Jumat, Maret 29, 2024

Awkarin dan ‘Penyakit’ Media Sosial

M. Fauzan Aziz
M. Fauzan Aziz
Penulis lepas. Pemerhati media baru, jejepangan, dan budaya populer. Pegiat di kolektif Liteera.

Karin Novilda, selebgram cum youtuber paling laris di Indonesia kembali menjadi pemberitaan. Selepas kematian mantan pacarnya, Oka Mahendra, yang disebut-sebut mengalami depresi, Awkarin – nama bekennya – kini mulai menyewa bodyguard setelah mematikan kolom komentar di Instagram-nya yang diikuti 2,2 juta pengguna, mengatakan jika ia takut dibunuh orang tidak dikenal karena diisukan menjadi penyebab kematian Oka.

Skandal dan kontroversi adalah bahan bakar untuk selebritas. Seperti ditulis Pramod K. Nayar (2009), ada dua alasan kenapa berita buruk selebritis begitu disukai publik, pertama karena keburukan membuat citra ‘selebritis’ – atau biasa disebut larger than life – lebih manusiawi, kedua ada rasa iri publik kepada selebritis karena mereka bisa melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan.

Ketika acara gosip di TV masih relevan hingga saat ini, dimana pernikahan mewah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang diliput penuh diprotes habis-habisan, namun tentu saja membawa rating tinggi, serupa dengan konten instagram Awkarin, perempuan ABG yang mentereng lewat penampilan seksinya, gaya hidup malam, penuh dengan umpatan dan kata-kata kasar juga dibanjiri dengan likes, namun juga komentar-komentar pedas.

Satu yang membedakan, protes didalam acara gosip tidaklah terjadi langsung, berita dan TV sebagai medium sensasionalisme selebritis berperan sebagai peredam, sedangkan Awkarin yang hidup dan aktif di media baru, merasakan protes dan hujatan tersebut secara langsung, maka seperti yang saya jabarkan di paragraf awal, disewanya bodyguard dan dimatikannya kolom komentar adalah buntut tidak kuatnya Awkarin menghadapi hujatan-hujatan pedas para pengikutnya.

Ironis memang, ditengah bergaungnya kembali ujaran #stophate di dunia karena banyaknya kasus bunuh diri menimpa selebritis salah satunya Chester Bennington, rundung atau bully secara tidak sadar masih banyak dilakukan oleh masyarakat apalagi di era digital, membuat istilah cyberbullying mencuat ke permukaan.

Menurut Peggy J. Parks (2013), cyberbullying adalah segala bentuk pelecehan yang terjadi melalui medium internet dan komunikasi digital, bisa melalui pesan surel, komentar di media sosial yang menyebabkan korban mengalami ketakutan atau depresi.

Penelitian Cyberbullying Research Center 2016 silam mengemukakan, 33,8% dari 5.700 pelajar Amerika Serikat berusia 12-17 tahun pernah menjadi korban cyberbullying, 22,5% mengaku perilaku tidak menyenangkan tersebut berupa komentar daring yang jahat dan menyakitkan. Sedangkan dari data yang sama, 11,5% mengaku pernah melakukan cyberbullying terhadap seseorang, dengan 7,1% berupa komentar daring yang jahat dan menyakitkan.

Cyberbullying jelas lebih berbahaya dibandingkan bullying, korban tidak akan mengetahui siapa yang melecehkannya, pelecehan daring tersebut pun bisa terjadi kapan dan dimana saja, dan yang paling berbahaya, latennya cyberbullying menyebabkan pelaku bahkan tidak menyadari jika apa yang dia lakukan termasuk cyberbullying, karena identitas didalam media baru tidak akan pernah tetap.

David Bell (2001) mengatakan didalam ruang siber, setiap orang bisa membuat identitas pribadinya secara berulang dan terus-menerus, identitas tidak lagi melekat dengan tubuh dan penanda identitas yang dibawanya, dan seperti sebuah lelucon, “di dalam ruang siber, tidak ada yang mengetahui anda adalah anjing,” masih sangat sesuai.

