Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) masih tertahan di lembaga legislasi. Permintaan revisi tidak terhindarkan lagi dan lagi. Dari 14 pasal paradoks yang masih diperdebatkan, ‘Pasal Penghinaan’ terhadap pemerintah terus getol disuarakan di media, dan ruang-ruang terbuka. Pasalnya, publik menilai entitas dari Pasal 230 dan 241 yang termuat dalam draft RKUHP sejak 2019 itu dinilai menciderai demokrasi dan reformasi dalam menyuarakan hak kebebasan.
Terdapat kualifikasi rumusan serupa di dua pasal lainnya, yakni; Pasal 217 dan 220 tentang penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, dan; Pasal 246 dan 247 tentang penghasutan melwan penguasa. Setidaknya, tiga rumusan pasal itu masih terus diperdebatkan dengan dalih kebebasan.
Dari sini kita melihat, kebuntuan jalan RKUHP menuai keabsahannya karena seleweran tafsir otoritatif. Dalam hukum, semua orang bisa melakukan tafsir yuridis secara terbuka dan suka-suka. Berusaha menyingkap tabir belenggu ihwal esensi kehendak tertib (order) yang bersemayam dalam hukum. Akan tetapi, dalam batas kewajaran, tafsir hermeneutis dan sentetis terhadap hukum harus dilakukan secara objektif dan berdasar.
‘Pasal Penghinaan’ dalam realitasnya ditafsir secara otoritatif, disimplifikasi secara prematur, dan dieksplisitkan dengan instan. Untuk menguji konsistensi anasir ini, kita perlu menguraikannya dengan pendekatan interpretasi hukum, baik secara tekstual (litera legis) maupun kontekstual (sentetia legis).
Secara tekstual, ambil contoh dalam Pasal 240 RKUHP, yang terkatakan bahwa “Setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang mengakibatkan kerusuhan ancaman hukumnya adalah tiga tahun penjara,”. Jelas dalam pasal itu—dan pasal serupa—menarasikan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, membuat kerusuhan di muka umum, dan menyerang martabat pemerintah dan institusi negara menjadi objek delik pemidanaan. Sehingga terdapat konsekuensi logis atau sanksi hukum yang akan diberikan di sana.
Tidak ada satupun dalam pasal yang disebut memuat narasi konklutif yang mengarah pada pembatasan terhadap kebebasan. Garis jaminan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi tetaplah tidak dipengaruhi eksistensinya dengan keberadaan ‘Pasal Penghinaan’ dalam RKUHP. Oleh demikian, dalih pemerintah bahwa pasal disebut tidak bertentangan dengan spirit demokrasi bisa diterima.
Secara kontekstual, objek pengaturan dalam pasal penghinaan jelas adalah pemerintah dan institusinya. Di satu sisi, pasal dimaksud seolah-olah menciderai asas ’equality before the law’. Objek yuridisnya mengindikasikan bahwa dalam hukum, pemerintah mendapat jaminan lebih di atas rakyatnya. Kontroversi yang mungkin muncul adalah; apakah hal itu bisa dibenarkan ketika dibenturkan pada hakikat negara konstitusional seperti di Indonesia.
Namun, status Presiden dan Wakil Presiden—jika kita mempermasalahkan objek yuridis keduanya—adalah jabatan yang absah berdasar pada kepercayaan rakyat. Status itu ditempelkan bukan atas kehendak cuma-cuma. Terdapat ritus sakral lima tahunan yang membentuknya (Anggraini, 2022; 21). Ritual elektoral itu kemudian yang membentuk tanggung jawab kolektivisme dalam satu muara, yakni Presiden dan aperatur kepemerintahannya.
Maka jelas akan terdapat jaminan lebih, baik pemberian gaji, pemenuhan fasilitas, jaminan sosial, termasuk perlindungan hukum, yaitu ‘Pasal Penghinaan’ dalam RKUHP—yang publik perdebatkan hingga saat ini. Hal itu merupakan suatu kewajaran, mengingat tanggung jawab moral rakyat tersentralisasi dalam tugas ‘Kepresidenan/pemerintah’. Lebih ironis lagi, jika penolakan terhadap ‘Pasal Penghinaan’ berdalihkan sisi politis kepentingan, atau anasir ‘cari aman’ di balik legalisme hukum.
Maka, tabir belenggu tafsir ototritatif publik terhadap ‘Pasal Penghinaan’ dalam RKUHP sudah saatnya disingkap. Perjalanan panjang RKUHP harus dengan segera menemui legalitas keabsahannya. Rakyat harus lebih jernih melihat itu semua. Kita tentu tidak ingin ada dalang di belakang publik dari ‘carut-marut’ yang secara sadar menghambat pengesahan RKUHP.