Sebagai pendahuluan, ada pertanyaan tentang apa itu Zionisme. Ini merupakan paham yang meniscayakan pembentukan negara Yahudi, melalui cara apapun, bahkan dengan penjajahan. Zionisme itu ideologinya, sedangkan Zionis adalah gerakannya. Pertanyaan selanjutnya, apakah semua Yahudi adalah Zionis, jawabannya belum tentu.
Membedakan antara Yahudi sebagai identitas suku dan agama, Israel sebagai entitas negara, dan Zionis sebagai gerakan ekosospol yang mendukung Israel perlu kita tekankan. Jika kita sebagai Muslim tidak menerima cap terorisme sama dengan Islam begitu pun umat Yahudi. Faktanya, masih banyak kalangan Yahudi menentang Zionisme.
“The Jewish State” (terbit 1896) yang ditulis oleh Theodor Herzl, seorang Yahudi Austria-Hungaria, sering dilihat sebagai dokumen dasar Zionisme politik modern.
Belakangan, konflik antara Israel dan Palestina, khususnya Hamas, semakin memanas. Begitu banyak nyawa warga sipil menjadi korban tiap harinya.
Menariknya, setiap isu konflik Israel-Palestina meletus, selalu muncul juga perdebatan dari mana sebetulnya konflik berdarah ini bermula. Salah satu jawaban yang sering diungkap adalah dari Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 2 November 1917 (dikutip dari berbagai sumber; BBC, CNBC, dll).
Deklarasi Balfour ini merupakan pernyataan dari pemerintah Inggris yang menetapkan warga Yahudi berhak membangun rumah nasional mereka di tanah Palestina. Deklarasi Balfour ini ali-alih menciptakan perdamaian, justru malah menjadi akar konflik yang berlangsung sampai hari ini.
“His Majesty’s Goverment view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people” (cuplikan Deklarasi Balfour, 1917).
Dinamakan Deklarasi Balfour karena dibuat oleh Arthur Balfour, Menlu Inggris, yang ditujukan kepada Walter Rothschild, pemimpin Zionis. Deklarasi Balfour ini menjadi dokumen Israel membangun negara sendiri (national home for the Jewish people).
Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour bukan tanpa motif. Melansir Pinterpolitik.com, Inggris melakukannya karena ingin menarik perhatian Amerika Serikat yang memiliki hubungan erat dengan Yahudi, supaya Amerika membantu Inggris dalam Perang Dunia 1.
Sebelum Perang Dunia 1, Palestina berada di bawah kepemimpinan Kesultanan Utsmani (Ottoman Turki). Oleh karena Ottoman kalah dalam Perang Dunia 1, maka kolonial Inggris menguasai Palestina.
Jika kita melihat sejarahnya, Palestina merupakan tanah bagi mayoritas Arab (Islam), Nasrani, dan Yahudi. Mereka hidup rukun di bawah naungan Ottoman. Situasi menjadi berbeda ketika Inggris mengambil alih.
Eksodus imigran Yahudi dari Eropa, khususnya Inggris, menuju Palestina merupakan buah dari Deklarasi Balfour. Keputusan PBB untuk membagi Palestina pada tahun 1947 menjadi negara Yahudi dan negara Arab yang terpisah menandai titik balik dalam konflik baru antara Israel dan Arab. Pemisahan ini diterima oleh pemimpin Yahudi, tetapi ditolak oleh pemimpin Arab. Bagi Arab, bagaimana mungkin membiarkan pembentukan negara lain di atas tanah sendiri.
Ketika negara Israel dideklarasikan tahun 1948, terjadi pengusiran massal warga Palestina dari tanah mereka. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “Nakba” (catastrophe; malapetaka), sampai kini menjadi kenangan yang sangat menyakitkan bagi Palestina.
Dari sinilah intensitas perlawanan dari kelompok-kelompok Palestina makin meningkat, misalnya dari Hamas (dibentuk tahun 1987), terlebih gerakan yang dilancarkan Hamas didasari spirit Islam dalam upaya perlawanan terhadap kolonial (penjajahan, pencaplokan).
Barangkali kita bangsa Indonesia tidak asing dengan kolonialisme. Sudah menjadi watak penjajah, dalam memuluskan hegemoninya sering kali menggunakan pelabelan subjektif, misalnya dalam hal ini istilah teroris untuk Hamas (terlepas dari berbagai perdebatan).
Melihat konflik berkepanjangan ini, apa yang mesti kita upayakan, sebagai masyarakat dunia. Tentu kita semua mengutuk segala hal tindakan berupa penjajahan, penindasan, dan diskriminasi. Perdamaian merupakan kata kunci yang tak bisa ditawar lagi.
Namun sangat disayangkan, masih ada beberapa kalangan, apalagi umat Islam sendiri, antipati bahkan mencemooh dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.
Konflik Israel-Palestina ini tidak melulu berbicara agama, tapi lebih dari itu, yakni tentang kemanusiaan. Tidak ada manusia atau suatu bangsa yang mau ditindas, dijajah.
Terus-menerus “berisik” menyuarakan kemerdekaan Palestina dan mengutuk penjajahan merupakan cara yang paling mungkin kita usahakan tanpa henti.
Melalui spirit politik bebas aktif Indonesia dalam rangka melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, pemerintah Indonesia khususnya melalui Dewan Keamanan PBB diharapkan terus mendorong adanya resolusi perdamaian untuk Israel-Palestina.
Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dengan ibu kota di Yerusalem, dukungan tersebut dibuktikan dengan hubungan diplomatik dengan Palestina pada 19 Oktober 1989.