak wacana tapi minus praktek”, padahal pergerakan mereka momentual saja, dan sebenarnya tak lebih dari sekumpulan pemalas yang sama-sama doyan nongkrong tanpa faedah.

Bila memang mahasiswa ingin membangun akal sehat, reproduksi adalah satu-satunya jalan. Akal sehat lahir dari habitus yang sehat, ditempa oleh bacaan-bacaan sehat. Memang harus diiringi dengan percakapan kritis, tapi sekritis apapun, percakapan itu harus bertumpu pada bacaan sehat. Reproduksi dan replikasi.

Satu lagi: membangun akal sehat sama sekali bukan dengan cara mengundang (dan mereplikasi nalar) seorang bidak politik yang secara serampangan diklaim sebagai “presiden akal sehat”. []

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.