Sebagai mahasiswa kadang beberapa orang bertanya kepada saya: Nanti, setelah lulus kuliah, kira-kira kamu mau kerja apa? Saya suka jawab, kalau impian saya sangat sederhana. Kelak saya ingin memiliki satu perpustakaan yang sangat besar. Saya ingin menghabiskan sebagian besar waktu saya di sana. Dan setelah itu saya berkarya sebanyak-banyaknya.
Rasanya, setelah dipikir-pikir, hanya itu impian utama saya. Selebihnya hanya impian-impian sampingan. Kalau kelak Tuhan memberi lebih, tentu saya sangat bersyukur. Tapi kalau tidak, impian itu terwujud saja rasanya saya serasa masuk sorga sebelum ajal tiba.
Semakin kesini saya semakin menikmati dunia baca-tulis. Membaca dan menulis sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan saya. Berhenti dari dua kebiasaan itu sama saja dengan menghentikan nafas. Jika nafas terhenti, maka semangat kehidupan saya bisa terpasung mati.
Satu tokoh Mesir yang cukup menginspirasi saya untuk mewujudkan cita-cita itu ialah ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad. Ya, Abbas Mahmud al-‘Aqqad. Dialah pemikir terbesar Mesir yang pernah saya kenal.
Buku-bukunya sangat dalam dan memukau. Dulu, sewaktu kuliah S1, saya sampai rela blusukan ke tempat buku-buku bekas, berjibaku dengan debu-debu, hanya untuk mencari karya-karya beliau yang murah dan bermutu. Terutama buku-buku lamanya yang sudah tidak lagi dicetak. Buku-buku itu seringkali dijual dengan harga yang sangat murah. Padahal isinya adalah gagasan-gagasan besar.
Banyak hal yang saya pelajari dari beliau. Salah satunya, dan yang paling penting, adalah kecintaannya terhadap dunia baca-tulis. Saking rajinnya dia tidak sempat menikah. Hidupnya habis terkuras untuk berkarya dan berkaya. Tak didampingi istri, juga tidak dikarunai anak. Tapi “anak-anak” yang dihasilkan dari buah pikirannya sampai sekarang dibaca, diteliti dan disanjung oleh masyarakat luas, termasuk oleh para pemikir besar.
Setingkat Grang Syekh al-Azharpun turut mengagumi karya-karya beliau: “Saya adalah pecinta karya-karya Abbas Mahmud al-‘Aqqad. Dia adalah sosok manusia yang mampu membentuk dirinya sendiri. Dia adalah pemilik nalar raksasa (shâhib al-‘aql al-Jabbâr). Apapun yang dia tulis, tulisan-tulisannya sangat mendalam.” Tutur Syekh Ahmad Thayyib dalam suatu wawancara.
Mungkin lembaran pendek ini tak akan cukup untuk merekam sanjungan para raksasa intelektual Arab terhadap orang ini. Padahal, yang perlu Anda ketahui, Aqqad tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Ijazahnya hanya sampai SMP. Tapi sampai sekarang dia dijuluki sebagai imlâq al-Adab al-‘Arabiy (seorang raksasa dalam dunia sastra Arab)
Di samping itu bahasa inggrisnya juga bagus, wawasan filsafatnya sangat mendalam, gaya tulisannya memukau, dan dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan juga sangat tinggi. Tahukah Anda berapa jam dia membaca buku sewaktu masih muda?
Kata dia, dalam suatu wawancara, dalam sehari dia bisa membaca tujuh sampai delapan jam. Dari mulai matahari terbenam sampai matahari terbit! Ya, dari matahari terbenam sampai matahari terbit! Wajar saja kalau orang-orang besar angkat topi sama karya-karyanya.
Dia pernah ditanya: Mengapa Anda suka membaca? Dia jawab singkat: Karena hidup yang satu itu tidaklah cukup. Maksudnya, dengan banyak membaca Anda bisa memperluas dunia Anda. Kalaulah dunia ini terasa singkat, maka cara memperpanjangnya ialah dengan banyak menulis dan banyak membaca.
Dari perjalanan hidupnya kita bisa belajar bahwa sekolah formal itu, betapapun tingginya, sama sekali bukan jaminan bagi keberhasilan seseorang. Yang terpenting dalam proses belajar adalah kemauan keras dan ketekunan untuk mewujudkan kemauan itu. Soal gelar, nilai, dan prestasi-prestasi akademik lainnya, bagi saya, itu persoalan sampingan, yang kalaupun tidak Anda raih, tak ada kerugian berarti yang akan Anda telan.
Kalau memerhatikan perjalanan hidup ‘Aqqad, rasanya saya tidak berhasrat lagi untuk kuliah ke Eropa, juga tak ada impian bagi saya untuk menjadi penjabat ataupun pebisnis yang kaya-raya dan bergelimang harta. Saya hanya ingin kaya dengan ratusan karya, meskipun tak kaya dengan tumpukan harta. Dan ‘Aqqad adalah teladan terbaik yang sudah mencontohkan itu.
Terkadang, seperti yang diceritakan Syekh Thayyib, pemikir besar Mesir itu menjual buku-bukunya hanya untuk mendapatkan makan. Dalam salah satu bukunya saya juga pernah baca kalau mau menulis buku, dia mengeluarkan banyak biaya dan tenaga demi mempersembahkan tulisan yang baik kepada para pembacanya. Sementara imbalan materi yang dia terima tidaklah seberapa. Alhasil dia hidup dalam kesederhanaan. Tapi gagasan dan karya-karyanya mampu mencerahkan pikiran banyak orang.
‘Aqqad merupakan teladan bagi orang-orang yang tidak bisa sekolah. Lagipula, hampir tidak ada alasan bagi kita untuk menjadi orang terbelakang di zaman sekarang. Semua sudah tersedia dengan mudah dan melimpah. Apapun yang ingin kita cari, internet sudah siap melayani kita dengan berbagai macam fasilitasnya. Menjadi bodoh di zaman sekarang adalah pilihan. Orang dulu mau pintar itu susahnya minta ampun. Sekarang Tuhan sudah memanjakan kita dengan berbagai macam kemudahan.
Dari ‘Aqqad kita belajar bahwa kehidupan ini adalah tempat pembelajaran yang sesungguhnya. Di manapun Anda hidup, kesempatan belajar akan selalu terbuka untuk Anda. Belajar tidak selamanya harus dengan sekolah dan kuliah. Asal ada tekad bulat, kemauan kuat, keikhlasan niat, yang disertai konsistensi dan ketekunan, orang-orang yang sekolah tinggipun sangat mungkin untuk Anda kalahkan.
Itulah pelajaran penting yang bisa kita petik dari kehidupan Abbas Mahmud al-‘Aqqad. Sang pembelajar sejati, yang kehidupannya bisa jadi inspirasi bagi generasi masa kini.