Selasa, Oktober 8, 2024

Bakso Babi Haram atau Sukla?

Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono
Lahir di Malang 15 Maret 1990. Sarjana Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. Twitter: @lugaswicaksono
Foto dari penulis

Belakangan di Bali banyak ditemukan warung-warung berlabel haram. Misal saja warung Bakso Celeng (Babi) ‘100 Persen Haram’. Bagi orang Islam yang baru sesekali ke Bali akan terhenyak ketika melihatnya karena tidak biasa saja. Babi memang diharamkan dalam ajaran agama Islam.

Fenomena label haram ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2014 lalu, tepatnya ketika pemerintah menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaringan Produk Halal untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dengan terbitnya UU itu maka produk makanan diharuskan telah bersertifikasi sehat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sertifikasi halal tentu saja akan dikeluarkan ketika produk itu dinyatakan halal yang artinya sudah sesuai ketentuan makanan layak konsumsi sesuai hukum Islam.

Sementara sebagian masyarakat Bali beragama Hindu dan mereka banyak yang berdagang makanan olahan babi, yang dalam Islam diharamkan. Meskipun mereka menjual makanan berbahan halal misal ayam betutu belum tentu juga lolos sertifikasi halal karena cara memasaknya berbeda dan bisa saja dianggap tidak sesuai hukum Islam.

Inilah kemudian yang melatarbelakangi pelaku usaha kuliner di Bali ramai-ramai memasang label haram sebagai bentuk protes. UU itu dianggap tidak lebih sebagai monopoli Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara Islam.

Selanjutnya Raja Majapahit Bali Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III membuat gerakan Sukla Satyagraha untuk melawan dominasi UU itu. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini ingin perekonomian masyarakat Bali berkedaulatan dengan menghimbau seluruh masyarakat Bali berbelanja di warung-warung Bali dan tidak berbelanja di warung-warung milik orang Jawa atau luar Bali. Ia juga mensertifikasi sendiri warung-warung Bali dengan label sukla.

Menurut dia, sukla bukan bermakna halal atau haram. Sukla berarti ada proses kesucian makanan dari persiapan hingga disajikan. Di Hindu Bali sebenarnya juga ada istilah satwika, lungsuran atau prasadam yang maknanya mirip. Namun dia memilih istilah sukla karena dianggap mudah diingat. Di samping itu setiap orang Hindu yang bejualan makanan akan diperciki tirta (air) untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Gerakan Sukla Satyagraha buatannya ini dianggap akan dapat mempersatukan orang Hindu ditengah dominasi ekonomi yang dikuasai nyama tamiu dauh tukad ( warga pendatang barat samudera, baca: warga pendatang).

Kekhawatiran Wedakarna ini sebenarnya tidaklah berlebihan. Selama ini masyarakat Bali terutama mereka yang berjualan makanan semakin terdesak dengan pedagang makanan pendatang dari Jawa dan daerah lain. Warga pendatang yang tinggal di Bali, yang sebagian besar beragama Islam enggan berbelanja makanan di warung Bali.

Tentu saja karena makanannya dianggap haram. Sebaliknya masyarakat Hindu Bali tidak masalah berbelanja di warung milik warga pendatang. Dengan kondisi ini pedagang pendatang akan lebih diuntungkan karena pelanggannya dari komunitas masyarakat Islam dan masyarakat Hindu. Bahkan sebagian dari mereka memasang tulisan ‘Warung Jawa’, Warung Muslim’ dan sejenisnya untuk penegasan identitas sehingga warga pendatang Islam tidak ragu berbelanja di warungnya.

Sebenarnya tidak semua warga pendatang beragama Islam. Masih ada yang Nasrani, orang Tionghoa beragam Konghucu, Tao atau Budha. Namun populasinya tidak sebanyak orang Islam. Mengingat Indonesia mayoritas warganya Islam. Fenomena ini membuat masyarakat Bali terdesak. Mereka seringkali hanya menjadi konsumen saja di tengah suksesnya warga pendatang berdagang. Bahkan ada ungkapan yang berbunyi “Orang Bali jual tanah untuk beli bakso, orang Jawa jual bakso untuk beli tanah”.

