Kamis, Desember 12, 2024

Benarkah Game Online Berbahaya untuk Anak?

Arief Rahman
Arief Rahman
Mahasiswa Magister Psikologi Unair. Suka menyendiri tapi takut sendirian.
- Advertisement -

Komisi Perlindungan Anak Indonesia kembali membuat heboh netizen Indonesia khususnya di kalangan gamer beberapa waktu belakangan. Banyak komentar bertebaran di lini masa media sosial menanggapi hal tersebut. Permintaan mereka kepada Kominfo untuk memblokir game online dinilai berlebihan.

Beberapa netizen bahkan mengecap KPAI hanya cari-cari kerjaan saja. Pihak yang mendukung kebijakan ini mengklaim melihat langsung dampak buruk dari game online. Entah pengaruhnya kepada anak, adik, atau kerabat. Terlepas dari kemarahan dan kontroversi terhadap langkah KPAI, peristiwa ini memunculkan kembali tema diskusi lama. Kira-kira, apakah game khususnya game online pengaruhnya membahayakan bagi anak?.

Kita harus memahami bahwa cara berpikir anak-anak jauh berbeda dari orang dewasa. Menurut Piaget (1971), di usia 7-11 tahun anak-anak sudah mampu berpikir logis walaupun sesungguhnya pemikirannya belum matang. Di usia ini, kebanyakan informasi masih ditelan bulat-bulat oleh mereka serta cenderung diterima tanpa ada saringan. Sehingga apa yang mereka pikir, lakukan, serta ucapkan, semata-mata hanyalah tiruan dari apa yang disaksikan sehari-hari.

Orang dewasa jelas paham bahwa yang terjadi di video game kebanyakan tidak akan terjadi di dunia nyata, terutama video game bergenre fantasi atau fiksi ilmiah. Video game terkenal seperti Grand Theft Auto dan Call of Duty misalnya. Dimana sang karakter digambarkan sebagai manusia maha kuat dan maha hebat yang mampu melakukan segalanya tanpa di batasi aturan apapun.

Tentu orang dewasa paham, selain memang tidak logis, banyak aturan masyarakat yang dilanggar selama bermain. Nah, apakah anak kecil sudah paham dengan konsep logika?. Mohon maaf, jangankan anak kecil, masih banyak dari kita yang juga belum paham betul cara berpikir logis. Biasanya akan terlihat ketika mengerjakan skripsi atau dengan mudah termakan hoaks. Imbasnya untuk anak-anak, perilaku di video game mereka pandang sebagai sesuatu yang bisa mereka tiru di kehidupan sehari-hari.

Terlalu lama bermain video game juga tidak baik untuk tumbuh kembang anak. Minimnya gerakan tubuh selama bermain game menjadi masalah utama. Hal ini biasanya identik dengan istilah motorik halus dan motorik kasar. Hampir semua video game hanya membutuhkan koordinasi mata dan tangan dalam memainkannya. Ini biasa disebut dengan motorik halus.

Kalau hanya berfokus pada permainannya, perkembangan motorik kasarnya bisa terganggu. Otot-otot kaki dan tangan yang seharusnya bisa dipakai untuk aktifitas diluar ruangan malah menjadi lemah karena kebanyakan waktu dalam sehari hanya digunakan untuk duduk berlama-lama didepan komputer atau smartphone. Bahkan, bila sudah terlalu asyik bermain, mereka rela menahan diri buang air kecil dan besar yang malah akan mengganggu sistem sekresi anak.

Kalau fokus pada game online, terdapat perilaku khas para pemainnya yang sering dikenal sekarang sebagai perilaku toxic. Dalam game online, pemain dapat berkomunikasi baik menggunakan suara maupun teks kepada sesama pemain.

Bila permainannya mengusung tema kerjasama tim, maka pemain bisa berkomunikasi intens dengan rekan setim serta pemain lawan. Masalahnya, tidak jarang pola komunikasinya sangat buruk. Ketika seorang pemain bermain tidak baik, rekan setim bahkan pemain lawan bisa saja memberikan perilaku toxic. Mulai dari memarahi sampai menghina. Kata-kata yang dilontarkan pun kadang tidak beretika.

Lingkungan ini jelas tidak ideal bagi anak-anak. Utamanya karena di usia ini mereka masih menyerap segala informasi yang ada tanpa filter. Sekarang bayangkan bila seorang anak masuk kedalam game online dan terpapar perilaku ini setiap hari?. Bisa jadi mereka menormalisasi perilaku tersebut dan dibawa ke dalam percakapan sehari-hari. Lebih parah lagi, hal ini bisa memicu perilaku agresif pada anak-anak kalau mereka terbiasa meluapkan amarahnya tanpa kontrol selama bermain game online. Kalau sudah melekat dalam diri, akan butuh bertahun-tahun untuk kebiasaan ini bisa dirubah.

- Advertisement -

Terlepas dari beberapa pengaruh buruknya, game online juga membawa banyak manfaat untuk anak. Karena kebanyakan video game menggunakan bahasa inggris, anak bisa mempertajam kemampuannya berbahasa inggris sambil bermain. Apalagi apabila game online yang dimainkan memiliki pemain dari seluruh dunia. Anak-anak tentu akan berusaha sebaik mungkin memahami dan berkomunikasi dengan teman mainnya menggunakan bahasa universal tersebut.

Permainan yang mengusung kerja sama tim akan melatih mereka bermain peran dan melatih semangat gotong royong. Contoh saja game online Mobile Legend. Pembagian peran dalam permainan tersebut mengharuskan mereka menjalankan perannya masing-masing. Setiap karakter mempunyai kekuatan unik yang hanya bisa digunakan dengan maksimal apabila mereka bekerja sama dan kompak saling membantu. Mereka juga dapat melatih kemampuan analisanya dengan menyusun strategi tim dan bersama-sama mematahkan strategi lawan.

Game online memang berpotensi memberikan dampak buruk bagi anak-anak, namun bukan berarti tidak ada manfaat sama sekali. Bila permainannya tepat, didukung dengan perilaku baik selama bermain, serta dibatasi durasinya, bukan tidak mungkin game online menjadi alat yang bagus untuk membantu mengembangkan anak.  Bahkan bisa digunakan sebagai media belajar.

Konsumsi bermain anak wajib diregulasi, bukan dilarang. Karena di jaman sekarang, game online statusnya sebagai nilai tukar sosial atau alat untuk berinteraksi dengan orang lain termasuk dalam dunia anak-anak. Jangan sampai anak-anak teralienisasi dari hal-hal seperti ini karena orang tua terlalu ketat. Dampaknya, mereka bisa kehilangan kesempatan untuk berteman atau parahnya bisa dikucilkan.

Orang tua harus menjadi garda terdepan dalam meregulasi hal ini. Di rumah, gadget yang dipakai untuk bermain bisa diberi kode sandi atau semacam alat proteksi. Dimana orang tua nantinya bisa mengatur semua game yang dimainkan serta berapa lama game itu dimainkan dalam sehari. Gadget tadi bisa diletakan di ruang keluarga agar setiap anak menggunakannya, orang tua bisa dengan mudah memantau perilaku serta penggunaannya. Apabila hal-hal tersebut dilakukan, bahaya game online untuk anak-anak dapat dihindari.

Daftar Pustaka

Piaget, J. (1971). The Theory of Stages in Cognitive Development. In D. Green, M. P. Ford, & G. B. Flamer (Eds.), Measurement and Piaget (pp. 1-11). New York, NY: McGraw-Hill.

Arief Rahman
Arief Rahman
Mahasiswa Magister Psikologi Unair. Suka menyendiri tapi takut sendirian.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.