Sabtu, Oktober 12, 2024

“Bacaan Liar” Sebagai Sastra Perlawanan

Athiyyah Nur Roihanah
Athiyyah Nur Roihanah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Barang siapa yang ingin memahami, mempelajari, serta memperdalam kesusastraan secara serius sudah pasti ia harus paham betul mengenai sastra serta pertumbuhan dan perkembangan sastra itu sendiri. Karena pertumbuhan dan perkembangan sastra di negara Indonesia sangat pesat. Pada awal abad ke-20 terlihat dalam penerbitan pers (surat kabar, majalah, dan buku) bahwa karya sastra Indonesia sudah mulai terlihat perkembangannya. Hasil dari perkembangannya tersebut dapat dilihat pada saat ini dalam bentuk novel, puisi, cerpen, atau karya sastra yang lainnya.

Pengertian Sastra

Karya sastra adalah cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada (Sumardjo, 1979). Dalam hal ini sastra berperan sebagai tempat yang berfungsi untuk merekam kondisi sosial atau sebagai instrumen politik.

Kemudian Damono (2002: 1) mengungkapkan pendapatnya bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Oleh karena hal tersebut, di dalam sastra terkandung suatu gagasan yang dapat dimanfaatkan dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap sosial. Hal ini dapat disimak dari karya-karya “bacaan liar” yang dilahirkan oleh para nasionalis radikal sebelum era kemerdekaan. Keadaan suatu masa dapat dilihat melalui karya-karya yang dilahirkan pada masa tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu karya berfungsi sebagai alat komunikasi serta propaganda.

“Bacaan Liar” Sebagai Sastra Perlawanan

“Bacaan liar” dinyatakan oleh Rinkes untuk yang pertama kali pada tahun 1914 terhadap karya-karya kaum pergerakan, dalam bentuk roman, puisi, novel, atau buku pemikiran. Khawatir merupakan perasaan yang pada saat itu pemerintah rasakan terhadap bacaan yang berupa karya sastra atau surat kabar. Pada masa itu pemerintah terus-menerus mengatasi karya-karya yang menyinggung kekuasaan kolonial, baik itu yang diciptakan oleh pribumi atau Tionghoa peranakan.

Karya bacaan seperti novel adalah salah satu jenis karya sastra yang mayoritas digunakan untuk mengungkapkan dan membahas suatu permasalahan politik yang terjadi di dalam masyarakat. Novel memiliki ruang yang cukup luas untuk membahas permasalahan-permasalahan serta mengungkap isu dan fenomena yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Bacaan-bacaan yang diciptakan oleh para kaum pergerakan dinilai sangat mengintimidasi serta membahayakan eksistensi pemerintah. Bagi kaum pergerakan, bacaan-bacaan merupakan instrumen penyampai suatu pesan yang berasal dari orang atau organisasi pergerakan untuk kaum marhaen.

Tahun 1863 merupakan tahun pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai menetapkan sebuah peraturan yang di dalamnya diatur terkait tata tertib proses produksi, distribusi, serta konsumsi suatu bacaan atau karya. Sebelum diciptakannya peraturan tersebut, negara Indonesia sudah banyak memiliki novel yang berpola realisme-sosialis. Novel tersebut diciptakan oleh pengarang-pengarang yang berpegang pada ideologi komunis atau sosialis. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyebut novel-novel tersebut dengan sebutan “bacaan liar”.

Novel-novel tersebut dianggap akan memperluas ideologi dan idealismenya kepada khalayak umum yang nantinya akan mengancam kedudukan pemerintah jajahan Kolonial Hindia Belanda, sehingga novel-novel tersebut dilarang terbit dan beredar oleh pemerintah Kolonia Hindia Belanda.

“Bacaan liar” yang dimaksud di sini adalah suatu bacaan yang memiliki corak realisme-sosialis yang bukan merupakan terbitan dari Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka telah menentukan aturan-aturan yang sudah disetujui oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Novel yang pada kala itu dikatakan sebagai “bacaan liar” adalah novel yang di dalamnya terdapat gagasan politik tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Novel-novel tersebut juga ditandai dengan lebih banyak menggambarkan tentang ideologi komunis serta di dalamnya terdapat suatu kritikan yang ditunjukkan kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Puncak penerbitan karya sastra “bacaan liar” terjadi pada rentang tahun 1918-1926. Tahun 1918 adalah menjadi tahun pertanda dimulainya perkembangan bacaan yang syarat akan propaganda kepada masyarakat. Aktivitas para kaum pergerakan semakin radikal karena menyuarakan kritik kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal ini dapat terlihat dalam syair karya Mas Marco Kartodikromo dengan judul “Sama Rata dan Sama Rasa” yang dimuat pada Sinar Djawa pada tanggal 10 April 1918. Tetapi karya-karya “bacaan liar” ini mengalami kemunduran pada tahun 1926.

Terdapat beberapa pengarang yang pada masa itu termasuk cukup produktif, pengarang tersebut memiliki nama Mas Marco Kartodikromo. Beliau merupakan seorang wartawan yang acap kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah jajahan Kolonial Hindia Belanda karena karya-karyanya. Beliau melahirkan beberapa karya seperti Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-Rempah (1919), Syair Bajak Laut (1918), serta Rasa Merdeka (1924). Selain Mas Marco terdapat pengarang lain yang bernama Semaun. Beliau melahirkan beberapa karya yaitu dengan judul Hikayat Kadiroen (1924), Hindia Merdika dan Selamat (1919).

Kemudian terdapat pengarang yang lainnya dengan nama Soemantri, beliau menciptakan beberapa karya yang salah satu karyanya berjudul Rahasia Terboeka (1925). Karena isi dan sifat karya-karya ini mayoritas menghasut rakyat Indonesia untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda, maka pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberi nama karya-karya ini dengan nama “bacaan liar” dan para pengarangnya diberi nama “pengarang liar”.

Salah satu “bacaan liar” yang berjudul Hikayat Kadiroen mendapat peringatan keras dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena dianggap akan membangkitkan kesadaran masyarakat yang sedang dijajah untuk berorganisasi atau membentuk suatu kelompok politik. Hal yang penting terkait novel Hikayat Kadiroen adalah novel ini memberikan kesadaran dan membangkitkan semangat masyarakat Indonesia yang terjajah di tahun 1920-an serta novel ini memperlihatkan pesan yang kuat bahwa adanya perlawanan bangsa Indonesia terhadap kediktatoran pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “bacaan liar” merupakan sastra perlawanan yang menggambarkan pemberontakan anti kolonialisme sehingga bangsa Indonesia memiliki harapan untuk keluar dari masa kolonialisme tersebut, lalu menuju ke negara yang merdeka. Di masa ini, selain menggambarkan terkait situasi pergerakan dan eksploitasi kolonial, “bacaan liar” berperan dalam mendorong pembacanya untuk ikut serta dan bergerak bersama dengan tujuan untuk menentang kediktatoran pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

K.S, Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. 2010.

Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya. 2013.

Sulton, Agus. “Sastra “Bacaan Liar” Harapan Menuju Kemerdekaan”. Jurnal Bahasa dan Sastra, 2015. https://ejournal.upi.edu/index.php/BS_JPBSP/article/view/1242/875, (diakses pada Kamis 24 Maret 2022, pukul 13.25 WIB).

Athiyyah Nur Roihanah
Athiyyah Nur Roihanah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.