Melihat fenomena demikian, Pemilik Kelompok Media Bali Post (KMB) Anak Gede Bagus Satria Naradha dengan gerakan Ajeg Bali sebenarnya sudah mulai terlebih dahulu daripada Wedakarna melalui Koperasi Krama Bali dengan membuat Bakso Krama Bali. Mereka membuat pelatihan bakso kepada warga Bali dan memodalinya untuk mulai berdagang bakso bercirikan Bali itu pada 2007-2008. Namun tidak lama kemudian Bakso Krama Bali bangkrut. Bakso ini masih kalah dengan Bakso Malang atau Bakso Solo karena memang membuat bakso bukan spesialisasi orang Bali. Beda cerita kalau orang Bali memasak babi guling, siobak, lawar, belayag, sate babi atau ayam betutu.

Sertifikasi sukla bagi pedagang makanan di Bali sebenarnya satu upaya positif dan cukup beralasan karena Bali mayoritas masyarakatnya pemeluk Hindu. Namun sebaiknya sertifikasi sukla itu dilakukan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagaimana sertifikasi halal dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebaiknya pula sertifikasi sukla tidak saja dilakukan bagi pedagang Hindu saja tetapi lebih baik kalau semua pedagang makanan di Bali bahkan di seluruh Indonesia, sekalipun sudah bersertifikasi halal diharuskan bersertifikat sukla. Ini untuk memastikan masyarakat Hindu dalam mengkonsumsi makanan layak konsumsi sebagaimana diatur dalam agamanya. MUI Bali sudah sepakat dengan wacana ini dan tidak akan mempermasalahkan.

Apabila sudah bersertifikasi sukla maka pedagang makanan tidak perlu lagi melabeli makanannya haram. Mengingat selama ini haram identik dengan istilah Islam yang diambil dari bahasa Arab dengan arti sesuatu yang dilarang agama. Bagi orang Islam yang ingin mengkonsumsi makanan halal tinggal cari makanan berlabel halal, begitupula orang Hindu yang ingin makanan sukla tinggal cari saja yang sudah bersertifikasi sukla dari PHDI.

Dengan begitu tidak ada saling ketersindiran antar umat beragama. Upaya ini juga bisa sebagai bagian dari sertifikasi warga pendatang untuk mengatasi kepadatan penduduk karena semakin banyaknya orang merantau ke Bali. Jangan sampai kemudian hari orang Bali tersisih dari tanah leluhurnya sebagaimana orang Betawi tersisih dari Jakarta.

Namun istilah sukla untuk makanan layak konsumsi umat Hindu ini masih menjadi polemik. Ida Pandita Empu Jaya Prema Ananda mengatakan, sukla adalah istilah budaya dalam masyarakat Bali dengan pengertian makanan atau persembahan yang suci. Sesuai ajaran Hindu, segala makanan yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa-dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur disebut sukla. Setelah dihaturkan jadilah makanan itu prasadam yang di dalam bahasa Bali dipakai kata lungsuran atau paridan.

“Inilah yang akan kita makan, bukan memakan yang masih sukla. Jika istilah sukla dipakai untuk menunjukkan bahwa itulah makanan yang “layak makan” secara agama sangat bertentangan. Apalagi kalau istilah sukla versi ini mau disosialisasikan ke masyarakat termasuk ke luar komunitas Hindu, maka kita akan dianggap melanggar ajaran Hindu itu sendiri. Karena ajaran Hindu menyebutkan bahwa makanan yang “layak makan” adalah makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu. Prasadam atau lungsuran, itulah makanan yang utama,” ujar Jaya Preman melalui akun Facebook-nya. (*)

Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono
Lahir di Malang 15 Maret 1990. Sarjana Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. Twitter: @lugaswicaksono
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.