Identitas yang cair membuat pengguna media sosial terbuai anonimitas dan tidak berpikir matang-matang ketika berkomentar atau mengunggah sesuatu di dalam media sosial. Padahal, setiap komentar negatif yang masuk berpotensi menimbulkan depresi, rasa ketakutan dari korban lantaran sifat media sosial sendiri yang langsung, baik secara waktu atau proses komunikasinya yang dua-arah.

Kasus cyberbullying di Indonesia memang masih lengah dari sorotan, entah karena belum adanya sistem hukum yang spesifik membahas cyberbullying, atau karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang media literasi, khususnya etika berinternet, tidak menutup kemungkinan kasus-kasus seperti Awkarin bisa bermunculan.

Bagi Awkarin, depresi dan rasa ketakutan yang muncul seharusnya bisa mendorongnya untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Lalu untuk para pengguna media sosial, saya menyarankan agar lebih berhati-hati dalam bersikap di dunia maya, media sosial adalah bank data besar yang menyimpan aktivitas dan kegiatanmu di dunia maya, yang suatu saat bisa saja muncul dan berbalik menyerang.

Negara juga harus berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat soal pentingnya etika berinternet dengan mendukung terciptanya lembaga dan hukum terkait dalam menangani cyberbullying sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi. Berkaca dari Amerika Serikat, 35 negara bagian telah menjalankan undang-undang anti-bullying yang secara spesifik melarang terjadinya pelecehan daring atau cyberbullying.

New Jersey salah satunya, Anti-Bullying Bill of Rights dicetuskan pada 2010 menyusul meninggalnya Tyler Clementi, mahasiswa Rutgers University berusia 18 tahun akibat bunuh diri (anda bisa google untuk info Tyler). Parks dalam bukunya, Cyberbullying (2013) mengungkapkan jika Anti-Bullying Bill of Rights yang dikeluarkan New Jersey merupakan undang-undang paling kuat yang ada di Amerika Serikat, deklarasi tersebut berisi prosedur bagi pelajar atau pegawai sekolah untuk melaporkan, menginvestigasi, dan menyelesaikan perundungan, termasuk melalui internet.

Saya tidak pernah mendukung Awkarin dan gaya hidup yang diusungnya, yang saya kritik adalah bagaimana destruktifnya masyarakat Indonesia dalam internet ketika bertemu dengan orang atau sesuatu yang berseberangan dengan apa yang mereka yakini , dan bagi saya itu adalah penyakit bagi kedewasaan bangsa Indonesia ditengah dicanangkannya masyarakat global seperti dalam MEA 2020 nanti.

Cyberbullying merupakan peristiwa nyata dan bisa terjadi di sekitar kita, maka bermain media sosial haruslah diikuti dengan kematangan berpikir dan kehati-hatian, karena jempolmu adalah harimaumu.

Sumber

Bell, David. an Introduction to Cybercultures. New York: Routledge, 2001.
Nayar, Pramod K. Seeing Stars: Spectacle, Society and Celebrity Culture. New Delhi: Sage Publications India, 2009.
Parks, Peggy J. Cyberbullying. California: ReferencePoint Press, 2013.

https://hot.detik.com/celeb/d-3571189/awkarin-lakukan-pembunuhan-karakter-sebelum-oka-mahendra-meninggal
http://wartakota.tribunnews.com/2017/07/24/awkarin-pakai-jasa-bodyguard-karena-merasa-akan-dibunuh-setelah-oka-meninggal

Cyberbullying Facts

2016 Cyberbullying Data

M. Fauzan Aziz
M. Fauzan Aziz
Penulis lepas. Pemerhati media baru, jejepangan, dan budaya populer. Pegiat di kolektif Liteera.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.